Karya: Ustadz Abul Aswad Al-Bayaty

بسم الله الرحمن الرحيم

إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه أَمَّا بَعْدُ

Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah ta’ala, bertepatan dengan moment Ramadhan kali ini, kita semua menjadi teringat kenangan indah bersama Ramadhan di tahun-tahun sebelumnya. Ramadhan kala kita kecil dulu, ketika kita belajar mengikatkan kain sarung di pinggang untuk shalat tarawih dan mengaji ke surau kampung.

Ramadhan di awal kali kita mengenal hidayah sunnah dengan segala ketaatan yang kita lakukan di dalamnya. Mushaf kecil yang selalu kita baca di malam-malam penuh berkah. Ramadhan yang mengingatkan masa-masa indah berbuka puasa bersama keluarga serta orang-orang yang kita cintai. Dan yang paling berkesan dari Ramadhan ialah kedekatan kepada Allah. Zat yang telah menciptakan kita, Zat yang seringkali kita lalaikan yang barangkali tak kita dapatkan kedekatan serupa di bulan lain selain Ramadhan.

Bahagia, haru, rindu, sedih bercampur menjadi satu menjelma menjadi satu perasaan yang sukar untuk diungkapkan kata-kata. Kami berdoa kepada Allah ta’ala agar menganugrahkan dan menambahkan kepada kita semua rasa cinta kepada-Nya, semangat berittiba’/mengikuti sunnah Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan juga kerinduan untuk senantiasa berjumpa dengan bulan Ramadhan bulan yang mulia.

Melalui catatan ringkas ini kami berharap agar kita memahami dengan terang keutamaan agung dari bulan Ramadhan serta macam-macam ibadah yang menyertainya terutama puasa beserta keutamannya. Dan juga keutamaan bagi orang-orang yang berpuasa serta menghidupkan Ramadhan dengan berbagai ketaatan.

Perlu untuk kita fahami bersama bahwa kwalitas ibadah kita di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan sangat tergantung dengan dekat dan jauhnya kita dari sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang telah diisyaratkan sendiri oleh penghulu anak turun Adam ‘alaihissalam dalam haditsnya yang mulia :

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan dari puasanya kecuali hanya lapar, dan betapa banyak orang yang shalat malam tidak mendapatkan dari shalatnya kecuali lelahnya begadang”.

(HR. Ibnu Majah: 1690 dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih At-Targhib Wat-Tarhib: 1/453).

Syaikh Majdi Al-Hilali berkata ketika menjelaskan makna hadits ini :

ولو قمنا بإظهار معاني العبودية لله عز وجل ولكن بشكل مبتدع مخالف للذي ارتضاه لنا فلن يُقبل منا، وسيُرَد علينا

“Seandainya kita menampakkan hakikat makna ibadah kepada Allah azza wa jalla, akan tetapi dalam bentuk yang baru yang menyelisihi syariat yang telah Allah ridhai maka ibadah kita tidak akan diterima dan akan ditolak.”

(Haqiqatul ‘Ubudiyyah: 15).

Maka dari itu kita harus mengenal dengan lebih dekat karakeristik puasa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan juga adab, serta sunnah-sunnah beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan. Karena tidak semua kalangan diberikan kemudahan untuk menelaah berbagai referensi berkaitan dengan masalah ini, maka kami mencoba membuat catatan ringkas untuk memudahkan dan menyederhanakan pembahasan supaya manfaatnya bisa menyebar lebih luas. Hanya kepada Allah saja kami meminta pertolongan taufik serta kemudahan.

Kami ucapkan untaian syukur tak terkira dan terima kasih tiada tara kepada Allah ta’ala yang telah memberikan taufik dan kemudahan sehingga pada akhirnya catatan kecil ini bisa kami selesaikan meski dengan tertatih. Tiada kemudahan melainkan dari Allah ia berasal, dan kita semua hanya makhluk lemah lagi tak berdaya.

Kami juga mengucapkan syukur dan terima kasih kepada bapak ibu kami yang telah bersusah payah membesarkan, mendidik dan membimbing masa kecil kami menuju jalan Allah ta’ala. Semoga Allah ta’ala senantiasa menjaga beliau berdua, menyanyangi mereka dan menganugrahkan kesehatan serta menjadikan kami termasuk ke dalam golongan hamba-hamba Allah yang berbakti kepada kedua orang tuanya.

Tak lupa kami menantikan kritikan membangun dari para guru, para kyai, para ustadz dan saudara-saudara kami para penuntut ilmu demi makin baik dan makin bagusnya catatan ringkas ini. Karena bagaimanapun pula, tak ada gading yang tak retak, tak ada tulisan yang selamat dari aib serta kekurangan. Kesempurnaan hanya milik Allah Rabbul’ alamin.

Namun demikian kami berharap agar kekurangan yang ada disikapi dengan bijak. Disikapi dengan kritikan ilmiyyah yang dibarengi akhlak mulia. Agar terasa ringan dan mudah bagi jiwa kami untuk berbesar hati menerimanya. Semoga Allah ta’ala senantiasa menjaga Syaikh Abu Abdil Bari Al-‘Id bin Sa’ad Syarifi Al-Jaza’iri beliau menyatakan ;

فانظر إليه نظر المستحسن … وحسن الظن به وأحسن

وإن تجد عيبا فسد الخللا … فجل من لا عيب فيه وعلا

-;;- Lihatlah ia (saudaramu) dengan pandangan sayang *** Berbaik sangkalah kepadanya dan kasihilah ia.

-;;- Jika kau dapati aib maka tutuplah celah *** Maha Mulia Allah Dzat yang tiada memiliki aib lagi Maha Tinggi.

(Tabshiratul A’syaa: 9)

Terakhir di penghujung sekapur sirih ini kami memohon kepada Allah ta’ala agar menganugrahkan kepada kami keikhlasan di dalam ucapan dan perbuatan. Karena tak ada yang bermakna di sisi Allah ta’ala sama sekali melainkan hati yang bersih dari berbagai kotoran yang merusak, Allah ta’ala berfirman :

يَوْمَ لاَيَنفَعُ مَالٌ وَلاَبَنُونَ {88} إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ {89}

”(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”

(QS. Asy-Syu-‘ara: 88-89).

Semoga bermanfaat dan selamat membaca.

Bayat, 27 Jumadal akhir 1439H/15 Maret 2018

Hamba yang lemah

Abul Aswad Al Bayaty

Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang meng-khususkan menyebut puasa serta menjelaskan keutamaannya. Diantaranya Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

(QS. Al-Ahzab : 35).

Al-Imam Ibnu Katsir -semoga Allah senantiasa merahmati beliau- ketika menerangkan tafsir ayat ini dan mengetengahkan keutamaan puasa, beliau berkata:

في الحديث الذي رواه ابن ماجه : ” والصوم زكاة البدن ” أي : تزكيه وتطهره وتنقيه من الأخلاط الرديئة طبعا وشرعا قال سعيد بن جبير : من صام رمضان وثلاثة أيام من كل شهر ، دخل في قوله : ( والصائمين والصائمات ) ولما كان الصوم من أكبر العون على كسر الشهوة – كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” يا معشر الشباب ، من استطاع منكم الباء فليتزوج ، فإنه أغض للبصر ، وأحصن للفرج ، ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء “

“Disebutkan di dalam hadits riwayat Ibnu Majah ‘Puasa adalah zakatnya badan’ maksudnya puasa ini mensucikan badan, membersihkan dan memurnikan-nya dari berbagai kotoran yang buruk baik, dari sudut pandang tabiat maupun sudut pandang syariat. Sa’id bin Jubair berkata ;

Barangsiapa puasa di bulan Ramadhan dan puasa tiga hari setiap bulannya maka ia termasuk kelompok yang difirmankan oleh Allah ‘Wash-Ash-Soimin wash-Sho’imat’/para lelaki dan wanita yang gemar berpuasa.

Dan puasa ini diantara faktor terbesar yang bisa mengendalikan syahwat sebagaimana sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ; ‘Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian telah mampu, hendaknya menikah, karena itu lebih menjaga pandangan dan kemaluan. Barangsiapa tidak mampu hendaknya ia berpuasa karena puasa akan menjadi perisai baginya”.

Dan ketika menjelaskan firman Allah yang menerangkan balasan bagi orang-orang yang berpuasa, beliau (Imam Ibnu Katsir) kembali berkata :

وقوله : ( أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما ) أي : هيأ لهم منه لذنوبهم مغفرة وأجرا عظيما وهو الجنة

“Dan firman Allah ta’ala (Allah menyiapkan bagi mereka pengampunan dan pahala yang besar) maksudnya ialah : Dengan sebab puasa Allah menyiapkan bagi mereka atas dosa mereka pengampunan serta pahala yang besar yaitu syurga”. (Tafsir Ibnu Katsir : 1501)

Dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman menjelaskan keutamaan puasa :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian agar kalian bertaqwa.”

(QS Al-Baqarah : 183).

Al-Imam Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menerangkan kaitan ketaqwaan dengan puasa pada ayat di atas, beliau berkata :

فإن الصيام من أكبر أسباب التقوى، لأن فيه امتثال أمر الله واجتناب نهيه. فمما اشتمل عليه من التقوى: أن الصائم يترك ما حرم الله عليه من الأكل والشرب والجماع ونحوها، التي تميل إليها نفسه، متقربا بذلك إلى الله، راجيا بتركها، ثوابه، فهذا من التقوى. ومنها: أن الصائم يدرب نفسه على مراقبة الله تعالى، فيترك ما تهوى نفسه، مع قدرته عليه، لعلمه باطلاع الله عليه، ومنها: أن الصيام يضيق مجاري الشيطان، فإنه يجري من ابن آدم مجرى الدم، فبالصيام، يضعف نفوذه، وتقل منه المعاصي، ومنها: أن الصائم في الغالب، تكثر طاعته، والطاعات من خصال التقوى، ومنها: أن الغني إذا ذاق ألم الجوع، أوجب له ذلك، مواساة الفقراء المعدمين، وهذا من خصال التقوى.

“Maka sesungguhnya puasa adalah sebab terbesar munculnya ketaqwaan. Karena di dalamnya terdapat unsur taat pada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Diantara unsur ketaqwaan yang ada di dalam puasa ialah ;

Bahwa orang yang berpuasa meninggalkan apa yang Allah larang atas dirinya berupa makan, minum, jimak dan lainnya yang merupakan kesenangan jiwanya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, dan berharap pahala ketika ia meninggalkan ini semua. Ini adalah bagian dari ketaqwaan.

Kemudian lagi orang yang berpuasa itu berlatih merasakan pengawasan Allah. Ia meninggalkan apa yang ia sukai dan apa yang ia mampu untuk melakukannya, karena ia sadar Allah maha mengetahui semua yang ia lakukan.

Kemudian lagi puasa itu mempersempit gerak syaithan. Sesungguhnya syaithan masuk ke dalam tubuh anak Adam melalui aliran darah. Maka dengan puasa menjadi lemah kemampuannya sehingga maksiatpun akan hilang.

Dan dengan puasa pada umumnya manusia akan lebih banyak berbuat ketaatan, dan ketaatan ini bagian dari ketaqwaan. Demikian pula si kaya jika ia merasakan sakitnya rasa lapar maka hal tersebut akan berimbas munculnya empati kepada para fakir miskin dan orang mlarat, ini pun merupakan bagian dari unsur ketakwaan”. (Taisir Karimirrahman Fi Tafsir Kalamil Mannan : 86).

Banyak sekali manfaat puasa yang bisa kita dapatkan baik manfaat di dunia maupun manfaat di akhirat. Berikut kami sampaikan keutamaan-keutamaan puasa :

a). Puasa sebagai perisai

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِيعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وَجَاءٌ

“Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian sudah memiliki kemampuan maka hendaknya menikah, karena itu lebih menjaga pandangan dan kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu hendaknya ia berpuasa, karena puasa akan menjadi perisai baginya”. (HR. Muslim : 1400).

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :

يقي صاحبه ما يؤذيه من الشهوات

“Puasa akan menjaga pelakunya dari apa yang mengganggu dia berupa nafsu syahwat”. (Fathul Bari : 4/104).

Nabi memerintahkan para pemuda yang syahwatnya menggelora untuk menikah, dan bagi yang belum mampu menikah hendaknya berpuasa. Karena puasa ini melemahkan setiap anggota badan dari berbuat liar serta menenangkannya. Ia juga menenangkan kekuatan liar yang mungkin muncul karena dorongan hawa nafsu. Dan puasa ini memiliki pengaruh yang luar biasa ajaib untuk menjinakkan kekuatan lahiriyah maupun batiniyah.

Dan karena neraka itu senantiasa dihiasi dengan sesuatu yang menyenangkan hawa nafsu. Maka puasa akan menjadi benteng pembatas antara pemuda dengan syahwatnya, menjadi benteng yang menjauhkan dia dari sengatan api neraka. Dalam riwayat yang lain nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لا يَصُومُ عَبْدٌ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلا بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ النَّارَ عَنْ وَجْهِهِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari saja di jalan Allah melainkan Allah akan menjauhkan dirinya dari neraka sejauh tujuh puluh tahun perjalanan”. (HR Bukhari : 2840, Muslim : 1153, dinyatakan shahih oleh Imam Al-Albani lihat Ta’liqatul Hisan ‘Ala Shahih Ibnu Hibban : 3417).

b). Puasa menjadi sebab kita masuk syurga

Telah kita ketahui bersama bahwa ketika puasa bisa menjauhkan kita dari neraka, maka sebaliknya ia akan mendekatkan kita ke syurga. Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu ia berkata :

قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ , أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ , قَالَ : ” عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ , فَإِنَّهُ لَا عِدْلَ لَهُ ” , أَوْ قَالَ : ” لَا مِثْلَ لَهُ ” .

“Aku berkata kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ‘Wahai rasulullah kabarkanlah kepadaku tentang suatu amal yang akan memasukkan aku ke dalam syurga?’. Beliau menjawab ‘Wajib atasmu untuk melakukan puasa, karena tidak ada yang sebanding dengannya’ atau beliau mengatakan ‘tidak ada yang setara dengannya’. (HR An-Nasa’i : 4/165, dinyatakan shahih oleh Imam Al-Albani lihat Ta’liqatul Hisan ‘Ala Shahih Ibnu Hibban ; 3425).

Setelah mendapatkan jawaban ini, tidak pernah di dapati Abu Umamah dan istrinya dan juga pembantunya melainkan pasti mereka senantiasa dalam keadaan berpuasa. Dan jika ada asap mengepul dari rumah mereka di siang hari, bisa dipastikan mereka sedang menerima tamu karena memasak untuk menjamu tamunya. (Lihat Musnad Imam Ahmad No. 22140).

c). Puasa menghasilkan pahala tanpa batas

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَف ، الْحَسَنَةُ بعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَةِ ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ ، يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

“Setiap amal anak Adam dilipat gandakan pahalanya, setiap kebaikan dilipatkan sepuluh kali lipat, hingga tujuh ratus kali lipat. Allah ta’ala berfirman ; ‘Kecuali puasa, sesungguhnya puasa ini untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya”. (HR Bukhari : 1894, Muslim : 1151).

Imam Muhammad Ibnul Wazir Al-Yamani berkomentar tentang hadits ini :

وهذا يدلُّ على أن جزاء الصوم يزيد على سبع مئة كالصبر، فهو يُناسِبُ في المعنى، لأن الصومَ صبرٌ مخصوص، فقد دَخَلَ في وعدِ الله في كتابه للصابرين حيث قال: {إنما يُوفَّى الصابرون أجرهم بغير حسابٍ} [الزمر: 10] “Hadis ini menjadi bukti nyata bahwa berlipatnya pahala puasa itu melebihi tujuh ratus kali lipat sebagaimana juga kesabaran. Maka puasa ini mencocoki kesabaran dari sisi makna, karena puasa adalah kesabaran yang khusus. Hal ini termasuk ke dalam janji Allah terhadap orang-orang yang sabar di dalam Al-Qur’an yang mana Allah berfirman ; ‘Sesungguhnya orang-orang yang sabar akan mendapatkan pahala mereka dengan tanpa batas’ (QS. Az-Zumar : 10)”. (Al-’Awashim Wal Qawashim : 9/105).

d). Orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan 

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

“Bagi orang yang berpuasa dua kebahagiaan, kebahagiaan ketika ia berbuka, dan kebahagiaan ketika ia berjumpa dengan tuhannya”. (HR. Muslim : 1151).

Syaikh Abdullah bin Muhammad Al-Ghunaiman berkata :

أنه يفرح إذا كمل يومه صائماً، فيؤمل ثواب ذلك عند الله، ويتناول طعامه وشرابه الذي أحله الله له بعد ما منعه منه لأجل صومه. ويفرح إذا لقي ربه عندما يجزيه أعظم جزاء، وهذه أعظم فرحة وأحلى

“Bahwa ia akan berbahagia ketika menyempurnakan hari itu dengan puasa, sehingga bisa berharap pahala di sisi Allah. Kemudian ia menikmati makan dan minum yang telah Allah halalkan bagi dia setelah sebelum dilarang karena sebab puasa. Ia juga berbahagia berjumpa dengan Tuhannya ketika Allah membalasnya dengan pahala yang paling agung, dan ini adalah kebahagiaan yang paling besar dan paling indah”. (Syarah Kitab Tauhid Min Shahih Bukhari : 2/353).

e). Bau mulut orang puasa lebih wangi dari minyak kasturi

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah ta’ala dibandingkan dengan minyak wangi Misk/kasturi.” (HR Bukhari : 1904, Muslim : 1151).

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan maksud ucapan ini :

وَقَالَ الدَّاوُدِيُّ وَجَمَاعَةٌ الْمَعْنَى أَنَّ الْخُلُوفَ أَكْثَرُ ثَوَابًا مِنَ الْمِسْكِ الْمَنْدُوبِ إِلَيْهِ فِي الْجَمْعِ وَمَجَالِسِ الذِّكْرِ وَرَجَّحَ النَّوَوِيُّ هَذَا الْأَخِيرَ

“Ad-Dawudi dan sekelompok ulama’ mengatakan maknanya ialah bau mulut orang puasa lebih banyak pahalanya dari pada minyak kasturi yang disunnahkan dipakai dalam perkumpulan dan majlis dzikir. Pendapat terakhir ini yang dikuatkan oleh An-Nawawi”. (Fathul Bari : 4/106).

f).  Puasa menjadi syafaat

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَىْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِى فِيهِ. وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِى فِيهِ. قَالَ فَيُشَفَّعَانِ

“Puasa dan al-Qur’an akan memberi syafa’at kepada seorang hamba pada Hari Kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Rabbku, aku telah menghalanginya dari makan dan syahwatnya di siang hari, maka izinkan aku memberi syafa’at kepadanya. (HR. Ahmad : 6626, Al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa`id : 3/181 berkata, ‘Rawi-rawinya adalah rawi hadits shahih, dinyatakan shahih pula oleh Al-Albani dalam Shahih Targhib Wat tarhib : 984).

Al-Qur`an berkata, ‘Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, maka izinkan aku memberi syafa’at kepadanya”.

Imam Ash-Shan’ani berkata :

شفاعة حقيقية كما دل له قوله : (يقول الصيام أي رب إني منعته الطعام والشهوات)

“Syafaat yang dimaksud dalam hadis ini adalah syafaat yang hakiki sebagaimana yang ditunjukkan oleh sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ; ‘ibadah puasa akan berkata ; wahai Rabb sesungguhnya aku telah mencegahnya dari makan dan minum dst”. (At-Tanwir Syarah Jami’ish Shaghir : 7/95).

Beliau juga berkata :

ومن ذلك أيضًا الدليل على أن الشفاعة أنواع، منها الشفاعة العظمى للنبي -صلى الله عليه وسلم، ومنها شفاعة الأعمال الصالحة ومنها شفاعة الصيام والقرآن، ومنها شفاعة العلماء والشهداء وغيرها قال تعالى: {لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعاً}

“Dan dari hadis ini juga terdapat dalil bahwa syafa’at itu bermacam-macam, diantaranya adalah syafa’atul Udzma (syafaat yang agung) oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ada pula syafa’at dari amal-amal shalih, ada pula syafa’at puasa dan Al-Qur’an, ada pula syafa’atnya para ulama dan para syuhada’, dan yang lainnya, Allah ta’ala berfirman ;”Dan syafa’at itu semuanya milik Allah semata”. (At-Tanwir Syarah Jami’ish Shaghir : 1/97).

g). Pintu syurga Ar-Rayyan bagi orang yang berpuasa

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama Ar-Royyaan. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka.

Dikatakan kepada mereka,’Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut.” (HR. Bukhari : 1896 dan Muslim : 1152).

Syaikh Muhammad bin Abdullatif Al-Kirmani bertutur menerangkan maksud dari ungkapan ini :

والمعنى: أن أهل الصيام بتعطيشهم أنفسهم في الدنيا يدخلون من باب الريان، ويسقون من ذلك الباب شرابًا طهورًا قبل تمكنهم في الجنة؛ ليزولَ عطشهم.

“Maknanya bahwa ahli puasa dengan rasa haus yang mereka rasakan di dunia akan masuk ke dalam syurga melalui pintu Ar-Rayyan. Mereka minum dari situ dengan minuman yang suci lagi menyegarkan agar hilang rasa haus mereka sebelum mereka memasuki syurga”. (Syarhu Mashabihis Sunnah : 2/463).

Syaikh Muhammad Ali Adam Al-Itsyubi berkata :

(المسألة الثالثة): في فوائده: (منها): بيان عظمة فضل الصيام (ومنها): بيان كرامة الصائمين، حيث خصهم اللَّه تعالى على سائر الناس بدخولهم بباب الريان (ومنها): إثبات أبواب للجنة، ومن تلك الأبواب باب الريان مخصوص بالصائمين، فإذا دخلوا منه أُغلق، فلم يدخل منه أحد غيرهم (ومنها): فضل باب الريّان على غيره من الأبواب، حيث إن من دخله شرب عند الدخول، ثم لم يظما بعدُ. واللَّه تعالى أعلم بالصواب

“Masalah ketiga tentang faidah hadis ini : Diantaranya penjelasan akan besarnya keutamaan puasa. Kemudian penjelasan karamah orang-orang yang berpuasa, yang mana Allah mengkhususkan mereka dari seluruh manusia dengan memasukkan mereka melalui pintu Ar-Rayyan.

Diantara faidah hadis ini pula ialah penetapan nama pintu-pintu syurga. Dan diantara pintu-pintu tersebut adalah pintu Ar-Rayyan yang dikhususkan untuk ahli puasa. Apabila mereka telah masuk, maka pintu ini akan ditutup dan tidak ada yang masuk selain mereka.

Diantara faidahnya lagi ialah, penjelasan tentang keutamaan pintu Ar-Rayyan dimana orang yang masuk akan minum disitu, dan tidak akan pernah haus setelah itu selama-lamanya. Dan hanya Allah saja yang Maha Mengetahui”. (Dzakhiratul ‘Uqba Fi Syarhil Mujtaba : 21/108).

h). Puasa menggugurkan dosa

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam :

فتنة الرجل في أهله، وماله، وجاره تٌكِّفرها : الصلاة، والصيام والصدقة

“Fitnahnya seorang lelaki itu ada di keluarga, harta dan tetangganya. Dosanya bisa terhapus dengan shalat, puasa dan sedekah”. (HR. Bukhari : 144).

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa di bulan ramadhan dengan penuh rasa iman dan berharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu”. (HR. Bukhari : 38).

Al-Imam An-Nawawi bertutur :

مَعْنَى إيمَانَا : أي تَصْدِيقًا بِأَنَّهُ حَقٌّ مُعْتَقِدًا فَضِيلَتَهُ ، وَمَعْنَى احْتِسَابًا : أَنْ يُرِيدَ اللَّهَ – تَعَالَى – وَحْدَهُ ، لَا يَقْصِد رُؤْيَةَ النَّاسِ وَلَا غَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يُخَالِفُ الْإِخْلَاصَ

“Makna ‘iimaanan’ (penuh rasa keimanan) adalah membenarkan bahwa puasa itu haq (baik dan benar dari sisi Allah-pent) ia juga meyakini keutamaan-keutamaan puasa. Dan makna ‘Ihtisaban’ adalah ia hanya menginginkan Allah semata tidak menginginkan supaya dilihat manusia dan niat-niat lain yang bisa menghancurkan keikhlasan”. (Syarah Shahih Muslim : 6/39).

i). Doa orang yang berpuasa dikabulkan oleh Allah

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ثَلاثَةٌ لا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditolak do’anya ; Penguasa yang adil, orang yang berpuasa hingga ia berbuka, dan do’a dari orang yang dizalimi”. (HR. Ibnu Majah : 1752, Tirmidzi : 3598, dishahihkan oleh Imam Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah : 2/86).

Wallahu a’lam bish-shawab

Ramadhan itu adalah bulan kebaikan, bulan mulia, Allah memberikan banyak sekali kebaikan serta keberkahan di dalam nya sebagaimana yang tampak pada point-point sebagai berikut :

a). Allah ta’ala menurunkan kitab suci Al-Qur’an di bulan Ramadhan.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنْ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

Bulan Ramadhan, bulan yang padanya diturunkan (permulaan) Al-qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).

(QS. Al-Baqarah : 185).

Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari ketika menafsirkan makna ayat ini beliau menyatakan :

أما”أنزل فيه القرآن”، فإن ابن عباس قال: شهر رمضان، والليلة المباركة ليلة القدر، فإن ليلة القدر هي الليلة المباركة، وهي في رمضان، نزل القرآن جملة واحدة من الزبر إلى البيت المعمور، وهو”مواقع النجوم” في السماء الدنيا حيث وقع القرآن، ثم نزل محمد صلى الله عليه وسلم بعد ذلك في الأمر والنهي وفي الحروب رسلا رسلا

“Adapun makna firman Allah (Al-Qur’an di turunkan di bulan Ramadhan), maka Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ;

Ramadhan dan malam yang penuh berkah adalah Lailatul Qadar. Karena Lailatul Qadar adalah malam yang penuh berkah yang ada di dalam bulan Ramadhan. Al-Qur’an turun pada malam tersebut dengan sekaligus dari Zubur menuju ke Baitul Makmur di ‘Lokasi Bintang-Gemintang’ di langit dunia yang mana Al-Qur’an berada.

Kemudian Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah itu berupa perintah, larangan, ijin berperang secara bertahap.” (Tafsir Ath-Thabari : 3/446)

b). Setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan dibukanya pintu syurga.

Hal ini terjadi dan dimulai dari sejak awal kali permulaan bulan ramadhan, nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ

“Jika telah masuk bulan ramadhan pintu-pintu syurga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, dan syaithan-syaithan dibelenggu”. (HR Bukhari : 3277, Muslim : 1079).

Syaikh Taqiyuddin Ibrahim bin Muflih berkata :

الشياطين تُسلسل وتُغَلّ في رمضان على ظاهر الحديث ، أو المراد: مَرَدة الشياطين ، وكذا جزمَ به أبو حاتم بن حبَّان وغيره من أهل العلم ، فليس في ذلك إعدام الشرِّ؛ بل قلَّة الشرّ؛ لضعفهم ، وقد أجرى الإمام أحمد هذا على ظاهره، قال عبد الله بن الإمام أحمد: قلتُ لأبي : قد نرى المجنون يُصرَع في شهر رمضان ؟! قال: هكذا جاء الحديث ولا تكلَّم في ذلك. فإنَّ أصل أحمد أن لا يتأوَّل من الأحاديث إلا ما تأوَّله السلف ، وما لم يتأوَّله السلف لا يتأوله

“Setan-setan dirantai dan dibelenggu di bulan Ramadhan berdasarkan makna tekstual hadits, atau maknanya yang dibelenggu adalah dedengkotnya setan. Demikian yang dikuatkan oleh Abu Hatim bin Hibban dan yang lainnya dari kalangan ahli ilmu. Dan bukan maksudnya menghilangkan keburukan sama sekali, namun hanya mengurangi keburukan karena kelemahan para setan di bulan ini.

Al-Imam Ahmad memberlakukan hadits ini apa adanya sesuai dengan makna tekstualnya. Abdullah bin Imam Ahmad berkata, aku berkata pada ayahku ; ‘Kita kadang mendapati ada orang gila yang kesurupan di bulan ramadhan’. Beliau menjawab : ‘Seperti itulah makna hadis apa adanya’.

Karena kaidah asal yang dipegang oleh Imam Ahmad adalah mentakwilkan hadits sebagaimana takwilnya para salaf. Jika para salaf tidak mentakwilkannya maka ia pun tidak mentakwilnya”. (Masha’ibul Insan Min Makaidisy-Syayatin : 144, lihat pula Wiqayatul Insan Minal Jin Was Syayatin : 45 oleh Syaikh Wahid Abdussalam bali, Al-Qaulul Mu’in : 243-244 oleh Syaikh Abul Bara’ Usamah bin Yasin).

Al-Imam Ibnu Khuzaimah menguatkan pendapat bahwa setan yang dibelenggu hanya sebagiannya saja, tidak seluruhnya. Beliau menyatakan :

باب ذكر البيان أن النبي صلى الله عليه وسلم إنما أراد بقوله وصفدت الشياطين مردة الجن منهم لا جميع الشياطين إذ اسم الشياطين قد يقع على بعضهم

“Bab penyebutan penjelasan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan ucapan beliau ‘dan setan-setan dibelenggu’ maksudnya adalah dedengkotnya syetan bukan seluruh setan. Karena istilah setan kadang dimaksudkan sebagiannya saja”.

c). Di bulan Ramadhan terdapat malam Lailatul Qadar

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;

أَتَاكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ ، وَتُغَلُّ فِيهِ مِرَدَةُ الشَّيَاطِينِ ، لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

“Datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah ta’ala mewajibkan puasa di dalamnya, pintu-pintu langit dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, dedengkot-dedengkot setan dibelengu. Di dalamnya Allah memiliki sebuah malam yang lebih utama dari seribu bulan, barangsiapa diharamkan dari mendapatkan kebaikannya maka sungguha ia orang yang rugi”. (HR Ahmad : 9213, An-Nasa’i : 2106, dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa’i : 1992).

Wallahu a’lam

Ketika proses mengekang hawa nafsu yang bergejolak di dada, dan menjaga jiwa dari segala hal yang bisa mengotorinya merupakan satu hal yang sangat berat. Maka perintah kewajiban puasa baru diberlakukan pada tahun kedua setelah hijrah. Kewajiban inipun tidak serta merta diberlakukan. Namun ada melalui jenjang dan periode.

Ketika hati-hati para sahabat sudah mulai kokoh berpegang dengan ajaran tauhid dan mengagungkan syi’ar-syiar Allah. Lantas Allah ta’ala mensyariatkan puasa dengan Takhyir/Optional, maknanya kaum muslimin boleh memilih untuk puasa atau tidak puasa namun menggantinya dengan Fidyah. Dan Allah menjelaskan bahwa yang paling utama dari keduanya adalah berpuasa. Allah berfirman :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) ; memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

(QS. Al-Baqarah : 184).

Setelah itu baru kemudian Opsi/Kesempatan memilih antara puasa dan tidak ini dihapus oleh Allah dengan turunnya surat Al-Baqarah ayat ; 185 ;

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

(QS.  Al Baqarah: 185).

Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu berkata ;

لما نزلت وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين كان من أراد منا أن يفطر ويفتدي حتى نزلت الآية التي بعدها فنسختها

“Ketika turun ayat ‘Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa, maka ia  membayar fidyah (berupa) memberi makan seorang miskin’. Barangsiapa diantara kami ingin berbuka (tidak puasa) maka ia membayar fidyah. Hingga turun ayat setelahnya yang menghapus keringanan ini”. (Shahih Sunan Abu Dawud : 2315).

Ibnu Abi Laila radhiyallahu ‘anhu juga berkata hal serupa : “Para sahabat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadaku ; bulan Ramadhan turun dan terasa berat bagi mereka puasa. Maka ada yang memberi makan setiap hari seorang miskin lalu ia meninggalkan puasa bagi yang kepayahan dan mereka diberi keringanan dengan itu. Kemudian keringanan ini dihapus dengan firman Allah ‘Dan puasa itu lebih baik bagi kalian’, merekapun lantas diperintahkan untuk berpuasa”. (HR. Muslim : 16).

Setelah itu puasa menjadi kewajiban dan menjadi salah satu pokok diantara pokok-pokok agama Islam berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ;

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun diatas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan.”. (HR Bukhari : 8).

Wallahu a’lam

Syariat islam adalah syariat yang bijaksana, senantiasa memotivasi umatnya untuk melaksanakan puasa di bulan Ramadhan dengan menjelaskan keutamaan-keutamaan puasa serta tingginya kedudukan puasa. Meskipun seorang hamba memiliki dosa sebanyak buih di lautan, Allah akan anugrahkan ampunan dari sisi-Nya dengan lantaran sebab ibadah puasa yang mulia lagi penuh berkah ini. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الصَّلَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ

“Shalat wajib yang lima, dan jumat ke jumat berikutnya menjadi penghapus dosa-dosa yang ada diantara keduanya selama menjauhi dosa besar”. (HR. Muslim : 233).

Dan puasa di bulan ramadhan ini menjadi kesempatan langka bagi kita yang ingin memanjatkan keinginan yang sudah lama didamba namun belum di-ijabah. Ia juga menjadi kesempatan emas bagi setiap muslim untuk mendapatkan predikat mulia nan tinggi, predikat bebas dari sengatan api neraka kelak di akhirat. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إن لله  تبارك وتعالى  عتقاء في كل يوم وليلة في رمضان  وإن لكل مسلم في كل يوم دعوةً مستجابة

“Sesungguhnya Allah ta’ala pada setiap hari dan setiap malam di bulan Ramadhan membebaskan dari neraka, dan diberikan bagi setiap musim pada setiap hari doa yang mustajab”. (HR Ahmad : 2/254 no. 664 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahihut Targhib Wat Tarhib : 1002).

Dan dengan puasa Ramadhan ini seseorang bisa meraih derajatnya para syuhada’ yang wafat di jalan Allah, serta meraih derajatnya para shiddiqin. Suatu ketika datang seorang lelaki kepada nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، وَأَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ ، وَأَدَّيْتُ الزَّكَاةَ ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ ، وَقُمْتُهُ ، فَمِمَّنْ أَنَا ؟

“Wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam apa pendapatmu jika aku bersyahadat tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhhamad adalah utusan Allah, dan aku shalat lima waktu, aku membayar zakat berpuasa ramadhan dan shalat malam di dalamnya, maka aku termasuk golongan manusia yang mana?

قَالَ-صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : ” مِنَ الصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ “

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Kamu termasuk golongan para shiddiqin dan para syuhada’”. (HR. Ibnu Hibban : 19 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahihut Targhib Wat Tarhib : 1003).

Wallahu a’lam

Begitu pula sebaliknya Allah menyiapkan siksa yang tak terperi bagi umatnya yang dengan pongah dan sombong berpaling dari perintah Allah. Meninggalkan perintah puasa wajib di bulan Ramadhan. Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu mendengar Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

بينا أنا نائم إذ أتاني رجلان ، فأخذا بضبعي، فأتيا بي جبلا وعرا ، فقالا : اصعد ، فقلت : إني لا أطيقه ، فقالا : إنا سنسهله لك ، فصعدت حتى إذا كنت في سواء الجبل إذا بأصوات شديدة ، قلت : ما هذه الأصوات ؟ قالوا : هذا عواء أهل النار ، ثم انطلق بي ، فإذا أنا بقوم معلقين بعراقيبهم ، مشققة أشداقهم ، تسيل أشداقهم دما قال : قلت : من هؤلاء ؟ قال : هؤلاء الذين يفطرون قبل تحلة صومهم

”Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, ‘Naiklah’. Lalu kukatakan, ‘Sesungguhnya aku tidak mampu.’

Kemudian keduanya berkata, ‘Kami akan memudahkanmu’. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu  aku bertanya, ‘Suara apa itu?’ Mereka menjawab,’Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.’

Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku melihat orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah.

Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya,’Siapakah mereka itu?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.’ (HR. Ibnu Hibban : 1800 dinyatakan shahih oleh Imam Al-Albani dalam Shahihut Targhib Wat Tarhib : 1005).

Demikian mengerikan balasan bagi orang-orang yang membatalkan puasa tanpa udzur. Lantas bagaimana kelak nasib orang-orang yang dengan sengaja meninggalkan puasa wajib. Bahkan ada yang dengan pongah dan bangganya mereka makan dan minum terang-terangan sembari mencibir hamba-hamba Allah yang lemah karena puasa dengan kata-kata yang sangat tidak pantas diucapkan. Semoga Allah karuniakan pada kita dan mereka hidayah serta keistiqamahan dari sisi-Nya.

Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah ta’ala hendaknya kita faham bahwa pahala, keutamaan, kebaikan serta keistimewaan puasa dan bulan Ramadhan yang telah kita baca dan pelajari bersama itu sangat tergantung pada kecocokan ibadah puasa kita dengan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kita tidak akan mendapatkannya sama sekali kecuali jika kita mengikuti apa yang telah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan serta mengikuti apa yang telah beliau praktekkan, berupa hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah puasa dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

Maka dari itu kita akan bersama-sama mempelajarinya dengan tanpa disertai sikap taklid/mengekor tanpa arah. Namun kita akan mempelajari hukum-hukum tersebut dengan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para salafush shalih dari kalangan Imam yang empat serta dan para imam sebelum mereka dari kalangan para tabi’in dan sahabat insya’Allah.

Penetapan awal dan akhir bulan ramadhan ada beberapa metode, kami nukilkan dalam point-point sebagai berikut urutan metode-metode tersebut sesuai dengan urutan/tartibnya :

  • Ru’yatul Hilal/melihat hilal

Hukum asal penetapan awal bulan di dalam syariat islam adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal) sebagaimana firman Allah ta’ala :

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu.”

(QS. Al-Baqarah : 185).

Imam Ibnu Katsir berkata menafsirkan firman Allah ini :

هذا إيجاب حتم على من شهد استهلال الشهر

“Ini adalah kewajiban yang harus bagi orang yang telah berhasil melihat hilal bulan itu”. (Tafsir Ibnu Katsir : 239).

  • Ketika Cuaca Mendung

Kemudian ketika terjadi mendung, sehingga kita tidak mungkin melakukan ru’yatul hilal (melihat hilal), syariat sudah memberikan solusi/jalan keluar dari sisi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Atau dengan kata lain kita berpindah kepada metode yang kedua yang dikatakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut :

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ، فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ

“Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. Bukhari : 1910, Muslim : 1081).

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma, (bahwasanya) Rasulullah ahallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الْهلاَلَ، وَلاَ تُفطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ، فَاَقْدِرُوْالَهُ

“Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya (hilal). Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari : 4/106 dan Muslim : 1080).

Dari sini kita tahu bahwa ketika cuaca mendung, kita tidak lantas mengambil metode sendiri atau berinisiatif sendiri, karena ini urusan agama, urusan wahyu, maka kita harus kembali kepada wahyu. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan berdasarkan hadits-hadits di atas ketika terjadi mendung untuk menggenapkan jumlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tuga puluh hari. Dan kita tidak memakai ru’yah lagi, pun kemudian keberadaan hilal tidak diperhitungkan  pada kondisi ini wallahu a’lam.

  • Melaporkan hasil ru’yatul hilal kepada penguasa

Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagai berikut, ia berkata :

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.” (HR. Abu Dawud : 2342, dishahihkan Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud : 2028, Irwa’ul Ghalil : 908).

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma seorang sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang juga seorang ulama. Beliau melihat hilal dengan kedua biji mata beliau, bukan mendengar dari hasil penglihatan orang lain. Apa yang beliau lakukan ? apakah ia lantas mengumumkan hasil penglihatannya kepada kaum muslimin dan mengajak mereka berpuasa ? Jawabnya tidak.

Namun beliau melaporkan hasil penglihatan beliau kepada penguasa kala itu yaitu Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi pun menerima hasil ru’yatul hilal tersebut, lantas beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk mulai berpuasa.

  • Jika penguasa tidak menerima hasil ru’yatul hilal

Bagaimana sikap kita jika kita sudah berhasil melihat hilal secara langsung (bukan dari berita internet, TV, radio atau yang lain) namun hasil ru’yatul hilal kita ditolak oleh penguasa. Tetap kita kembali kepada dalil dan sikap para salafush shalih. Hal ini pernah terjadi di masa Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah katakan :

وقد روى أن رجلين في زمن عمر بن الخطاب – رضي الله عنه – رأيا هلال شوال فأفطر أحدهما ولم يفطر الآخر فلما بلغ ذلك عمر قال: للذي أفطر لولا صاحبك لأوجعتك ضربا والسبب في ذلك أن الفطر يوم يفطر الناس وهو يوم العيد

“Telah diriwayatkan bahwa pada zaman ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu ada dua lelaki yang melihat hilal syawwal (dengan matanya langsung-pent). Maka salah seorang dari mereka berbuka dan yang seorang lagi tidak berbuka.

Ketika khabar tersebut sampai ke ‘Umar, ia berkata kepada orang yang berbuka (tidak ikut keputusan penguasa-pent): ‘kalau bukan karena temanmu, tentu aku sudah memukulmu.’ Penyebab dari hal ini ialah karena hari berbuka itu adalah hari dimana manusia berbuka yaitu hari raya.” (Majmu’ Fatawa : 25/205).

Kita perhatikan, seorang yang melihat hilal langsung dengan kedua biji matanya. Namun ketika melaporkan hasil ru’yah-nya ternyata ditolak oleh Umar radhiyallahu ‘anhu. Dan ia nekat menyelisihi keputusan penguasa kala itu karena sudah melihat hilal syawwal.

Maka Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika mengetahui hal ini ia pun memarahinya dan hampir-hampir memukulinya. Ini menjadi petunjuk bagi kita semua jika kita mengalami hal serupa, maka hendaknya sikap kita adalah sebagaimana sikap yang diridhai oleh Umar radhiyallahu ‘anhu yaitu tetap mengikuti keputusan pemerintah dalam hal ini.

  • Kesalahan ditanggung penguasa

Sebenarnya jika kita mengikuti dalil-dalil di atas yang berujung pada satu kesimpulan bahwa permulaan Ramadhan dan hari raya itu dengan mengikuti keputusan penguasa, justru akan semakin ringan, mudah dan persatuan kaum muslimin dapat terwujud.

Seandainya ternyata keputusan penguasa tersebut salah maka kesalahannya akan ditanggung oleh penguasa. Adapun kita sebagai rakyat tidak ikut menanggung dosa dan kesalahannya, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يُصَلُّوْنَ لَكُمْ، فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

“Mereka shalat mengimami kalian. Apabila mereka benar, kalian dan mereka mendapatkan pahala. Apabila mereka keliru, kalian mendapat pahala sedangkan mereka mendapat dosa.” (HR. Bukhari : 694).

Di samping itu kita tidak diperkenankan untuk berpuasa pada hari syak/hari yang meragukan (ragu apakah hari itu hari terakhir bulan sya’ban atau hari pertama bulan ramadhan) dengan cara berpuasa sebelum ramadhan satu atau dua hari sebelumnya berdasarkan hadis :

لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ

“Janganlah salah seorang dari kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya. Keculai bagi lelaki yang terbiasa puasa maka hendaknya ia berpuasa pada hari tersebut”. (HR. Muslim : 573).

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يَشُكُّ فِيهِ النَّاسُ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barangsiapa berpuasa pada hari yang manusia ragu di dalamnya, maka ia telah bermaksiat kepada Abul Qasim shalallahu ‘alaihi wa sallam”.

Namun jika hari tersebut telah ditetapkan oleh penguasa akan status kejelasannya, seperti penguasa menetapkan hari ini adalah awal Ramadhan misalnya, maka kita mengikuti ketetapan penguasa, Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan :

وأصح هذه الأقوال هو التحريم ، ولكن إذا ثبت عند الإمام وجوب صوم هذا اليوم وأمر الناس بصومه فإنه لا ينابذ وتحصل عدم منابذته بألا يُظهر الإنسان فطره ، وإنما يُفطر سراً

“Pendapat yang paling benar dari sekian banyak pendapat ini ialah puasa di hari Syak/meragukan itu haram hukumnya. Tapi apabila telah jelas keputusan penguasa wajibnya puasa di hari  tersebut dan penguasa memerintahkan manusia untuk berpuasa di hari itu, maka hal ini tidak boleh ditentang”. (Asy-Syarhul Mumti’: 6/318).

Keputusan ini pulalah yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia dalam fatwa yang mereka rilis. Diantara point keputusan fatwa yang disebutkan di sana adalah:

“MEMUTUSKAN

MENETAPKAN : FATWA TENTANG PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

Pertama : Fatwa

Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.

Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.

Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.

Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.”

Fatwa ini ditanda tangani oleh ketua komisi fatwa MUI KH Ma’ruf Amin, dan juga sekertaris komisi fatwa MUI Bapak Hasanudin.

(Sumber : Fatwa MUI nomor ; 2 Tahun 2004 tentang penetapan awal Ramadhan, Syawaal dan Dzulhijjah).

Wallahu a’lam

Syarat puasa itu ada tiga macam

a). Syarat wajibnya puasa :

  • Baligh/telah mencapai usia dewasa.

Puasa tidak wajib bagi anak kecil yang  belum baligh meskipun ia mampu melaksanakannya berdasarkan hadis :

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ ، عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Pena diangkat dari tiga golongan manusia; dari orang gila yang hilang akal, dari orang yang tidur hingga ia bangun dan dari anak kecil hingga ia baligh/dewasa”. (HR Abu Dawud: 4399 dan Ibnu Hibban : 1497 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil: 2/5).

Dan baligh/kedewasaan ini ditandai dengan beberapa tanda sebagaimana keterangan Imam Ibnu Utsaimin sebagai berikut:

والبلوغ يحصل بواحد من ثلاثة بالنسبة للذكر: إتمام خمس عشرة سنة وإنبات العانة، وإنزال المني بشهوة، وللأنثى بأربعة أشياء هذه الثلاثة السابقة ورابع، وهو الحيض، فإذا حاضت فقد بلغت حتى ولو كانت في سن العاشرة

“Baligh/kedewasaan diketahui dengan tiga tanda pada lelaki ; menggenapkan usia 15 tahun, tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan, keluarnya mani dengan syahwat.

Dan untuk wanita kedewasaan mereka diketahui dengan empat tanda; tiga tanda yang sudah berlalu dan tanda yang keempat adalah haidh. Apabila seorang wanita haidh maka ia telah dewasa meski usianya masih sepuluh tahun”. (Asy-Syarhul Mumti’ : 6/323).

Meski demikian puasa anak kecil yang belum baligh asalkan sudah tamyiz (akan datang keterangan makna tamyiz insya’Allah) maka sah puasanya dan ia mendapatkan pahala atasnya. Imam Ibnu Baz berkata :

أعمال الصبي الذي لم يبلغ  أعني أعماله الصالحة  أجرها له هو لا لوالده ولا لغيره ولكن يؤجر والده على تعليمه إياه وتوجيهه إلى الخير وإعانته عليه لما في صحيح مسلم عن ابن عباس رضي الله عنهما أن امرأة رفعت صبياً إلى النبي صلى الله عليه وسلم في حجة الوداع فقالت: يا رسول الله ألهذا حج؟ قال :  (نعم ولك أجر) . فأخبر النبي صلى الله عليه وسلم أن الحج للصبي وأن أمه مأجورة على حجها به.

وهكذا غير الولد له أجر على ما يفعله من الخير كتعليم من لديه من الأيتام والأقارب والخدم وغيرهم من الناس؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : (من دل على خير فله مثل أجر فاعله) رواه مسلم في صحيحه؛ ولأن ذلك من التعاون على البر والتقوى، والله سبحانه يثيب على ذلك.

“Amal anak kecil yang belum baligh (dewasa) maksudku amal shalihnya, maka pahalanya bagi dia sendiri bukan untuk kedua orang tuanya, bukan pula untuk orang lain. Akan tetapi kedua orang tuanya diberikan pahala atas pengajaran dan arahan mereka berdua kepada anaknya kepada kebaikan serta motivasi keduanya terhadap anaknya.

Hal ini berdasarkan riwayat yang ada di dalam Shahih Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, bahwa seorang wanita mengangkat seorang anak kehadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada peristiwa haji wadda’ dan ia berkata ; ‘wahai Rasulullah apakah anak ini sah hajinya?’. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ; ‘iya, dan engkau juga mendapatkan pahala’. (HR. Muslim : 1336).

Demikian pula mendidik anak yang bukan anak kandungnya, seseorang akan mendapatkan pahala atas kebaikan yang ia lakukan. Seperti seseorang yang mengajari orang yang ada di sisinya baik itu anak yatim, karib kerabat atau pembantu dan yang lainnya. Berdasarkan hadis Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Orang yang menunjukkan jalan kebaikan maka baginya pahala pelaku kebaikan tersebut’. (HR. Muslim : 1893).

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim di kitab shahihnya, dan karena di dalamnya terdapat unsur tolong-menolong di dalam kebaikan dan taqwa dan Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pahala atasnya”. (Fatawa Syaikh Bin Baz no. 664).

  • Mampu

Dan puasa tidak wajib bagi orang yang tidak mampu melaksanakannya karena faktor usia tua atau karena sakit. Allah ta’ala berfirman :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan bagi orang yang terasa berat melaksanakannya maka ia membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin.”

(QS. Al-Baqarah : 184).

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :

ليست بمنسوخة , هو الشيخ الكبير والمرأة الكبيرة لا يستطيعان أن يصوما , فليطعما مكان كل يوم مسكينا

“Ayat ini tidak dihapus, dan ia berlaku untuk kakek yang tua renta dan nenek yang tua renta yang tidak mampu melaksanakan puasa, maka keduanya memberi makan setiap harinya satu orang miskin”. (HR Daraquthni : 249 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil : 4/17 no. 912).

  • Mukim atau tidak sedang bersafar.

Orang yang sedang bersafar/bepergian jauh tidak wajib puasa, ia boleh membatalkan puasanya dan menggantinya di hari yang lain. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barangsiapa salah seorang dari kalian sakit atau sedang bepergian jauh ia mengganti di hari yang lain”.

(QS. Al-Baqarah : 184).

Adapun batasan minimal jarak yang disebut safar, tidak ada dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menyebutkan batasan minimal dengan pasti dan tegas. Ketika batasan minimal tidak disebutkan oleh syariat maka pendapat yang lebih benar, batasan tersebut dikembalikan kepada ‘Urf atau kebiasaan masing-masing daerah. Imam Ibnu ‘Utsaimin berkata :

المسافة التي تقصر فيها الصلاة حددها بعض العلماء بنحو ثلاثة وثمانين كيلو مترا ، وحددها بعض العلماء بما جرى به العرف أنه سفر وإن لم يبلغ ثمانين كيلو مترا ، وما قال الناس عنه : إنه ليس بسفر ، فليس بسفر ولو بلغ مائة كيلو متر. وهذا الأخير هو اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله ، وذلك لأن الله تعالى لم يحدد مسافة معينة لجواز القصر وكذلك النبي صلى الله عليه وسلم لم يحدد مسافة معينة .

“Jarak safar yang membolehkan seseorang untuk mengqashar shalat (demikian pula meninggalkan puasa-pent) ditetapkan oleh sebagian ulama sekitar 80 KM. Sebagian ulama lagi membatasinya dengan ‘Urf/kebiasaan masyarakat meski belum mencapai 80KM. Apa yang dikatakan oleh manusia bahwa itu bukan safar, maka ia bukan safar meski jauhnya jarak mencapai 100 KM.

Pendapat terakhir inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -semoga Allah senantiasa merahmati beliau-. Hal itu karena Allah ta’ala tidak menetapkan adanya jarak tertentu untuk seseorang boleh mengqashar shalat. Demikian pula Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi jarak tertentu”. (Fatawa Arkanil Islam : 381).

b). Syarat sahnya puasa

  • Niat

Apabila telah jelas status suatu hari bahwa ia adalah awal Ramadhan baik dengan ru’yatul hilal, atau dengan persaksian atau dengan menggenapkan jumlah hari bulan sya’ban, maka seorang muslim wajib memulai niatnya pada malam hari pertama di bulan ramadhan sebagaimana sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَلا صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa tidak melakukan niat sejak dari malam, maka tidak ada puasa baginya”. (HR Tirmidzi : 730, Nasa’i : 2334, dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi : 583).

Niat ini letaknya di hati, tidak perlu diucapkan dengan lisan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

ومن خطر بقلبه أنه صائم غداً فقد نوى

“Barangsiapa terbetik di dalam hatinya keinginan untuk berpuasa di esok hari, maka ia telah berniat”. (Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah : 1/191).

Syaikh DR. Musthafa Al-Khin berkata :

وهي قصد الصيام، ومحلها القلب، ولا تكفي باللسان، ولا يشترط التلفظ بها، ودليل وجوب النية قوله – صلى الله عليه وسلم – ” إنما الأعمال بالنيات “

“Dan niat itu maknanya bermaksud untuk melaksanakan puasa, niat letaknya di hati, tidak cukup diucapkan lisan dan tidak disyaratkan untuk diucapkan. Dalil kewajibannya ialah sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ; “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya”. (HR Bukhari : 1, Muslim : 1907). (Lihat Al-Fiqhul Manhaji ‘Ala Madzhab Imam Asy-Syafi’i : 2/282).

Kumpulan ulama’ besar di kerajaan Saudi Arabia yang tergabung dalam Lajnah Da’imah berfatwa :

تكون النية بالعزم على الصيام ، ولا بد من تبييت نية صيام رمضان ليلاً كل ليلة

“Niat puasa itu dengan berazam kuat untuk melakukan puasa dan niat puasa ramadhan harus di lakukan pada malam di setiap harinya”. (Fatawa Lajnah Da’imah : 10/246).

Hukum ini (keharusan niat di malam hari) berkaitan dengan puasa wajib atau puasa Ramadhan. Adapun puasa sunnah maka tidak disyaratkan niat di malam hari sebelum subuh. Maknanya jika seseorang pada suatu hari tidak memiliki niat puasa sama sekali, dan ia sejak subuh hingga siang belum makan, belum minum, belum melakukan pembatal puasa. Kemudian ia berniat puasa di siang hari maka sah puasanya. Dan hukum ini khusus berlaku untuk puasa sunnah, dalinya riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha berikut ini :

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ، فَقَالَ :  هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ ، فَقُلْنَا : لَا ، قَالَ : فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ ، ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ ، فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ ، فَقَالَ : أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ، فَأَكَلَ

“Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku pada suatu hari, beliau bertanya ; ‘Apakah engkau memiliki makanan?’. Kami mengatakan ; ‘Tidak’.

Beliau lantas bersabda ; ‘Jika demikian aku akan berpuasa saja’. Kemudian beliau mendatangi kami pada hari yang lain, kamipun mengatakan ; ‘Wahai rasulullah kami diberi hadiah berupa Hais (roti campuran dari kurma, gandum, susu, keju, minyak samin)’. Beliau berkata ; ‘Berikan kepadaku sejak tadi pagi aku puasa’, lantas beliau makan”.  (HR. Muslim : 1958).

Namun ada hal yang perlu diperhatikan dalam masalah memulai niat puasa di siang hari ini. Sebagian ulama mengatakan bebas memulai niat kapan saja selama belum melakukan pembatal puasa di hari tersebut. Sebagian ulama yang lain mensyaratkan mulai niat puasa ini hendaknya dilakukan maximal beberapa saat sebelum waktu zawal/tergelincirnya matahari/beberapa saat sebelum dzuhur. Pendapat yang kedua inilah yang benar, wallahu a’lam.

  • Tamyiz/Mumayyiz

Tidak sah puasa anak-anak yang belum mumayyiz/belum bisa membedakan mana aurat mana bukan. Imam Mahmud bin Abdillah Al-Husaini Al-Alusi berkata menuturkan penjelasan tentang kriteria anak yang belum mumayyiz :

الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلى عَوْراتِ النِّساءِ أي الأطفال الذين لم يعرفوا ما العورة ولم يميزوا بينها وبين غيرها

“Yaitu anak yang belum tampak pada mereka aurat wanita. Maknanya ialah anak-anak yang belum mengetahui apa itu aurat dan belum mampu membedakan mana aurat mana bukan”. (Tafsir Ruhul Ma’ani : 9/339).

  • Waktu Puasa

Tidak sah puasa yang dilakukan pada hari-hari yang terlarang seperti orang berpuasa pada hari raya Idul Fitri misalnya berdasarkan riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada dua hari yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Muslim : 1138).

c). Syarat  Wajib Dan Sahnya Puasa Sekaligus

  • Islam

Maka orang kafir tidak wajib melaksanakan puasa, karena khitab (lawan bicara) yang Allah tujukan kepada mereka perintah puasa adalah orang-orang yang beriman, sebagaimana yang tersebut dengan jelas di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat : 183 yang terkenal itu. Seandainya mereka puasa, tidak sah puasa mereka dan tidak diterima oleh Allah ta’ala.

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Seandainya engkau berbuat syirik maka akan terhapus semua amalmu dan kelak engkau termasuk golongan orang-orang yang merugi”.

(QS.Az-Zumar : 65).

Dan jika mereka masuk islam maka tidak ada kewajiban untuk mengqadha’/mengganti puasa Ramadhan yang selama ini mereka tinggalkan, hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الْأَوَّلِينَ

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu.”

(QS. Al-Anfal : 38).

  • Berakal

Orang yang tidak berakal karena faktor apapun, tidak wajib puasa berdasarkan hadits yang sudah kita sebutkan di atas :

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ ، عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Pena diangkat dari tiga golongan manusia ; dari orang gila yang hilang akal, dari orang yang tidur hingga ia bangun dan dari anak kecil hingga ia baligh/dewasa”. (HR Abu Dawud : 4399 dan Ibnu Hibban : 1497 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil : 2/5).

Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair berkata :

وفرق بين النوم وبين الجنون والإغماء، الجنون يرفع التكليف بخلاف النوم، الإغماء هل يلحق بالجنون أو بالنوم؟ أهل العلم فصلوا فقالوا: إن كان الإغماء أكثر من ثلاثة أيام فهو في حكم الجنون، بمعنى أنه لا يؤمر بقضاء، الإغماء يعني لو نفترض أن شخصاً أدخل العناية المركزة ولا يحس بشيء لمدة خمسة أيام أسبوع شهر أو أكثر، ما يقال: إذا أفاق لا يلزمه شيء، لا يلزمه قضاء شيء، لكن لو أغمي عليه يوم أو يومين يقضي ما فاته؛ لأن مثل هذا الإغماء لأنهم جعلوا الثلاثة حد للكثرة والقلة، فالقليل من الإغماء حكمه حكم النوم، والنائم يلزمه أن يقضي ما فاته، ومثله من أغمي عليه أقل من ثلاثة أيام، وأما من أغمي عليه أكثر من ثلاثة أيام وطال به الإغماء فحكمه حكم المجنون يرتفع عنه التكليف.

“Para ulama membedakan antara tidur dengan gila dan juga pingsan. Orang yang gila diangkat darinya kewajiban agama berbeda dengan orang yang tidur. Apakah pingsan disamakan hukumnya dengan tidur ?

Para ahli ilmu merinci, apabila durasi pingsan lebih dari tiga hari, maka ia dihukumi sama dengan kasus orang gila. Maknanya ia tidak diperintahkan untuk mengqadha’ puasa. Orang yang pingsan taruhlan ada orang yang opaname di ruang UGD, ia tidak merasakan apa-apa (koma) selama lima hari atau sepekan atau sebulan dikatakan ; ia tidak memiliki kewajiban apa-apa, ia tidak harus meangqadha’ apapaun.

Akan tetapi jika ia pingsan selama sehari atau dua hari, maka ia mengqadha’ puasa yang terlewat. Karena jenis pingsan seperti ini para ulama menjadikan jumlah tiga hari ini sebagai standard banyak dan sedikitnya pingsan seseorang. Maka pingsan yang sedikit hukumnya sama dengan tidur. Dan orang yang tidur itu memiliki kewajiban untuk mengqadha’ puasa yang terlewat. Demikian pula sama hukumnya orang yang pingsan kurang dari tiga hari.

Adapun yang pingsan lebih dari tiga hari dan berkelanjutan maka hukumnya disamakan dengan hukum orang yang gila, kewajiban agama terangkat dari dia”. (Syarah Zadil Mustaqni’ Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair : 3/5) .

  • Suci dari haidh dan nifas

Dalil bahwasanya wanita haidh dan nifas tidak boleh melaksanakan puasa ialah riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagai berikut :

كُنَّا نَحِيضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ , وَلا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاةِ

“Kami mengalami haidh di masa rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat”. (HR. Muslim : 335).

Hadis ini menunjukkan puasa haram bagi wanita yang sedang haidh maupun nifas, dan mereka memiliki kewajiban untuk mengganti puasa di hari yang lain. Imam Nawawi menyatakan :

أَجْمَعَتْ الأُمَّةُ عَلَى تَحْرِيمِ الصَّوْمِ عَلَى الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ , وَعَلَى أَنَّهُ لا يَصِحُّ صَوْمُهَا…وَأَجْمَعَتْ الأُمَّةُ أَيْضًا عَلَى وُجُوبِ قَضَاءِ صَوْمِ رَمَضَانَ عَلَيْهَا , نَقَلَ الإِجْمَاعَ فِيهِ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ جَرِيرٍ وَأَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ

“Ulama umat Islam telah bersepakat akan haramnya puasa bagi wanita haidh dan nifas dan bahwasanya tidak sah puasa keduanya dan mereka bersepakat pula bahwa keduanya wajib mengqadha’ puasa Ramadahan di hari yang lain. Kesepakatan ini dinukil pula oleh Tirmidzi, Ibnul Mundzir, Ibnu Jarir, para sahabat kami dan yang lainnya ”.

Wallahu a’lam

Para ulama berselisih pendapat tentang apakah niat itu menjadi syarat puasa ataukah rukun puasa. Dan jika kita letakkan niat sebagai syarat puasa (sudah berlalu pembahasan niat) maka tidak tersisa rukun puasa kecuali satu, yaitu Imsak.

Imsak ialah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dimulai dari terbitnya fajar shadiq hingga terbenamnya matahari. Allah ta’ala berfirman ketika menjelaskan durasi puasa :

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.

Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”

(QS Al-Baqarah: 187).

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ; “Fajar itu ada dua, adapun yang  pertama ia tidak mengharamkan makan (sahur-pent) dan tidak membolehkan shalat (shalat subuh-pent). Adapun fajar yang kedua ia mengharamkan makan dan menghalalkan shalat”. (HR Ibnu Khuzaimah : 3/210, Al-Hakim : 1/191 dinyatakan shahih oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halaby di dalam kitab Shifatush Shaumin Nabi : 37).

Fajar yang pertama ini disebut fajar kadzib, sedang yang kedua di sebut fajar shadiq. Kemudian syaikh Ali Hasan Al-Halabi berkata menerangkan perbedaan antara keduanya :

اعلم أيها الموفق إلى طاعة ربه أن أوصاف الفجر الصادق هي التي تتفق والآية الكريمة حتى يتبين لنا الخخيط الأبيض من الأسود من الفجر فإن ضوء الفجر إذا اعترض في الأفق على الشعاب ورؤوس الجبال  ظهر كأنه خيط أبيض وظهر من فوقه خيط أسود وهو بقايا ظلام الذي ولى مدبرا

“Ketahuilah wahai hamba Allah yang diberikan taufik untuk mentaati Rabb-nya, bahwa sifat fajar itu adalah yang sesuai dengan firman Allah ‘Hingga menjadi jelas benang putih dari benang hitam berupa fajar’. Karena sesungguhnya cahaya fajar itu apabila mulai muncul di ufuk timur, di puncak gunung ia akan tampak seperti benang putih dan tampak pula di atasnya benang hitam berupa sisa-sisa gelapnya malam yang masih mendominasi”. (Shifatush Shaumin Nabi : 38).

Dan sebagaimana kita baca dari ayat di atas bahwa batas akhir puasa ialah hingga malam menjelang. Menjelangnya malam ini dimulai dari tenggelamnya bulatan matahari di sisi barat. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata :

إذا أقبل الليل من هاهنا وأدبر النهار من هاهنا وغربت الشمس فقد أفطر الصائم

“Apabila malam telah menjelang dari sini, dan siang telah berlalu dari sini dan matahari telah tenggelam maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka”. (HR. Muslim : 1100).

Syaikh Ali Hasan Al-Halabi berkata :

وقد يظن بعض الناس أن الليل لا يتحقق بعد غروب الشمس فورا وإنما يدخل بعد انتشار الظلام شرقا وغربا وقد حدث ذلك لبعض أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فأفهم أنه ييكفي أول الظلام من جهة المشرق بعد اختفاء قرص الشمس

“Sebagian manusia menyangka bahwa waktu malam belum benar-benar terwujud setelah tenggelamnya matahari langsung. Akan tetapi malam baru masuk setelah kegelapan menyebar luas di timur dan barat. Hal ini juga terjadi pada sebagian para sahabat nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Lantas Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memahamkan mereka  bahwa malam tandanya cukup dengan awal kali gelap di sisi timur, sesaat setelah bulatan matahari sudah tenggelam”. (Shifatush Shaumin Nabi : 40).

Dari nukilan ayat serta sedikit uraian di atas kita memahami bahwa durasi puasa adalah dimulai dari terbitnya fajar shadiq hingga malam menjelang ditandai dengan tenggelamnya bulatan matahari di sisi barat.

Wallahu a’lam

Awal kali puasa disyariatkan, kaum muslimin diperintahkan untuk melaksanakan puasa dengan aturan dan hukum yang sama dengan puasanya orang-orang ahli kitab sebelum mereka. Dalilnya adalah firman Allah ta’la dalam surat Al-Baqarah :

“Sebagaimana puasa diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”.

(QS : Al-Baqarah : 183).

Maksud dari orang-orang sebelum kalian (sebelum kaum muslimin) ialah orang-orang ahli kitab. Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu ta’ala berkata :

وفي الذين من قبلنا ثلاثة أقوال: أحدها: أنهم أهل الكتاب، رواه عطاء الخراساني عن ابن عباس، وهو قول مجاهد. والثاني: أنهم النصارى، قاله الشعبي، والربيع. والثالث: أنهم جميع أهل الملل، ذكره أبو صالح عن ابن عباس.

“Dan maksud dari ‘orang-orang sebelum kita’ ada tiga pendapat : pertama mereka adalah ahli kitab, pendapat ini diriwayatkan oleh ‘Atha’ Al-Khurasani dari Ibnu Abbas dan ini juga pendapatnya Mujahid.

Yang kedua mereka adalah orang-orang nasrani, pendapat ini dikatakan oleh Asy-Sya’bi dan Ar-Rabi’.

Yang ketiga mereka adalah seluruh penganut milah/agama terdahulu, ini disebutkan oleh Abu Shalih dari Ibnu Abbas”. (Zadul Masir Fi ‘Ilmit Tafsir : 1/141).

Pendapat yang benar, maksud dari orang-orang sebelum kita adalah ahli kitab dari kalangan yahudi dan nasrani, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

“Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur”. (HR. Muslim : 1096).

Maka demikianlah para sahabat melaksanakan puasa sama dengan puasanya ahli kitab. Yang di kemudian hari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam lantas memerintahkan para sahabat untuk bersahur agar puasa kaum muslimin tidak sama dengan puasanya ahli kitab.

a). Hukum sahur

Dan sahur ini sunnah hukumnya tidak wajib, semua perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan sahur dibawa kepada pengertian mustahab/anjuran. Imam Ibnu Khuzaimah menuliskan salah satu judul bab di dalam kitab beliau : “Bab tentang perintah sahur itu adalah perintah yang sifatnya anjuran dan bukan kewajiban yang mana orang yang meninggalkannya menanggung dosa”. (Shahih Ibnu Khuzaimah : 3/213).

b). Keutamaan dan keberkahan sahur

Dan sahur ini memiliki banyak sekali keutamaan sebagaimana tersebut dalam riwayat-riwayat sebagai berikut :

  1. إنَّ اللَّهَ ، وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur”. (HR Ahmad : 11086 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah : 1654, Shahih At-Targhib Wat Tarhib : 1053).

  1. عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ ، قَالَ : دَعَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى السُّحُورِ فِي رَمَضَانَ فَقَالَ : هَلُمَّ إِلَى الْغَدَاءِ الْمُبَارَكِ

Dari ‘Irbadh bin Sariyah berkata ; “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengundang aku untuk bersahur di bulan ramadhan dan beliau bersabda ; ‘Mari kita menuju makanan yang penuh berkah”. (HR Abu Dawud : 2344 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud : 2053).

  1. عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَسَحَّرُ ، فَقَالَ : إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ اللَّهُ إِيَّاهَا فَلَا تَدَعُوهُ

Dari sorang lelaki sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata ; Aku masuk ke rumah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang bersahur lantas beliau bersabda : ‘Sesungguhnya sahur ini adalah keberkahan yang Allah berikan kepada kalian, maka jangan kalian tinggalkan ia.” (HR An-Nasa’I : 2162 dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih At-Targhib Wat Tarbib : 11056).

  1. البركة في ثلاثة : الجماعة والسحور والثريد

“Keberkahan itu ada tiga ; Jama’ah, sahur dan roti Tsarid.” (Shahihut Targhib Wat Tarhib : 1053).

  1. تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

“Bersahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat keberkahan”. (HR Bukhari : 1789 dan Muslim : 1835).

Dalam beberapa riwayat di atas Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan di dalam sahur itu terdapat keberkahan yang melimpah. Tapi keberkahan seperti apa yang beliau maksudkan, berikut penjelasan dari Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani :

الْبَرَكَةَ فِي السُّحُورِ تَحْصُلُ بِجِهَاتٍ مُتَعَدِّدَةٍ وَهِيَ اتِّبَاعُ السُّنَّةِ وَمُخَالَفَةُ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالتَّقَوِّي بِهِ عَلَى الْعِبَادَةِ وَالزِّيَادَةُ فِي النَّشَاطِ وَمُدَافَعَةُ سُوءِ الْخُلُقِ الَّذِي يُثِيرُهُ الْجُوعُ وَالتَّسَبُّبُ بِالصَّدَقَةِ عَلَى مَنْ يَسْأَلُ إِذْ ذَاكَ أَوْ يَجْتَمِعُ مَعَهُ عَلَى الْأَكْلِ وَالتَّسَبُّبُ لِلذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ وَقْتَ مَظِنَّةِ الْإِجَابَةِ وَتَدَارُكُ نِيَّةِ الصَّوْمِ لِمَنْ أَغْفَلَهَا قَبْلَ أَنْ يَنَامَ

“Keberkahan di dalam sahur itu didapatkan dengan beberapa segi yaitu :

  • Keberkahan berupa mengikuti sunnah,
  • Keberkahan menyelisihi orang-orang ahli kitab dalam puasa mereka,
  • Keberkahan memperkuat diri di dalam beribadah,
  • Keberkahan menambah semangat,
  • Keberkahan menolak akhlak buruk yang terkadang dikobarkan oleh rasa lapar,
  • Sahur juga menjadi sebab seseorang bersedekah jika ada orang lain yang turut sahur bersamanya,
  • Sahur juga menjadi sebab seseorang berdzikir dan berdo’a pada waktu diijabahinya doa,
  • Sahur juga mengingatkan seseorang untuk niat puasa bagi yang melupakannya sebelum ia tidur”. (Fathul Bari : 4/140).

c). Sebaik-baik sahur

Dan makanan sahur yang terbaik ialah dengan kurma, berdasarkan sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebaik-baik sahurnya seorang yang beriman adalah kurma”. (HR. Abu Dawud : 2345, Ibnu Hiban : 3475, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah : 562).

Apabila benar-benar tidak ada makanan sama sekali maka kita tetap dianjurkan bersahur meskipun dengan beberapa teguk air putih, nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

السُّحُورُ أَكْلَةٌ بَرَكَةٌ فَلا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

“Sahur itu adalah makanan berkah jangan kalian tinggalkan meski hanya seteguk air. Karena Allah dan para malaikat bershalawat untuk orang-orang yang bersahur”. (HR Ahmad : 11003 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami; : 3683).

d). Mengakhirkan sahur

Dianjurkan bagi kita untuk mengakhirkan sahur di akhir waktu atau beberapa saat sebelum terbitnya fajar shadiq atau beberapa saat sebelum berkumandangnya adzan shalat subuh. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

بكّروا بالإفطار، وأخّروا السُّحور

“Segerakanlah berbuka dan akhirkanlah sahur”. (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah : 1773).

Dalam riwayat lain beliau juga bersabda :

ثلاث من أخلاق النبوة : تعجيل الإفطار، وتأخير السحور، ووضع اليمين على الشمال في الصلاة

“Ada tiga hal yang merupakan akhlak kenabian ; menyegerakan berbuka, mengkahirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika shalat”. (HR Al-Haithami dalam Majma’uz Zawaaid : 2/105, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ : 3038).

Dan ketika kita sedang makan lalu terdengar suara adzan subuh yang menjadi pertanda fajar shadiq sudah terbit. Kita diijinkan untuk menghabiskan makanan yang ada di dalam piring kita demikian pula minum dengan tanpa kita mengambil tambahan makanan. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

“Apabila salah seorang dari kalian mendengar suara adzan sedangkan bejana (piring-pent) masih ada di tangannya maka janganlah ia meletakkannya hingga ia menuntaskan makannya”. (HR Abu Dawud : 2350, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud : 2060).

Wallahu a’lam

Hakikat orang yang berpuasa ialah mempuasakan seluruh anggota badannya dari berbuat dosa. Menahan lisan dari berkata dusta, keji dan palsu. Menahan perut dari makan dan minum. Menahan kemaluan dari perbuatan keji, dan jika berkata ia tidak mengucapkan perkataan yang bisa menodai puasanya. Dan jika melakukan sesuatu, ia tidak melakukan hal-hal yang bisa merusak puasa. Sehingga ucapan yang muncul senantiasa indah, dan amal yang dikerjakan senantiasa shalih.

Seperti inilah puasa yang disyariatkan, bukan hanya sekedar menahan lapar, haus dan syahwat semata. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat memotivasi umatnya untuk berkahlak mulia, menjauhi perkataan yang buruk, kasar, tidak sopan. Apabila setiap orang Islam diperintahkan untuk menghindar dari sifat-sifat buruk ini di setiap hari, waktu dan kesempatan, maka larangan ini menjadi lebih ditekankan lagi ketika ia sedang melaksanakan ibadah puasa.

Dengan demikian setiap orang islam hendaknya menjauhi hal-hal buruk ini agar ia bisa mengambil manfaat dari puasanya, serta mendapatkan predikat taqwa yang menjadi tujuan utama disyariatkannya puasa sebagaimana firman Allah ta’ala :

“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian puasa sebagaimna ia diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa”.

(QS. Al-Baqarah : 183).

Dan karena puasa adalah sarana yang akan mengantarkan seseorang kepada predikat taqwa. Maka ia menjadi penghalang seseorang dari melakukan bebagai macam kemaksiatan sebagaimana sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Puasa adalah perisai”. (HR Muslim : 1400).

Berikut ini kami sampaikan beberapa akhlak buruk yang harus ditinggalkan oleh setiap orang Islam lebih-lebih lagi yang sedang berpuasa. Kita menyampaikannya dalam rangka untuk menjauhinya sebagaimana perkataan penyair:

عرفت الشرَّ لا للشرِّ لكنْ لِتَوَقِّيهِ … ومَنْ لا يعرف الشرَّ مِنَ الناسِ يَقَعْ فيهِ

“Aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukannya *** Barangsiapa tidak mengetahui keburukan dari kebaikan, maka ia akan terjerumus ke dalamnya” (Bait ini sangat terkenal dan banyak dinukil oleh para ulama’ di berbagai kitab hasil karya ilmiyyah mereka. Aslinya ia adalah bait yang ditorehkan Oleh Abu Firas Al-Hamdani yang mendapat julukan “Pemimpin Para Pujangga” di dalam kumpulan syair nya berjudul “Diwan Abu Faris Al-Hamdani” halaman. 431).

Diantara akhlak buruk tersebut ialah :

  1. Berkata dusta

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh kepada perbuatan dia didalam meninggalkan makan dan minum.” (HR. Bukhari : 1903).

Imam Al-Qasthalani berkata menjelaskan makna hadis ini :

وليس المراد الأمر بترك صيامه إذا لم يترك الزور، وإنما معناه التحذير من قول الزور. فهو كقوله عليه الصلاة والسلام: ‘من باع الخمر فليشقص الخنازير’ ولم يأمره بشقصها، ولكنه على التحذير والتعظيم لإثم شارب الخمر. وكذلك حذر الصائم من قول الزور والعمل به، ليتم له أجر صيامه».

“Bukanlah maksud dari hadis ini perintah untuk meninggalkan puasa jika tidak mampu meninggalkan perkataan dusta. Akan tetapi maknanya adalah peringatan keras dari perkataan dusta. Hadis ini mirip dengan hadis ; ‘Barangsia menjual khamr/minuman keras hendaknya ia mencincang babi’.

Maksudnya bukan kok Nabi menyuruh mencincang babi. Akan tetapi beliau memperingatkan dan menjelaskan betapa besarnya dosa peminum khamr. Demikian pula beliau memperingatkan orang yang berpuasa dari perkataan dan perbuatan dusta, supaya menjadi sempurna pahala puasanya.”  (Irsyadus-Sari Syarah Shahih Bukhari : 2/353-354).

  1. Perbuatan yang sia-sia dan porno.

Imam Muhammad bin Al-Fadhl bertutur :

جوارحك كلها أمانات عندك أمرت فى كل واحدة منها بامر فامانة العين الغض عن المحارم والنظر بالاعتبار وامانة السمع صيانتها عن اللغو والرفث وإحضارها مجالس الذكر وامانة اللسان اجتناب الغيبة والبهتان ومداومة الذكر وامانة الرجل المشي الى الطاعات والتباعد عن المعاصي وامانة الفم ان لا يتناول به الا حلالا وامانة اليد ان لا يمدها الى حرام ولا يمسكها عن المعروف وامانة القلب مراعاة الحق على دوام الأوقات حتى لا يطالع سواه ولا يشهد غيره ولا يسكن الا اليه

“Anggota badanmu semuanya adalah amanah, setiap satu dari masing-masing anggota badan kalian, diperintahkan dengannya suatu perintah. Amanahnya mata dengan menundukkan pandangan dari melihat hal-hal yang haram. Amanahnya pendengaran adalah dengan menjaganya dari mendengar perkataan yang sia-sia dan porno, dan menggunakannya untuk mendengarkan majelis dzikir.

Amanahnya lisan dengan menjauhi ghibah dan dusta serta membiasakan lisan dengan dzikir. Amanahnya kaki dengan menggunakannya untuk berjalan menuju ketaatan serta menjauh dari lokasi-lokasi maksiat.

Amanahnya mulut dengan mengkonsumsi makanan halal. Amanahnya tangan dengan tidak menjulurkannya untuk melakukan keharaman serta tidak menahannya dari berbuat baik. Dan amanahnya hati dengan menjaga waktu untuk kebaikan hingga hati hanya sibuk dan nyaman dengan kebenaran”. (Tafsir Ruhul Bayan : 6/69).

  1. Berteriak-teriak/bertengkar

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ

“Puasa itu bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum, akan tetapi puasa itu dengan menahan diri dari perbuatan yang sia-sia, perkataan porno. Dan jika ada seseorang mencacimu atau berbuat jahiliyah kepadamu maka katakanlah ; ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” (HR. Ibnu Khuzaimah : 7/282 dan Hakim : 4/111. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib Wat Tarhib : 1082).

Maka dari itu ancaman bagi orang yang tidak meninggalkan hal-hal buruk ini sangat keras, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ; “Betapa banyak orang berpuasa tidak mendapatkan dari puasanya melainkan hanya lapar dahaga”. (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib Wat Tarhib : 1084).

Sebabnya ialah orang yang melakukannya tidak mengetahui dan memahami hakikat puasa sehingga ia diberikan hukuman berupa diharamkan mendapatkan pahala puasa.

  1. Ghibah

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ؟ قَالُوا : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?. Para sahabat berkata ; ‘Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu’. Nabi bersabda : ‘Engkau menyebutkan hal yang dibenci oleh saudaramu’. Dikatakan ; ‘Apa pendapatmu ucapanku pada saudaraku itu benar?’.

Kata nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ; ‘Jika apa yang engkau katakan benar, maka engkau telah menghibahnya, dan jika tidak benar engkau telah memfitnahnya’.” (HR. Muslim : 2589).

Dan di sana ada beberapa jenis pengecualian sebagaimana yang disebut oleh seorang penyair :

القدح ليس بغيبة في ستة … متظلم ومعرفة ومحذر

ومجاهر فسقًا ومستفت ومن … طلب الإعانة في إزالة منكر

“Mencela bukan termasuk ghibah dalam enam perkara : Orang yang terdholimi, yang memperkenalkan, yang memperingatkan. Orang yang terang-terangan berbuat kefasikan, orang yang meminta fatwa. Dan orang yang meminta bantuan untuk memberantas kemungkaran”. (Syarah Aqidah Thahawiyyah Libni Abil Izz Al-Hanafi : 1/48).

Sehingga orang yang dizalimi lalu menceritakan kezaliman tersebut untuk mencari keadilan tidak termasuk ghibah. Demikian pula orang yang menyebut aib/cacat seseorang agar orang tahu, karena ia memang dikenal orang dengan cacatnya itu. Seperti dalam ilmu hadits kita mengenal ada rawi bernama Al-A’raj/si pincang ini tidak termasuk ghibah.

Orang yang menyebutkan kesesatan orang lain agar tidak banyak orang yang tertipu dengannya juga tidak termasuk ghibah. Menyebutkan kesalahan orang yang terang-terangan bermaksiat juga bukan ghibah. Meminta fatwa serta meminta bantuan  untuk memberantas kemungkaran juga tidak termasuk ghibah sama sekali wallahu a’lam.

  1. Namimah/mengadu domba.

Namimah maknanya ialah mengadu domba, menyebabkan dua pihak menjadi bermusuhan dan bertengkar. Namun tidak semua namimah itu haram. Jika maksud dari naminah ini dalam rangka untuk memotivasi orang melakukan kebaikan maka boleh hukumnya. Demikian pula jika namimah ini dilakukan untuk mencerai-beraikan barisan musuh ketika terjadi peperangan ini juga diperbolehkan. Imam Ibnu Katsir berkata :

قُلْتُ: النَّمِيمَةُ عَلَى قِسْمَيْنِ: تَارَةً تَكُونُ عَلَى وَجْهِ التَّحْرِيشِ بَيْنَ النَّاسِ، وَتَفْرِيقِ قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ. فَهَذَا حَرَامٌ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. فَأَمَّا إِنْ كَانَتْ عَلَى وَجْهِ الْإِصْلَاحِ بَيْنَ النَّاسِ، وَائْتِلَافِ كَلِمَةِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ  لَيْسَ الْكَذَّابُ مَنْ يُنَمِّ خَيْرًا أَوْ يَكُونُ عَلَى وَجْهِ التَّخْذِيلِ وَالتَّفْرِيقِ بَيْنَ جُمُوعِ الْكَفَرَةِ، فَهَذَا أَمْرٌ مَطْلُوبٌ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ  الْحَرْبُ خدعة

“Aku katakan ; Namimah itu ada dua macam ; terkadang dilakukan untuk mengadu domba diantara manusia serta mencerai-beraikan hati-hati kaum mukminin, maka ini disepakati keharamannya.

Terkadang pula namimah dilakukan dalam rangka untuk mendamaikan diantara manusia, mengokohkan persatuan kaum muslimin sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits ; ‘Bukan pendusta orang yang melakukan namimah untuk kebaikan’ (HR Bukhari : 2546) atau tujuannya untuk memporak-porandakan persatuan orang-orang kafir, maka ini semua boleh sebagaimana disebut dalam hadits ; ‘Perang itu adalah tipu muslihat’  (HR Bukhari 2866) (Tafsir Adh-Wa’ul Bayan : 4/563, Al-Jumu’ Al-Bahiyyah Lil ‘Aqidatis-Salafiyyah : 1/294).

Dan namimah yang diharamkan ini menjadi salah satu penyebab besar seseorang mendapatkan azab kubur kelak ketika ia telah tiada, disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ أَمَا إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melewati dua kuburan.

Lalu beliau bersbda : ‘Sesungguhnya keduanya sedang di azab. Keduanya diazab bukan karena dosa besar. Adapun salah seorang mereka suka berbuat Namimah (mengadu domba). Dan yang satunya lagi tidak bersuci ketika buang air kecil”. (HR Bukhari : 216, Muslim : 292).

Wallahu a’lam

Terkadang sebagian kaum muslimin menganggap ada beberapa hal yang tidak diperbolehkan bagi orang yang berpuasa, padahal aslinya boleh. Hal tersebut bisa saja dan biasa terjadi ketika kita tidak memiliki pengetahuan yang cukup berkenaan dengan masalah ini. Sehingga menjadi penting rasanya untuk kita sampaikan di sini beberapa hal yang mungkin dianggap sebagian kalangan sebagai sebuah larangan bagi orang yang berpuasa. Namun sebenarnya hal-hal tersebut diperbolehkan karena ketiadaan dalil yang melarangnya. Diantara sekian banyak hal tersebut ialah :

  1. Berpagi hari dalam keadaan junub

Sebagian ada yang beranggapan jika kita berpagi hari dalam keadaan junub maka batal puasanya, ini salah justru yang benar puasanya tetap sah berdasarkan riwayat dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha beliau berkata :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

“Bahwa rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bangun di pagi hari dalam keadaan junub, lantas beliau mandi dan berpuasa”. (HR Bukhari : 1920, Muslim : 1109).

  1. Memakai siwak/gosok gigi

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ

“Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya akan aku perintahkan kepada mereka untuk bersiwak setiap kali shalat”. (HR. Bukhari : 887, Muslim : 588).

Imam Ibnu Khuzaimah mengomentari hadis ini dengan berkata :

وَلَمْ يَسْتَثْنِ مُفْطِرًا دُونَ صَائِمٍ، فَفِيهَا دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ السِّوَاكَ لِلصَّائِمِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ فَضِيلَةٌ كَهُوَ لِلْمُفْطِرِ

“Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis ini tidak mengecualikan hukum siwak untuk orang yang tidak puasa dari yang berpuasa. Maka di dalamnya terdapat pendalilan bahwa bersiwak bagi orang yang puasa setiap kali hendak shalat itu memiliki keutamaan sama seperti siwak bagi orang yang tidak puasa”. (Shahih Ibnu Khuzaimah : 3/247).

Disebutkan pula dalam kitab Al-Muwaththa’ :

حَدَّثَنِي عَنْ مالِكٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَهْلَ الْعِلْمِ «لَا يَكْرَهُونَ السِّوَاكَ لِلصَّائِمِ فِي رَمَضَانَ. فِي سَاعَةٍ مِنْ سَاعَاتِ النَّهَارِ لَا فِي أَوَّلِهِ وَلَا فِي آخِرِهِ

“Telah mengatakan kepadaku dari Malik bahwa ia mendengar para ahli ilmu mengatakan : Tidak dibenci siwak bagi orang yang berpuasa di bulan ramadhan di dalam waktu diantara waktu-waktu siang, tidak dibenci di awal siang tidak pula di akhir waktu siang”. (Al-Muwaththa’ : 1/310).

Adapun sebab kenapa sebagian ulama menyatakan makruhnya bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah berlalunya waktu Zawal/Dzuhur, adalah riwayat berikut ini :

إِذَا صُمْتُمْ فَاسْتَاكُوْا بِالْغَدَاةِ، وَلاَ تَسْتَاكُوْا باِلْعَشِيِّ….

“Apabila kalian berpuasa maka bersiwaklah di waktu pagi, jangan kalian bersiwak di waktu sore.” (HR Thabarani : 1/184/1, Daraquthni : 249, Baihaqi : 4/274)

Hanya saja hadits ini dinilai dha’if/lemah oleh para ulama karena di dalam sanadnya terdapat rawi bernama Kisan Abu Umar Al-Qishar yang dinilai sebagai rawi yang lemah oleh para ulama. Diantara ulama yang mendha’ifkannya adalah Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam At-Talkhisul Habir : 1/62, Imam Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Adh-Dhaifah hadits no. 401 dan di dalam kitab Irwa’ul Ghalil : 1/67.

Sebagian lagi berdalil akan makruhnya bersiwak bagi orang yang berpuasa dengan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam :

لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah ta’ala dibandingkan dengan minyak wangi Misk.” (HR Bukhari : 1904, Muslim : 1151).

Sisi pendalilannya adalah, ketika seorang yang berpuasa menggosok giginya atau bersiwak maka akan hilanglah bau mulut tersebut. Padahal ia dicintai oleh Allah dan lebih wangi di sisi Allah dari pada minyak wangi Misk. Anggapan ini tidak seratus persen benar, karena pada asalnya bau mulut tersebut berasal dari lambung yang kosong dari makanan dan minuman. Sehingga pengaruhnya keluar melalui mulut. Syaikh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi berkata ketika memberikan komentar terhadap makna hadits di atas :

الخلوف تغير رائحة الفم من أثر الصيام لخلو المعدة من الطعام

“Bau mulut yang dimaksud adalah perubahan bau mulut Karena pengaruh puasa disebabkan kosongnya lambung dari makanan.” (Ta’liq Shahih Muslim : 2/807).

Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hanbali juga menyatakan hal serupa beliau berkata :

خلوف الفم:رائحة ما يتصاعد منه من الأبخرة لخلو المعدة من الطعام بالصيام وهي رائحة مستكرهة في مشام الناس في الدنيا لكنها طيبة عند الله حيث كانت ناشئة عن طاعته وابتغاء مرضاته

“Bau mulut ini adalah bau yang naik dari rongga dalam karena kosongnya lambung dari makanan disebabkan puasa. Ia adalah bau yang dibenci indra pembau manusia di dunia akan tetapi lebih wangi di sisi Allah Karena ia muncul dari ketaatan dan mengharap ridha Allah.” (Latha’iful Ma’arif : 161).

Kemudian Syaikh Abul Mundzir Mahmud bin Muhammad Al-Minyawi mengumpulkan beberapa sisi bantahan terhadap persepsi makruhnya bersiwak setelah berlalunya zawal dalam beberapa point berikut :

a). Bahwa perubahan bau mulut itu sudah terjadi sebelum zawal. Karena penyebab perubahan bau mulut tersebut dikarenakan kosongnya lambung dari makanan. Jika seseorang tidak bersahur sebelum subuh maka di pagi hari bau tersebut sudah akan timbul. Jadi tidak tepat jika dikatakan kemakruhan dimulai setelah zawal.

b). Bahwa bau mulut itu kemunculannya berasal dari lambung Karena kosong dari makanan. Maka aktifitas bersiwak tidak akan menghilangkan bau tersebut sehingga tidak mengapa seorang yang berpuasa bersiwak meski sudah berlalu zawal.

c). Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa bau mulut ini lebih wangi di sisi Allah ta’ala kelak di akhirat sebagai pengaruh dari puasa yang ia lakukan di dunia. Jadi seandainya bau tersebut hilang di dunia, pengaruhnya tetap aka nada di akhirat.

Beliau lantas menyampaikan kesimpulan dengan berkata :

وعليه فالراجح أنه لا يكره السواك للصائم سواء أكان قبل الزوال، أو بعده، وقد وردت في ذلك أخبار لا تخلو من مقال ولعل أقواها ما نقل عن ابن عمر أنه كان يستاك آخر النهار وهو صائم.

“Maka atas dasar itu pendapat yang rajah bahwasanya bersiwak itu tidak dibenci bagi orang yang berpuasa. Sama saja apakah dilakukan sebelum zawal, atau setelah zawal. Ada khabar berkenaan dengan masalah ini namun tidak lepas dari kritikan, barangkali yang terkuat adalah apa yang dinukil dari Ibnu Umar bahwasanya beliau bersiwak di akhir siang dalam keadaan berpuasa.” (Lihat kitab At-Tahrir Syarhud Dalil : 1/67).

Namun meski demikian kita tetap menyatakan bahwa masalah ini adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama’. Dan kita berlonggar serta saling menghormati dan menjaga adab-adab yang baik dalam hal-hal khilafiyyah ijtihadiyyah seperti ini.

Mungkin ada diantara kita yang bertanya lantas bagaimana jika kita menggunakan pasta gigi yang basah dan memiliki rasa. Jawabnya tetap boleh, karena hal ini sama dengan penggunaan siwak yang masih basah dan memiliki rasa. Sebagian ulama mengatakan boleh hukumnya menggunakan siwak yang basah dengan kriteria yang hampir mirip dengan pasta gigi tersebut. Diantaranya ialah Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di beliau berkata :

والسواك سنّة للصائم في جميع النهار وإن كان رطبا ، وإذا استاك وهو صائم فوجد حرارة أو غيرها من طَعْمِه فبلعه أو أخرجه من فمه وعليه ريق ثم أعاده وبلعه فلا يضره .

“Dan siwak untuk orang yang berpuasa itu sunnah hukumnya di seluruh waktu siang hari meskipun siwak tadi basah. Apabila ia menggosok giginya dengan siwak dalam keadaan puasa, lalu ia mendapati rasa panas atau rasa lainnya, kemudian ia menelannya atau ia mengeluarkannya bersamaan dengan ludah lalu ditelannya kembali, maka ini tidak memadharatinya.” (Al-Fatawa As-Sa’diyah : 245).

Bahkan Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz pernah ditanya langsung tentang hukum penggunaan pasta gigi di bulan Ramadhan beliau berfatwa :

معجون الأسنان لا يفطر الصائم وهكذا السواك، وهكذا تنظيف الفم بالصابون، أو غيره كل هذا لا يفطر الصائم لكن يحذر الإنسان من دخول شيءٍ إلى جوفه، المعجون، أو غير المعجون، لا يدخل شيء إلى جوفه، أما كونه ينظف الأسنان بمعجون، أو بصابون، أو بنوعٍ آخر ثم يبصق ذلك لا يضر صومه، أما إن تعمد ابتلاع شيء من ذلك، فإنه يفطر الصوم، أما لو ذهب إلى حلقه شيء من غير قصد غلبه ذلك، أو نسياناً فلا يفطر صومه.

“Pasta gigi tidak membatalkan puasa demikian pula siwak, demikian pula membersihkan mulut dengan obat kumur atau lainnya, ini semua tidak membatalkan puasa. Namun manusia hendaknya berhati-hati dari menelan sesuatu ke dalam kerongkongannya baik itu pasta gigi atau yang benda lainnya. Tidak boleh memasukkan sesuatu hingga mencapai bagian dalam tubuh.

Adapun jika hanya membersihkan gigi dengan pasta gigi/odol atau obat kumur atau lainnya kemudian dimuntahkan lagi, maka ini tidak merusak puasanya. Adapun jika sengaja menelan sebagian dari zat-zat tadi, maka ini membatalkan puasa. Dan jika ada yang masuk ke dalam dengan tanpa ada kesengajaan atau karena lupa maka puasanya tidak batal”.  (Fatawa Syaikh Bin Baz no. 9787).

  1. Madhmadhah/berkumurdan Istinsyaq/memasuk-kan air ke hidung ketika wudhu

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan madmadhah dan istinsyaq ketika beliau wudhu dalam keadaan berpuasa. Tapi kaum muslimin dilarang dari melakukan keduanya dengan bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan. Beliau bersabda :

وَبَالِغْ فِي الاسْتِنْشَاقِ إِلا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

“Bersungguh-sungguhlah didalam beristinsyaq kecuali jika engkau sedang berpuasa”. (HR Tirmidzi : 788 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil : 935).

  1. Bercumbu dan mencium istri

كان رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُ وهُو صَائِمٌ وَيُباشِر وَهُو صَائِمٌ ولَكِنَّه كَان أَملَكَكُم لأَرَبِه

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium dan bercumbu dengan istrinya ketika puasa, namun beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya.”  (HR. Bukhari : 1927, Muslim : 1106).

Imam Al-Albani berkata :

والحديث دليل على جواز تقبيل الصائم لزوجته في رمضان، وقد اختلف العلماء في ذلك على أكثر من أربعة أقوال أرجحها الجواز، على أن يراعى حال المقبل، بحيث أنه إذا كان شابا يخشى على نفسه أن يقع في الجماع الذي يفسد عليه صومه، امتنع

من ذلك، وإلى هذا أشارت السيدة عائشة رضي الله عنها في الرواية الآتية عنها وأيكم يملك إربه

“Hadis ini (hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang beliau nukil sebelumnya-pent) menjadi dalil bolehnya orang yang puasa mencium istrinya di bulan Ramadhan. Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini hingga mencapai empat pendapat. Yang paling benar dari sekian pendapat ini ialah ‘boleh’.

Ini dengan tetap melihat kondisi orang yang mencium, yang mana jika ia masih muda. Sehingga mengkhawatirkan dirinya bisa tergelincir ke dalam jima’ yang bisa merusak puasanya, maka ia terlarang melakukannya. Pendapat inilah yang diisyaratkan oleh Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat berikut ini ; ‘namun siapa diantara kalian yang bisa mengendalikan hawa nafsunya’.” (Silsilah Ahadits Ash-Shahihah : 1/431).

  1. Ambil sample darah, bekam, donor darah, Al-Fashdu/totok darah dan tindakan medis lain yang mengandung unsur mengambil darah

Semua aktivitas di atas terdapat di dalamnya unsur pengambilan darah dari diri seseorang untuk tujuan medis. Dan para ulama berbeda pendapat tentang puasa orang yang melakukan tindakan-tindakan medis di atas, apakah membatalkan puasa ataukah tidak. Pendapat yang rajih tidak batal puasanya apabila tindakan medis tersebut tidak menyebabkan kelemahan. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ

“Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.” (HR. Abu Daud : 2022 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil : 931)

Hanya saja hadits ini sudah di nasakh/dihapus oleh hadis lain sebagaimana keterangan Imam Al-Albani sebagai berikut :

لكنّ الحديث منسوخ، وناسخه حديث أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: “أَرْخَص النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – في الحجامة للصائم” وهو صحيح كما بينته هناك

“Akan tetapi hadits ini mansukh/terhapus, dan hadits yang menghapusnya ialah hadits Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu ia berkata ; Bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan untuk berbekam bagi orang yang berpuasa’. Dan hadits ini shahih sebagaimana telah aku jelaskan di sana (di kitab Irwa’ul Ghalil : 4/74-pent).” (Lihat Mukhtashar Shahih Bukhari : 1/455 oleh Imam Al-Albani, Mausu’ah Fiqhiyyah Muyasaarah : 3/303 oleh Syaikh Husain Al-Awayisyah).

Kebolehan berbekam bagi orang yang berpuasa asal tidak menyebabkan lemah ini diperkuat pula oleh riwayat berikut. Dari Ibnu Abbas dan Ikrimah radhiyallahu ‘anhuma mereka berdua berkata :

الصوم ممّا دخَل وليس ممّا خرَج

“Puasa itu batal karena ada sesuatu yang masuk bukan karena sesuatu yang keluar”. (Mukhtashar Al-Bukhari : 1/455).

سُئل أنس بن مالك -رضي الله عنه- أكنتم تكرهون الحجامة للصائم؟ قال: لا، إِلا من أجل الضعف

“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian membenci bekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari : 1904).

  1. Suntik, obat tetes mata, celak,minyak rambut

Suntik yang tidak membatalkan puasa adalah suntik yang tidak bertujuan untuk memberi nutrisi seperti infus. Karena infus ini meski ia tidak masuk katagori makan secara istilah, namun ia adalah makan secara hakikat, karena menimbulkan energi. Bahkan seseorang bisa bertahan hidup berbulan-bulan dengan infus ini meski tidak mengkonsumsi makanan.

Adapun suntik biasa yang tidak bermaksud memasukkan nutrisi makanan maka pendapat yang benar ia dibolehkan dan tidak merusak puasa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

وأمّا الكحل والحقنة وما يقطر في إِحليله، ومداواة المأمومة والجائفة؛ فهذا ممّا تنازع فيه أهل العلم

“Adapun celak, suntik, dan apa yang diteteskan di saluran kencing, mengobati luka yang ringan maupun luka tusukan yang sampai ke rongga tubuh (Di zaman ini seperti meneteskan obat merah pada luka-pent), ini semua diperselisihkan para ulama.”. Kemudian beliau melanjutkan kembali :

والأظهر أنّه لا يفطر بشيء من ذلك، فإِنّ الصّيام من دين المسلمين الذي يحتاج إِلى معرفته الخاصّ والعامّ، فلو كانت هذه الأمور مما حرّمها الله ورسوله في الصيام، ويفسد الصوم بها، لكان هذا ممّا يجب على الرسول بيانه، ولو ذَكَر ذلك لعلِمه الصحابة وبلّغوه الأمّة؛ كما بلغوا سائر شرْعه، فلمّا لم يَنقُل أحد من أهل العلم عن النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – في ذلك لا حديثاً صحيحاً ولا ضعيفاً ولا مسنداً ولا مرسلاً؛ عُلِم أنّه لم يذكر شيئاً من ذلك.

“Pendapat yang lebih tampak benar bahwa itu semua tidak membatalkan puasa sama sekali. Karena puasa adalah bagian dari agama kamum muslimin yang perlu diketahui oleh semua pihak baik yang khusus maupun yang umum.

Seandainya hal-hal ini termasuk larangan Allah dan Rasul-Nya di dalam puasa, serta bisa merusak puasa, maka seharusnya ini diterangkan oleh Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seandainya beliau menyebutkan larangan ini mesti akan diketahui oleh para sahabat dan akan mereka sampaikan kepada umat sebagaimana mereka menyampaikan semua syariat.

Ketika para ahli ilmu tidak menukil larangan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak berupa hadis shahih, atau yang dhaif/lemah, tidak pula riwayat mursal, tidak pula musnad, maka dengan begitu diketahui bahwa memang beliau tidak menyebutkan larangan sama sekali”. (Majmu’ Fatawa : 25/233).

  1. Mencicipi makanan

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :

لَا بَأْسَ أَنْ يَذُوقَ الطَّعَامَ وَالْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيدُ شِرَاءَهُ

“Tidak mengapa seseorang mencicipi makanan atau cuka dan sesuatu yang ingin ia beli”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil : 937).

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menyatakan :

قال أحمد : أحب إلي أن يجتنب ذوق الطعام ، فإن فعل لم يضره ، ولا بأس به

“Imam Ahmad berkata ; yang paling aku sukai, mencicipi makanan itu hendaknya dihindari, jika tetap dilakukan tidak ada madaharat dan tidak mengapa”. (Lihat Al-Mughni : 3/46, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah : 3/307).

  1. Mengguyur air dingin di atas kepala dan mandi

Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :

قَالَ الَّذِي حَدَّثَنِي لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ مِنْ الْعَطَشِ أَوْ مِنْ الْحَرِّ

“Telah mengatakan kepada ku seseorang ; ‘Aku melihat rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berada di ‘Arju beliau mengguyurkan air di atas kepala beliau ketika puasa dikarenakan haus atau panas’.” (HR Abu Dawud : 2365 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud : 2072).

Kata Syaikh Syu’aib Al-Arnauth, ‘Arju adalah sebuah kampung yang berlokasi di jalur Madinah menuju Mekkah. Jarak antara ‘Arju dengan madinah sekira 99 farsakh. Di lokasi ini pula nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah singgah ketika beliau hijrah dari Mekah menuju Madinah. Lihat Musnad Imam Ahmad Tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth : 39/56).

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

“Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bangun di pagi hari dalam keadaan junub, lantas beliau mandi dan berpuasa”. HR Bukhari : 1920, Muslim : 1109).

  1. Menelan benda kecil yang susah dihindari

Syaikh Utsman bin Syatha Abu Bakar Al-Bakri penulis kitab I’anatut Thalibin menjelaskan :

فلو وصل جوفه ذباب أو بعوضة أو غبار الطريق وغربلة الدقيق، لم يفطر، وإن أمكنه اجتناب ذلك بإطباق الفم أو غيره، لما فيه من المشقة الشديدة – بل لو فتح فاه عمدا حتى دخل جوفه: لم يفطر أيضا، لأنه معفو عن جنسه.

“Seandainya sampai ke dalam rongga seekor lalat atau nyamuk atau debu jalanan, atau debu tepung maka tidak membatalkan puasa. Meski sebenarnya ia mampu menjauhi hal tersebut dengan mengatupkan mulutnya atau dengan cara lain. Karena ini diantara hal yang sulit dilakukan. Bahkan seandainya seseorang sengaja membuka mulutnya hingga masuk ke dalam mulutnya maka tetap tidak batal karena ini termasuk hal yang memang dimaafkan”. (I’anatuth-Thalibin : 2/260).

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi juga menuturkan :

وَمَا لَا يُمْكِنُ التَّحَرُّزُ مِنْهُ، كَابْتِلَاعِ الرِّيقِ لَا يُفَطِّرُهُ، لِأَنَّ اتِّقَاءَ ذَلِكَ يَشُقُّ، فَأَشْبَهَ غُبَارَ الطَّرِيقِ، وَغَرْبَلَةَ الدَّقِيقِ. فَإِنْ جَمَعَهُ ثُمَّ ابْتَلَعَهُ قَصْدًا لَمْ يُفَطِّرْهُ لِأَنَّهُ يَصِلُ إلَى جَوْفِهِ مِنْ مَعِدَتِهِ، أَشْبَهَ مَا إذَا لَمْ يَجْمَعْهُ.

“Dan apa-apa yang sulit untuk dihindari seperti menelan ludah maka tidak membatalkan puasa karena menjauhi perkara ini sangat sulit. Sama seperti debu jalanan dan debu tepung yang berhamburan. Seandainya seseorang mengumpulkannya dan sengaja menelannya ini juga tidak membatalkan puasa. Karena hasil akhirnya sama saja dikumpulkan atau tidak dikumpulkan”. (Al-Mughni : 3/122).

Bahkan sampai ada penukilan ijma’/kesepakatan para ulama akan tidak batalnya menelan sesuatu yang memang susah dihindari. Disebutkan di dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Quwaitiyyah :

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الصَّائِمَ لاَ يُفْطِرُ بِوُصُول غُبَارِ الطَّرِيقِ إِلَى جَوْفِهِ إِذَا لَمْ يَتَعَمَّدْ ذَلِكَ ، وَإِنْ أَمْكَنَهُ ذَلِكَ بِتَكْلِيفِهِ إِطْبَاقَ فَمِهِ أَوْ نَحْوِهِ عِنْدَ الْغُبَارِ ؛ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الْحَرَجِ وَالْمَشَقَّةِ الشَّدِيدَةِ ؛ وَلأِنَّهُ مِمَّا لاَ يُمْكِنُ الاِحْتِرَازُ عَنْهُ ، سَوَاءٌ أَكَانَ الصَّوْمُ فَرْضًا أَمْ نَفْلاً وَسَوَاءٌ أَكَانَ الْغُبَارُ قَلِيلاً أَمْ كَثِيرًا مَاشِيًا أَوْ غَيْرَ مَاشٍ .

“Para ulama’ ahli fiqih bersepakat bahwa orang yang berpuasa tidak batal puasanya dengan sampainya debu jalanan ke rongga dalam tubuhnya jika ia tidak sengaja, meski ia mampu mengatupkan mulutnya atau cara lain ketika ada debu, karena hal ini termasuk hal yang sulit dilakukan. Dan karena hal ini termasuk hal yang sulit dihindari. Sama saja apakah puasanya itu puasa wajib maupun puasa sunnah, baik ia sedang berjalan atau tidak sedang berjalan”. (Mausu’ah Fiqhiyyah Quwaitiyyah : 31/135).

Wallahu a’lam

Secara umum puasa kita akan batal ketika hilang salah satu syarat puasa atau hilang salah satu rukun puasa yang ada. Dan pembatal puasa itu pokoknya ada tiga sebagaimana disebutkan oleh Allah ta’ala :

فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.

Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”

(Al-Baqarah: 187).

Dan para ulama telah bersepakat bahwa orang yang berpuasa wajib menahan diri dari  makan, minum dan jima’ selama durasi puasa yang ditetapkan. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah : 2/103 oleh Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim).

Dan jika pembatal-pembatal puasa ini kita klasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi besar, maka ia akan tampak menjadi point-point berikut ini insya’Allah :

a). Pembatal puasa yang mengakibatkan batal serta mengharuskan qadha’ (mengganti puasa di hari yang lain).

  1. Makan minum dengan sengaja.

Termasuk dalam katagori makan dan minum ialah infus sebagaimana telah berlalu penjelasan akan hal tersebut. Namun jika seseorang dengan tanpa unsur kesengajaan atau ia lupa kemudian ia makan dan minum, maka puasanya tidak batal berdasarkan riwayat di bawah ini :

مَنْ نَسِيَ ، وَهُوَ صَائِمٌ ، فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

“Barangsiapa lupa sedang ia dalam keadaan puasa kemudian ia makan dan minum hendaknya ia menyempurnakan puasa. Sesungguhnya Allah telah memberi ia makan dan minum.” (HR Muslim : 1952).

  1. Sengaja muntah.

مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ ، وَمَنْ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ

“Barangsiapa dikalahkan oleh rasa muntah maka tidakada qadha’ baginya, dan barangsiapa sengaja muntah maka hendaknya ia mengqadha’ puasanya”. (HR Abu Dawud : 2380, dishahihkan oleh Imam Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ : 6243).

  1. Haidh dan nifas.

Aisyah radhiyallahu ‘anha bersabda : “Kami mengalami haid di masa Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ sholat.” (Shahih Jami’ no. 3514).

Dari hadits di atas kita memahami bahwa wanita yang sedang haidh dan nifas ini dilarang melakukan puasa dan ini menjadi konsensus para ulama kita. Imam Ibnu Qudamah berkata :

أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ الْحَائِضَ وَالنُّفَسَاءَ لا يَحِلُّ لَهُمَا الصَّوْمُ , وَأَنَّهُمَا يُفْطِرَانِ رَمَضَانَ , وَيَقْضِيَانِ , وَأَنَّهُمَا إذَا صَامَتَا لَمْ يُجْزِئْهُمَا الصَّوْمُ

“Para ahli ilmu bersepakat bahwa wanita haidh dan nifas tidak halal melakukan puasa. Dan bahwa keduanya berbuka di bulan ramadhan dan mengqadha’. Dan jika keduanya nekat berpuasa maka tidak sah puasanya”. (Al-Mughni : 4/397).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid berkata menerangkan hikmah dari larangan puasa bagi wanita yang sedang haidh atau nifas :

بل الحكمة أن الله تعالى نهى الحائض عن الصيام وقت الحيض رحمةً بها ، لأن خروج الدم يضعفها ، فإذا صامت وهي حائض اجتمع عليها الضعف بسبب الحيض وبسبب الصيام

“Bahkan hikmah ketika Allah ta’ala melarang wanita haidh dari melakukan puasa ketika ia sedang haidh sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada wanita tadi. Karena keluarnya darah itu melemahkan badannya, jika ia berpuasa maka akan terkumpul dalam dirinya dua kelemahan karena haidh dan karena puasa”. (Fatawa Islam Soal Jawab no. 50330).

  1. Berniat untuk memutus puasanya.

Apabila ada seseorang yang sedang berpuasa berniat untuk membatalkan puasanya dan ia bertekad kuat untuk berbuka dalam kondisi sengaja dan ia sadar ia sedang puasa. Maka batal puasanya meski ia belum makan dan minum karena nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari : 1, Muslim : 1907).

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang seorang lelaki yang bersafar dan ia dalam keadaan berpuasa di bulan Ramadhan. Kemudian ia berniat untuk berbuka/membatalkan puasanya. Namun ia tidak mendapati makanan/minuman untuk berbuka sehingga ia menyempurnakan puasanya ? Syaikh menjawab :

صومه غير صحيح ، ويجب عليه القضاء ؛ لأنه عندما نوى الفطر أفطر ، أما لو قال : إن وجدت ماءً شربت وإلا فأنا على صومي ، ولم يجد الماء ، فهذا صومه صحيح ؛ لأنه لم يقطع النية ولكنه علّق الفطر على وجود الشيء ، ولم يوجد الشيء فبقي على نيته الأولى.

“Puasanya tidak sah dan wajib bagi dia mengganti puasa di hari yang lain. Karena ketika ia berniat untuk berbuka, puasanya telah batal. Adapun jika seandainya ia berkata ;

Apabila aku mendapatkan air aku akan minum jika tidak maka aku akan berpuasa. Ternyata ia tidak mendapatkan air, yang seperti ini puasanya shahih karena ia belum meutus niatnya. Akan tetapi ia menggantungkan berbuka pada keberadaan air, selama ia belum mendapatkan air maka ia masih berada di niat yang pertama”. (Liqa’ Babul Maftuh : 29/20).

  1. Murtad dari agama Islam.

Allah ta’ala berfirman “

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Jika kalian berbuat syirik maka akan terhapus semua amal kalian dan kalian termasuk orang-orang yang merugi”.

(QS. Az-Zumar : 65).

Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz pernah ditanya tentang seorang lelaki yang murtad dari agama Islam kemudian ia masuk Islam kembali. Apakah ia harus mengganti puasa yang ia tinggalkan selama ia murtad ? Beliau menjawab :

فإنَّه لا قضاء عليه هذا هو الصواب من أقوال أهل العلم ؛ لأنَّ الإسلام يَجُبّ ما قبله ، والتوبة تهدِم ما كان قبلها. قال الله سبحانه وتعالى : ( قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ ) الأنفال/ 38؛ فبيَّن الله سبحانه وتعالى أنَّ الكافر إذا أسلم غفر الله له ما قد سلف . والنبي صلى الله عليه وسلم قال : « التوبة تَجُبّ ما قبلها ، والإسلام يهدِم ما كان قبله » “

“Tidak ada kewajiban mengganti puasa bagi orang ini, dan inilah pendapat yang benar dari sekian pendapat ahli ilmu yang ada. Karena islam menghapuskan apa yang sebelum islam, serta taubat itu meruntuhkan dosa-dosa yang telah lalu. Allah ta’ala berfirman :

‘Katakanlah kepada orang-orang kafir apabila mereka berhenti dari kekafiran mereka, maka mereka akan diampuni dosa-dosa yang telah berlalu.” (QS. Al-Anfal : 38).

Allah ta’ala menjelaskan dalam ayat ini bahwa orang kafir apabila telah masuk islam, Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah berlalu. Dan nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda ; ‘Taubat itu menghapus dosa yang telah lalu serta meruntuhkan dosa sebelumnya.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz : 29/196).

b). Pembatal puasa yang menyebabkan qadha’ dan kifarah/tebusan.

Maknanya, jika seseorang melakukan jenis pembatal puasa jenis kedua ini, maka ia wajib mengganti puasanya di hari yang lain, kemudian ia juga masih memiliki kewajiban membayar tebusan atas pelanggaran yang ia lakukan.

Dan pembatal jenis ini hanya ada satu saja yaitu jima’ (berhubungan suami istri) pada siang hari di bulan Ramadhan. Tebusan seperti apa yang harus dibayarkan ? kita simak sejenak riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, beliau berkata :

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

“Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki sambil berkata: “Wahai, Rasulullah, celaka aku !”. Beliau menjawab, ”Ada apa denganmu?”. Dia berkata, ”Aku bersenggama dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ”Apakah kamu memiliki budak untuk dimerdekakan?” Dia menjawab,”Tidak!”. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya  lagi, ”Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab,”Tidak.”.

Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?”. Dia menjawab,”Tidak.” Lalu Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi satu ‘Araq/wadah berisi kurma.

Beliau berkata : “Mana orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab, ”Saya wahai rasulullah.” Beliau berkata lagi : “Ambillah ini dan sedekahkanlah ia!”. Kemudian orang tersebut berkata : “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah?

Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian berkata: “Berikanlah kepada keluargamu!”. (HR. Bukhari : 1936, Muslim : 1111).

Ada beberapa permasalahan yang ingin kita sampaikan di sini berkaitan dengan masalah kifarah/tebusan bagi orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan ramadhan ;

1). Definisi Jima’

Jima’ yang mengakibatkan kifarah ini adalah jima’ yang dilakukan melalui qubul maupun dubur. Dan proses jima’ yang terjadi sudah mencapai taraf sebagaimana istilah sebagian para ulama “seperti timba masuk ke dalam sumur”. Apabila jima’ dilakukan bukan pada lokasi ini maka tidak mengakibatkan kifarah.

Imam Ibnu Utsaimin berkata : “Jima’ melalui dubur itu haram hukumnya, namun para ulama’ menyebutkan rincian permasalahan terlepas dari halal dan haramnya perbuatan tersebut”. (Asy-Syarhul Mumti’ : 6/400).

Kemudian beliau berkata lagi :

إذا جامع دون فرجه فأنزل فقد ذكر المؤلف أن عليه القضاء دون الكفارة لأنه أفسد صومه دون الجماع ومثاله أن يجامع بين فخذي امرأته وينزل

“Apabila seseorang ber-jima’ diselain kemaluan hingga keluar air mani, maka penulis telah menyebutkan bahwa ia harus mengqadha’ dengan tanpa kifarah. Karena ia merusak puasanya dengan tanpa jima’. Seperti orang yang ber-jima’ di antara dua paha istrinya hingga keluar air mani”. (Asy-Syarhul Mumti’ : 6/401).

2). Apabila jima’ ini dilakukan karena lupa maka tidak membatalkan puasa sebagaimana hukum orang yang makan minum karena lupa. Imam Asy-Syaukani berkata:

الجماع لا خلاف في أنه يبطل الصيام ب إذا وقع من عامد أما إذا وقع على النسيان فبعض أهل العلم ألحقه بمن أكل أو شرب ناسيا

“Jima’ tidak ada perbedaan bahwasanya ia membatalkan puasa apabila dilakukan oleh orang dengan sengaja. Adapun jika dilakukan karena lupa, maka sebagian ahli ilmu menyamakan hukumnya dengan orang yang makan dan minum karena lupa/tidak membatalkan puasa”. Ad-Daroril Mudhiyah : 2/22).

3). Kifarah ini wajib dibayarkan secara berurutan

Para ulama besar yang tergabung di dalam Lajnah Daimah berfatwa :

كفارة الجماع في نهار رمضان مرتبة على ما سبق ، فلا ينتقل إلى الصيام مثلا إلا بعد أن يعجز عن الرقبة ، ولا ينتقل إلى الإطعام إلا بعد أن يعجز عن الصيام ، فإن انتقل إلى الإطعام بسبب عجزه عن الرقبة والصيام – جاز له أن يفطر ستين صائما من الفقراء والمساكين بما يشبعهم من قوت البلد مرة عنه ومرة ثانية عن زوجته ، أو يدفع إلى الستين من المساكين ستين صاعا عنه وعن زوجته، لكل واحد صاع مقداره ثلاثة كيلو تقريبا

“Kifarah/tebusan jima’ di siang hari bulan Ramadhan itu tertib sesuai urutan berdasarkan apa yang telah lalu. Tidak boleh berpindah kepada kifarah berupa puasa dua bulan misalnya kecuali jika tidak mampu membebaskan budak. Dan tidak boleh berpindah kepada kifarah memberi makan enam puluh fakir miskin kecuali jika tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut.

Jika seseorang berpindah kepada kifarah berupa memberi makan karena tidak mampu membebaskan budak, maka ia boleh memberi buka puasa kepada enam puluh orang fakir miskin dengan sesuatu yang mengenyangkan mereka, berupa makanan pokok sekali atas nama nya dan sekali atas nama istrinya.

Atau dengan cara menyerahkan kepada enam puluh fakir miskin sebanyak enam puluh sho’ atas nama di dan istri sekaligus. Masing-masing mendapatkan satu sho’ setara dengan tiga kilogram kurang lebihnya”. (Fatawa Lajnah Da’imah : 9/245).

4). Istri tidak menanggung kifarah

Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mewajibkan kifarah kepada si istri padahal beliau diberitahu bahwa perbuatan tersebut dilakukan oleh suami istri. Akan tetapi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kecuali hanya satu kifarah saja.

Imam Asy-Syaukani mengatakan ketika mengomentari sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam “Beri makan keluargamu dengan kurma ini” :

استدل به من قال أن الكفارة تجب على الرجل فقط وبه قال الأوزاعي وهو الأصح من قولي الشافعي

“Para ulama yang memilih pendapat bahwa kifarah hanya berlaku pada suami saja berdalil dengan ucapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ini. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Al-Auza’i dan ini merupakan pendapat yang paling shahih dari dua perkataan Asy-Syafi’i”. (Nailul Authar : 4/295).

5). Jika jima’ terjadi lebih dari sekali

Apabila jima’ di siang hari bulan Ramadhan ini terjadi berulang kali, maka kita perlu melihat apakah pengulangan ini terjadi di hari yang sama ataukah ia terjadi pada hari yang lain. Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata :

إذا تكرر ذلك في يوم واحد فكفارة واحدة أما في أيام فعدد الأيام

“Apabila jima’ tersebut terulang di hari yang sama, maka kifarahnya cukup sekali saja. Namun jika jima’ tersebut terulang pada beberapa hari yang berbeda, maka jumlah kifarahnya sesuai dengan jumlah hari tersebut”. (Jami’ Turats Imam Al-Albani Fil Fiqh : 10/239).

6). Apabila jima’ dilakukan ketika safar

Jika seseorang sedang berpuasa lantas ia bersafar, ketika safar ia melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan, maka ia tidak berdosa dan tidak menanggung kifarah. Karena seorang yang safar tidak wajib berpuasa. Imam Ibnu Utsaimin berkata :

لو كان في سفر وهو صائم فجامع زوججته فإنه لا إثم عليه ولا كفارة وإنما عليه القضاء فقط لقوله تعالى ومن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر

“Seandainya seseorang bersafar dalam keadaan puasa kemudian ia berjima’ dengan istrinya, maka tidak ada dosa bagi dia dan tidak ada kewajiban membayar kifarah. Akan tetapi ia cukup mengganti puasa di hari yang lain berdasarkan firman Allah : ‘Dan barangsiapa sedang sakit atau bersafar maka ia mengganti puasa di hari yang lain’, QS. Al-Baqarah : 185.”  (Asy-Syarhul Mumti’ : 6/399).

7). Jika tidak mampu bayar kifarah.

Kifarah yang harus ditunaikan oleh orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan adalah sebagaimana tersebut dalam riwayat di atas. Ia secara berurutan berupa ; Puasa dua bulan berturut-turut, atau membebaskan budak, atau memberi makan kepada enam puluh orang fakir miskin.

Bagi orang yang tidak mampu menunaikan kifarah ini sama sekali, karena memang benar-benar tidak mampu. Maka ia hanya memiliki kewajiban mengganti puasa di hari yang lain. Sebagaimana ini juga terjadi dengan sahabat yang tersebut dalam riwayat di atas. Imam Ibnu Khuzaimah berkata :

أن المجامع في رمضان إذا ملك ما يطعم ستين مسكينا ولم يملك معه قوت نفسه وعياله لا تجب عليه الكفارة

“Orang yang berjima’ dibulan ramadhan apabila memiliki makanan yang cukup untuk enam puluh fakir miskin. Namun di sisi yang lain ia tidak memiliki cukup makanan untuk diri dan keluarganya maka ia tidak wajib membayar kifarah”. (Shahih Ibnu Khuzaimah : 3/220).

Syaikh Ali Hasan Al-Halabi juga berkata :

ومن لزمته الكفارة وعجز عن الصيام وعن العتق وعن الإطعام فإنها تسقط لأنه لا تكليف إلا مع القدرة قال تعالى لا يكلف الله نفسا إلا وسعها وبدليل فعل الرسول فقط أسقط الكفارة عن الرجل عندما أخبره بإعساره وفع إليه عرقا فيه التمر ليطعمهأهله

“Dan barangsiapa memiliki kewajiban menunaikan kifarah sedang ia tidak mampu berpuasa, tidak mampu membebaskan budak, tidak mampu memberi makan, maka kifarah sudah gugur atas dirinya. Karena kewajiban syariat itu tidak ada melainkan dengan keberadaan kemampuan.

Allah ta’ala berfirman : ‘Allah tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya’.

Dan juga dengan dalil tindakan Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika menggugurkan kifarah dari lelaki yang datang pada beliau setelah ia menceritakan kesulitannya. Dan nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam justru memberikan satu wadah berisi kurma untuk diberikan kepada keluarganya”. (Shifatush Shaumin Nabi : 79).

Wallahu a’lam

Diantara ciri khusus agama Islam ini adalah ia datang dengan membawa syariat yang mudah bagi umatnya, mengangkat kesulitan dan kesukaran. Syariat Islam cocok diperuntukkan bagi semua kalangan. Kemudahan yang dibawa oleh Islam ini merupakan karakter asli di dalam agama Allah.

Dan fenomena kemudahan ini akan tampak jelas terlihat di dalam puasa, demikian pula di dalam ibadah-ibadah yang lain. Kemudahan ini bukan merupakan tujuan akhir, namun ia hanya sarana yang mengantarkan kita agar kita dapat merealisasikan ibadah kepada Allah ta’ala. Yang itu merupakan tujuan utama diciptakan manusia dan jin yaitu untuk merealisasikan peribadahan serta ketaatan kepada Zat yang telah menganugrahkan kepada kita kehidupan. Allah subhanaاu wa ta’ala berfirman :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menginginkan bagi kalian kemudahan, dan Dia tidak menginginkan bagi kalian kesulitan”. (QS Al-Baqarah : 185).

Diantara sekian banyak bentuk kemudahan di dalam puasa ialah :

  1. Orang yang boleh meninggalkan puasa dan menggantinya dengan fidyah.

Ada beberapa kelompok manusia yang diperbolehkan meninggalkan puasa dan cukup menggantinya dengan membayar fidyah dengan cara memberi makan kepada fakir miskin sesuai dengan jumlah hari yang ia tinggalkan. Dan tidak usah mengganti puasa di hari yang lain, mereka ini ialah ;

  • Lelaki tua yang sudah tidak mampu melaksanakan puasa.
  • Wanita tua yang sudah tidak mampu melaksanakan puasa.
  • Wanita hamil yang khawatir atas dirinya.
  • Wanita menyusui yang khawatir jika berpuasa maka anaknya akan termadharati.
  • Orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya.

عن عطاء سمع ابن عباس يقرأ ( وعلى الذين يطوقونه فدية طعام مسكين ) قال ابن عباس : ليست بمنسوخة هو للشيخ الكبير والمرأة الكبيرة لا يستطيعان أن يصوما فليطعما مكان كل يوم مسكينا

Dari Atha’ ia mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma membaca ayat (dan bagi orang yang terasa berat puasa, maka ia memberi makan kepada orang miskin). Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ;

Ayat ini tidak dihapus, ayat ini berlaku untuk lelaki tua dan wanita tua yang tidak mampu melaksanakan puasa. Mereka berdua memberi makan orang miskin sejumlah hari yang mereka tinggalkan”. (HR. Bukhari : 4505).

Sedangkan dalil tentang bolehnya wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan kondisi diri dan bayinya, untuk meninggalkan puasa dan menggantinya dengan fidyah ialah riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma sebagai berikut :

إِذَا خَافَتِ الحَامِلُ عَلَى نَفْسِهَا وَالمُرْضِعُ عَلَى وَلَدِهَا فِي رَمَضَانَ قَالَ: يُفْطِرَانِ، وَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا يَقْضِيَانِ صَوْمًا

“Apabila seorang wanita hamil khawatir atas dirinya dan wanita yang menyusui khawatir atas bayinya di bulan ramadhan, ia berkata : Mereka berdua berbuka/tidak usah puasa dan memberi makan setiap harinya satu orang miskin dan keduanya tidak usah mengqadha’ puasa”. (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari di dalam Tafsir Ath-Thabari : 2/136, dan dishahihkan oleh Imam Al-Albani di dalam Irwa’ul Ghalil : 4/19).

Dalam riwayat yang lain disebutkan :

عن ابن عمر رضي الله عنهما: أَنَّ امْرَأَتَهُ سَأَلَتْهُ ـ وَهِيَ حُبْلَى ـ فَقَالَ: أَفْطِرِي وَأَطْعِمِي عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا تَقْضِي

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa istri beliau bertanya kepada beliau dalam keadaan hamil, lantas beliau menjawab : Berbukalah dan berilah makan setiap hari satu orang miskin dan jangan kamu mengqadha’.” (HR Daraquthni : 2388 dishahihkan oleh Imam Al-Albani di dalam Irwa’ul Ghalil : 4/20).

Syaikh Muhammad bin Ali Al-Firkus berkata :

لأنَّ قول ابن عبَّاسٍ وابن عمر رضي الله عنهم انتشر بين الصحابة ولم يُعلم لهما مخالفٌ مِن الصحابة فهو حجَّةٌ وإجماعٌ عند جماهير العلماء، وهو المعروفُ عند الأصوليين بالإجماع السكوتيِّ

“Karena perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum ini sudah tersebar luas di kalangan para sahabat, dan tidak diketahui ada satupun sahabat yang mengingkari keduanya. Maka ini merupakan hujjah/argumentasi sekaligus juga ijma’/konsensus menurut mayoritas para ulama. Dan ijma’ ini ma’ruf dikenal di kalangan ulama ahli ilmu ushul sebagai Ijma’ Sukuti”. (Fatawa Syaikh Muhammad Ali Al-Firkus no. 470).

b). Orang yang boleh tinggalkan puasa dan wajib mengqadha’.

1). Musafir/orang yang sedang melakukan perjalanan jauh.

Tersebut banyak sekali hadits yang shahih yang menyebutkan kebolehan memilih bagi musafir antara puasa dan tidak. Dan kita tidak lupa bahwa belas kasih Ilahiyah ini disebutkan di dalam Al-Quran kitab yang mulia. Allan Zat yang maha pengasih lagi maha penyayang berfirman :

وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Dan barangsiapa sakit atau sedang dalam perjalanan maka hendaknya ia mengganti puasa di hari yang lain. Allah menginginkan bagi kalian kemudahan dan tidak menginginkan bagi kalian kesulitan”.

(QS Al-Baqarah : 185).

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata :

أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي رَجُلٌ أَسْرُدُ الصَّوْمَ أَفَأَصُومُ فِي السَّفَرِ قَالَ صُمْ إِنْ شِئْتَ أَوْ أَفْطِرْ إِنْ شِئْتَ

“Bahwasanya Hamzah bin Amr Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam : Apakah aku harus berpuasa ketika safar -ia adalah seorang yang rajin berpuasa-. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : ‘Puasalah jika engkau menginginkannya, dan berbukalah jika engkau menginginkannya’”. (HR Bukhari : 4/156, Muslim : 1121).

Disebutkan dalam riwayat yang lain :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبْ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu ia berkata ; “Aku bersafar bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di bulan ramadhan, beliau tidak mencela orang yang berpuasa tidak pula mencela orang yang tidak berpuasa”.

Riwayat-riwayat ini menerangkan kepada kita dalam kondisi safar, orang yang berpuasa boleh memilih antara puasa dan tidak. Namun mungkin pula untuk dikatakan bahwa berbuka itu lebih utama berdasarkan riwayat berikut :

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

“Sesungguhnya Allah suka untuk dilaksanakan rukhshah-Nya/kemudhan sebagaimana Allah benci untuk dilaksanakan kemaksiatan kepada-Nya”. (HR. Bukhari : 4/163, Muslim : 1118).

Dalam riwayat lainnya Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Orang-orang yang berpuasa lemas tak berdaya, sementara orang-orang yang berbuka membuat bangunan dan memberikan makanan kepada para penumpang. Maka Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang-orang yang berbuka hari ini mendapatkan pahala.” (HR. Bukhari : 3/224, Muslim : 1119).

Pendapat tentang lebih utama berbuka ketika safar ini dinyatakan pula oleh Syaikh Muhammad Umar Bazmul ketika beliau menjelaskan makna dan sisi pendalilan hadits di atas, beliau berkata :

والحديث يدل على أن الفطر في السّفر أولى من الصيام، وأن الصيام في السفر جائز خلافا لمن قال لا ينعقد . وليس في الحديث بيان كونه إذ ذاك كان صوم فرض أو تطوع”. ووجه الاستدلال : أن الرسول يَة لم ينكر على من صام ، ولم يبطل صومهم، إنما اقتصر على قوله: «ذهب المفطرون اليوم بالأجر”.

“Hadits ini menjadi dalil bahwa berbuka ketika safar itu lebih utama dari pada berpuasa. Dan bahwasanya berpuasa ketika safar itu juga tetap dibolehkan. Berbeda dengan ucapan sebagian kalangan yang menyatakan puasa ketika safar itu tidak sah. Dan di dalam hadits tadi tidak ada keterangan apakah puasa ketika itu puasa wajib ataukah sunnah.

Sisi pendalilannya adalah bahwa Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari kepada orang yang berpuasa dan tidak menyatakan batalnya puasa mereka. Akan tetapi beliau menyatakan ; Orang-orang yang berbuka hari ini (membatalkan puasanya ketika safar-pent) telah pergi membawa pahala.” At-Tarjih Fi Masa’ilish Shiyam Waz Zakat : 67 oleh Syaikh Muhammad Umar Bazmul).

Tapi hal ini mungkin pula untuk diikat bahwa yang lebih utama untuk berbuka itu ialah musafir yang merasa lemah jika berpuasa. Sebagaimana perkataan Abu Said Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu :

وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ مَنْ وَجَدَ قُوَّةً فَصَامَ فَحَسَنٌ وَمَنْ وَجَدَ ضَعْفًا فَأَفْطَرَ فَحَسَنٌ

“Dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum itu berpendapat bahwa jika seseorang merasa kuat lalu puasa, maka itu baik. Jika merasa lemah lalu berbuka, itu juga baik”. (HR Tirmidzi : 713, Al-Baghawi : 1763 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi : 1/382).

Dan hendaknya kita memahami bersama bahwa puasa ketika safar jika didapatkan di dalamnya kesulitan maka itu bukan kebaikan sama sekali. Bahkan berbuka itu yang lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah. Perhatikan masalah ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh banyak sekali sahabat radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ

“Tidak termasuk kebaikan berpuasa ketika safar”. (HR Bukhari : 4/161, Muslim : 1115).

Sebagian manusia di zaman ini merasa janggal dan mengatakan bahwa berbuka ketika safar di zaman ini tidak boleh. Lantas mereka mencela orang yang mengambil rukhshah/kemudahan dari Allah. Atau mereka mengatakan bahwa puasa lebih utama karena mudahnya sarananya transportasi di zaman ini. Orang seperti ini kita arahkan agar merenungkan firman Allah Zat yang maha mengetahui segala hal :

“Dan tidaklah Tuhanmu itu lupa”. (QS Maryam : 46).

Dan firman Allah : “Allah itu lebih mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui”. (QS Al-Baqarah : 233).

Dan juga firman Allah yang disebutkan berkenaan dengan kemudahan begi orang yang bersafar : “Dan Allah itu menginginkan bagi kalian kemudahan dan tidak menginginkan bagi kalian keksulitan”.

(QS Al-Baqarah : 185).

Maksudnya ialah : Bahwa kemudahan, keringanan, kegampangan bagi musafir adalah perkara yang memang diinginkan oleh Allah ta’ala. Dan ia merupakan tujuan dari syariat yang bijaksana. Apalagi yang membuat syariat ini adalah Zat yang maha menciptakan zaman, tempat, manusia, sehingga Ia mengerti apa yang dibutuhkan oleh manusia, apa yang memperbaiki manusia dan apa yang cocok untuk manusia. Allah ta’ala berfirman : “Tidakkah mereka mengetahui siapa Zat yang maha menciptakan ? Ialah Zat yang maha lembut dan maha mengetahui”. (QS Al-Mulk : 14). (Lihat Shifatush Shaumin Nabi : 57-59).

2). Orang yang sakit

Allah mengijinkan orang yang sakit untuk meinggalkan puasa dan mengganti puasa di hari yang lain jika sudah sembuh dari sakitnya. Sakit di sini ialah sakit yang jika seseorang nekat berpuasa maka ia akan terkena madharat baik berupa terlambat sembuh atau justru semakin parah sakitnya.

3). Wanita haidh dan Nifas

Sebagaimana telah berlalu penukilan ijma’ dari Imam Nawawi seputar permasalahan ini.

Wallahu a’lam

Sebagaimana yang telah berlalu kita baca bersama bahwa orang yang berpuasa memiliki minimalnya dua kebahagiaan. Sekali ketika berbuka dan sekali ketika kelak ia berjumpa dengan Rabbnya dan menyaksikan hasil pahala dari puasa yang ia laksanakan dahulu di dunia. Ada beberapa hal yang selayaknya kita perhatikan berkaitan dengan syariat berbuka ini diantaranya :

a). Waktu  berbuka.

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah :187).

Kita dianjurkan untuk segera berbuka jika matahari telah tenggelam. Dengan begitu kita telah mengikuti sunnah nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan menyelisihi perilau orang-orang yahudi dan nasrani. Karena mereka mengakhirkan berbuka hingga muncul bintang-gemintang.

Mengikuti sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam merupakan usaha untuk menampakkan syiar-syiar agama dan kita berbangga dengannya. Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah berkata :

إذا غاب جميع القرص أفطر الصائم و لا عبرة بالحمرة الشديدة الباقية في الأفق ، و إذا غاب جميع القرص ظهر السواد من المشرق كما قال النبي صلي الله عليه و سلم ” إذا أقبل الليل من هاهنا و أدبر النهار من هاهنا و غربت الشمس فقد أفطر الصائم

“Jika seluruh bulatan matahari telah hilang maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka. Dan tidak dianggap keberadaan warna merah menyala yang tersisa di langit barat. Dan jika bulatan matahari telah tenggelam akan muncul kehitaman dari arah timur sebagaimana sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam (HR. Bukhari : 1904) ; ‘Bila malam telah datang dari sini dan siang telah beranjak pergi dari sini, dan matahari telah tenggelam maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka.” (Majmu’ Fatawa : 25/215).

b). Menyegerakan berbuka

Bila kita telah yakin akan tenggelamnya matahari maka disunnahkan untuk bersegera berbuka. Bahkan muadzin yang akan mengumandangkan adzan lebih baik berbuka terlebih dahulu sebelum adzan. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka.” (HR. Bukhari : 1957, Muslim : 1098).

c). Berbuka dengan kurma

Urutan terbaik untuk sesuatu yang kita konsumsi ketika pertama kali berbuka ialah ; Kurma basah, jika tidak ada kurma kering, jika tidak ada menenguk beberapa teguk air putih sebagaimana hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :

كَانَ رَسُو لُ اللِّهِ صَلَّى اللَّهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أََنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَا تٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَم تَكُنْ حَسَا حَسَواتٍ مِنْ مَاءٍ

“Rasulullah pernah berbuka puasa dengan ruthab (kurma basah) sebelum shalat, kalau tidak ada ruthab, maka beliau memakan tamr (kurma kering) dan kalau tidak ada tamr, maka beliau meminum air, seteguk demi seteguk.” (HR Abu Dawud : 2356, Ad-Daruquthni : 240 dan Al-Hakim : I/432 no. 1576. Dihasankan oleh Imam Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil : 4/45 no. 922).

Diantara hikmah dan manfaat medis dari berbuka dengan kurma atau air putih ini adalah sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah :

فإن إعطاء الطبيعة الشيء الحلو مع خُلُوِّ المعدة أدعى إلى قبوله، وانتفاع القُوى به، ولا سيما القوم الباصرة، فإنها تقوى به، … وأما الماء فإن الكبد يحصل لها بالصوم نوع يُبس، فإذا رطبت بالماء، كمل انتفاعها بالغذاء بعده، ولهذا كان الأولى بالظمآن الجائع، أن يبدأ قبل الأكل بشرب قليل من الماء، ثم يأكل بعده، هذا مع ما في التمر والماء من الخاصية التي لها تأثير في صلاح القلب لا يعلمها إلا أطباء القلوب

“Sesungguhnya memberi sesuatu yang manis alami dalam kondisi lambung sedang kosong itu lebih mudah untuk dicerna dan lebih memberi kekuatan terutama bagi kaum yang berilmu mereka biasa menggunakan suplemen dengan cara ini…”. Beliau menyatakan lagi :

“Adapun berbuka dengan air, karena hati/liver ketika puasa itu mengalami semacam pengeringan dengan kadar tertentu. Jika dibasahi dengan air, maka akan menjadi maximal kerja hati dengan makan setelahnya. Maka dari itu yang terbaik bagi seorang yang sedang kelaparan adalah sebelum ia makan, ia memulai dengan meminum sedikit air terlebih dahulu baru kemudian makan setelahnya.

Belum lagi manfaat khusus dari kurma dan air yang memiliki pengaruh untuk memperbaiki jantung. Manfaat ini tidak diketahui kecuali oleh para tabib spesialis jantung.” (Zaadul Ma’ad : 2/50-51 melalui perantara Shahih Fiqih Sunnah : 2/101 oleh Syaikh Abu Malik Kamal).

d). Doa berbuka puasa.

Ada lafadz doa berbuka puasa yang sangat terkenal dan marak beredar di masyarakat kaum muslimin, namun sebenarnya hadits akan doa tersebut merupakan hadits yang lemah. Lafadz doa tersebut di dalam riwayat berikut ini :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا أَفْطَرَ قَالَ : اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا، اَللَّهُمَّ تَقَبَّل مِنَّا، اِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيمُ

“Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Ya Allah ! untuk-Mu aku berpuasa dan atas rizkqi dari-Mu kami berbuka. Ya Allah ! Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. (HR. Ibnu Sunni dalam Amalul Yaumi Wallailah : 473).

Hadits ini dinyatakan oleh para ulama sebagai riwayat yang dha’if jiddan/lemah sekali. Sebagaimana penjelasan Imam Al-Albani di dalam kitab Irwa’ul Ghalil : 4/36-39. Namun di sana terdapat riwayat shahih tentang doa berbuka puasa.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، كَانَ رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا اَفْطَرَ قَالَ : ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ اِنْشَاءَاللَّهُ

“Dari Ibnu Umar, adalah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : DZAHABAZH ZHAMA-U WABTALLATIL ‘URUQU WA TSABATAL AJRU INSYA’ALLAH (artinya : Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan/urat-urat, dan pahala telah ditetapkan inysa’Allah). (HR : Abu Dawud : 2357, Nasa’i : 1/66 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud : 2357).

e). Kapan doa berbuka puasa dibaca

Sebagian kita bingung mengenai waktu yang tepat untuk membaca doa berbuka puasa, ada yang berkata doa itu dibaca sebelum berbuka, ada yang bilang dibaca ketika berbuka, ada yang bilang dibaca setelah berbuka.

Sebagian kalangan yang berkata doa dibaca setelah berbuka beralasan dengan lafadz doanya yang berbunyi ;  “Telah pergi rasa haus dan telah basah kerongkongan …”. Hal ini menjadi bukti bahwa doa dibaca setelah rasa haus pergi, setelah kerongkongan basah, alias setelah berbuka. Maka waktu membaca doa ini berkaitan erat dengan keberadaan rasa haus yang tersebut di dalamnya.

Sedang sebagian yang lain mengatakan justru doa tersebut dibaca sebelum berbuka dengan alasan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam :

ثَلاثَةٌ لا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga golongan yang tidak akan ditolak doa mereka : Penguasa yang adil, orang yang berpuasa ketika ia berbuka, doa orang yang dizalimi”. (HR Tirmidzi : 2525, dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi : 2050).

Sehingga doa dibaca ketika berbuka atau beberapa saat sebelum berbuka. Namun yang benar dalam masalah ini ialah semuanya diperbolehkan sebagaimana fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr, beliau menyatakan:

الذي يبدو أنه يقال مطلقاً لأن الظمأ يوجد ولكنه يتفاوت. وهذا الذكر يقال قبل الإفطار أو بعده، والأمر في هذا واسع

“Yang tampak kebenarannya dalam hal ini bahwa doa berbuka puasa tersebut diucapkan secara mutlak/bebas. Karena rasa haus didapatkan akan tetapi ia bertingkat-tingkat. Sehingga dzikir ini dibaca sebelum berbuka, atau setelahnya, permasalahannya luas”. (Rekaman pengajian Syarah Sunan Abu Dawud).

Fatwa serupa disampaikan pula oleh Syaikh Muhammad Hassan dan Syaikh Abdullah Al-Muslih. Maka dari itu, atas alasan ini pula, ketika seseorang berpuasa di musim dingin dan ia tidak merasa haus sama sekali, ketika ia akan berbuka ia tetap disunnahkan untuk membaca doa ini sebagaimana fatwa Syaikh Shalih bin Abdillah Al-Fauzan, wallahu a’lam.

f). Keutamaan memberikan buka puasa

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Barangsiapa memberi makanan berbuka puasa untuk orang yang puasa, ia mendapatkan seperti pahala orang yang berpuasa. Dengan tanpa mengurangi pahala pelaku puasa sedikitpun”. (HR. Tirmidzi : 807 dishahihkan oleh Imam Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ : 6415).

g). Do’a untuk orang yang memberikan kepada kita makanan berbuka puasa.

Apabila kita mendapatkan undangan makan berbuka hendaknya kita menghadirinya melainkan jika kita memiliki udzur. Dan hendaknya kita meyakini bahwa pahala kita tidak akan berkurang sama sekali ketika kita menghadiri undangan tersebut sebagaimana hadis yang telah berlalu. Dan kita diajarkan untuk mendoakan orang yang memberikan kepada kita makan buka puasa dengan doa-doa yang ma’tsur yang ada asalnya dari nabi kita yang mulia shalallahu ‘alaihi wa sallam. Diantara doa-doa tersebut ialah :

أَكَلَ طَعَامَكُمُ الأَبْرَارُ ، وَصَلَّتْ عَلَيكُمُ الْمَلاَئِكَةُ الأَخْيارُ ، وأفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ

“Semoga yang memakan makananmu adalah orang-orang yang baik, dan semoga para malaikat yang mulia bershalawat kepada engkau, dan semoga yang berbuka di sisi engkau adalah orang-orang yang berpuasa”. (HR. Ibnu Abi Syaibah : 3/100, Ahmad : 3/118, An-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum : 268, Ibnu Sunni : 129, Abdurrazaq : 4/311 hadis ini shahih sebagaimana keterangan Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam Shifatus Shaumin Nabi : 69).

اللَّهُمَّ أطْعِمْ مَنْ أطْعَمَنِي، وَاسْقِ مَنْ سَقَانِي

“Ya Allah berikanlah makanan kepada orang yang memberiku makan, dan berilah minum kepada orang yang memberi aku minum”. (HR. Muslim : 2055).

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيمَا رَزَقْتَهُمْ

“Ya Allah ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah mereka atas rizki yang Engkau anugrahkan kepada mereka”. (HR Muslim : 2042).

Wallahu a’lam

a). Memperbanyak sedekah

b). Memperbanyak membaca Al-Qur’an.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -اجود الناس وَكَانَ اجود مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْانَ، فَلَرَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -اجود بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ‏.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan ramadhan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al-Qur’an. Dan kedermawanan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi angin yang berhembus.” (HR. Bukhari : 6).

Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hanbali menyatakan :

فدل على استحباب الإكثار من التلاوة في رمضان ليلاً فإنّ الليل تنقطع فيه الشواغل، وتجتمع فيه الهمم، ويتواطأ فيه القلب واللسان على التدبر كما قال تعالى: {إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءاً وَأَقْوَمُ قِيلاً} وشهر رمضان له خصوصية بالقرآن كما قال تعالى:{ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَان

“Hadis ini menunjukkan akan disunahkannya memperbanyak membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan pada malam hari. Karena malam hari kesibukan akan berhenti dan akan berkumpul semangat. Hati dan lisan siap untuk mentadabburi Al Qur’an sebagaimana firman Allah ta’ala :

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلا

“Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa) dan (bacaan di waktu itu) lebih berkesan.” (QS Al-Muzzammil : 6).

Dan bulan Ramadhan itu memiliki hubungan khsusus dengan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah ta’ala : “Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).”  (QS Al-Baqarah : 185). (Lihat Latha’iful Ma’arif : 315).

Akan sangat bagus jika seandainya masing-masing kita memiliki target pembacaan dan pengkhataman Al-Qur’an di bulan Ramadhan. Apakah itu sekali khatam selama sebulan atau dua kali atau tiga kali atau empat kali. Dan target ini tak akan mampu kita wujudkan melainkan jika kita sudah mulai membiasakan diri membaca A-Qur’an jauh-jauh hari sebelum kedatangan bulan Ramadhan.

c). Bersungguh-sungguh beribadah di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Adalah nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam apabila sudah memasuki sepuluh hari terakhir bulan ramadhan beliau mengencangkan sarungnya menghidupkan malamnya serta membangunkan keluarganya”. (HR Bukhari 2014, Muslim : 1174).

Imam Al-Khaththabi mengatakan :

يحتمل أنه يريد به الجد في العبادة

“Sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ini (mengencangkan sarung) mengandung kemungkinan bahwa maksudnya ialah bersungguh-sungguh didalam beribadah”. (Fathul Bari : 4/269).

d). Menjaga lisan, sedikit bicara dan menjauhi kedustaan, mencaci serta mengumpat.

عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: إذا صمت فليصم سمعك وبصرك ولسانك عن الكذب والمآثم ودع أذى الخادم وليكن عليك وقار وسكينة يوم صيامك ولا تجعل يوم فطرك ويوم صيامك سواء.

“Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; ‘Apabila engkau berpuasa maka hendaknya pendengaran dan penglihatanmu juga berpuasa dari kedustaan dan perbuatan dosa. Dan tinggalkanlah gangguan terhadap pembantu. Dan hendaknya engkau berwibawa di hari puasamu, jangan jadikan hari tidak puasa sama dengan hari puasa’”. (HR Ibnu Abi Syaibah : 2/422).

e). Tidak membuang-buang waktu sia-sia dan percuma tanpa ada manfaat yang didapat

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -semoga Allah merahmati beliau- menjelaskan bahayanya menyia-nyiakan waktu :

إضاعة الوقت أشدُّ من الموت؛ لأنَّ إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة، والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها

“Menyia-nyiakan waktu itu lebih berbahaya dari pada kematian. Karena menyia-nyiakan waktu itu memotong/menghalangi kalian dari Allah dan negri akhirat, sedangkan kematian hanya menghalangi kalian dari manusia”. (Al-Fawaid : 44).

Apatah lagi jika kita menyia-nyiakan waktu di bulan suci Ramadhan, maka kerugian di atas kerugian yang akan mengantarkan kita kepada penyesalan yang tak akan ada ujung dan kesudahannya. Naudzubillah min dzalik.

Shalat tarawih ialah shalat malam yang dikerjakan di malam-malam bulan Ramadhan. Ia dinamakan tarawih/istirahat karena pelaksanaanya di selingi waktu untuk beristirahat sejanak sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Ia disyariatkan untuk dilaksanakan secara berjamaah di masjid.

Karena khawatir disangka sebagai kewajiban, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberhentikan sementara shalat tarawih berjamaah di masjid. Ketika beliau sudah wafat, maka kekhawatiran ini sudah tidak ada lagi. Sehingga Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah di masjid sebagaimana tersebut dalam riwayat sebagai berikut,

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ فَقَالَ عُمَرُ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي تَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ يَعْنِي آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ

“Dari Abdurrahman bin Abdul Qari ia berkata ; aku keluar bersama Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu di bulan ramadhan menuju masjid. Manusia kala itu berpencar-pencar, ada lelaki shalat sendirian, ada lagi lelaki shalat lalu shalat dibelakangnya beberapa kelompok. Umar lantas berkata ; ‘Aku berpendapat kalaiumereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik’.

Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah dengan imam Ubay bin Ka’ab, setelah itu aku keluar bersama imam mereka, Umarpun berkata,’Sebaik-baik bid’ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam”. (HR Bukhari : 4/218).

Kaum muslimin berbeda pendapat tentang batasan jumlah raka’at shalat tarawih. Pendapat yang paling mencocoki sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah delapan raka’at tanpa witir atau 11 rakaat dengan tiga raka’at witir berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha:

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at pada shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari : 1147و Muslim : 738).

Adapun riwayat Umar bin Khathab radhiyallahu anhu yang memerintahkan shalat tarawih lebih dari 11 rakaat adalah riwayat-riwayat yang tidak lepas dari kritikan. Dan justru Umar radhiyallahu ‘anhu pun dalam riwayat yang shahih ketika menghidupkan kembali sunnahnya shalat tarawih berjamaah, beliau memerintahkan agar salat tarawih dikerjakan dengan 11 raka’at, jumlah yang paling cocok dengan sunnah yang shahih.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Malik dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata :

أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ

‘Umar bin Khaththab pernah memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhum mengimami orang-orang (shalat tarawih) dengan sebelas rakaat.

As-Saaib berkata : ‘Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar’. ” (HR Malik dalam Al Muwatha’ : 1/478 no. 271, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shalat Tarawih : 45 dishahihkan pula oleh Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami’ Tirmidzi : 3/528).

Imam Al-Ajurri berkata :

من أصحابنا عن مالك أنه قال : الذي جمع عليه الناس عمر بن الخطاب أحب إلي وهو إحدى عشرة ركعة وهي صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم.

“Dari shahabat kami, dari Malik, ia berkata : “Shalat tarawih yang mana Umar mengumpulkan manusia di atasnya lebih aku senangi, yaitu sebanyak sebelas raka’at. Ia adalah shalat yang pernah dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. (Lihat Al-Mashabih Fi Shalatit Tarawih Oleh As-Suyuthi : 32).

Namun demikian seperti yang sudah-sudah kita tetap mengatakan bahwa masalah ini ialah masalah khilafiyyah ijtihadiyah yang kita diperbolehkan untuk berbeda di dalamnya. Tidak boleh saling mencaci, menyesatkan dan lain-lain. Imam Ibnu Utsaimin berkata :

ويؤسفنا كثيراً أن نجد في الأمة الإسلامية المتفتحة فئة تختلف في أمور يسوغ فيها الخلاف ، فتجعل الخلاف فيها سبباً لاختلاف القلوب ، فالخلاف في الأمة موجود في عهد الصحابة ، ومع ذلك بقيت قلوبهم متفقة. فالواجب على الشباب خاصة ، وعلى كل الملتزمين أن يكونوا يداً واحدةً ومظهراً واحداً ؛ لأن لهم أعداءً يتربصون بهم الدوائر.

“Sangat kita sayangkan kita mendapati di dalam tubuh umat Islam keberadaan beberapa kelompok yang berpecah belah di dalam masalah yang kita diperbolehkan untuk berbeda di dalamnya. Hingga mereka menjadikan perbedaan ini sebagai sebab berpecahnya hati. Sesungguhnya perbedaan di tubuh umat sudah ada sejak zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Namun demikian hati-hati mereka tetap bersatu. Maka menjadi kewajiban pemuda umat ini secara khusus dan bagi setiap orang yang punya semangat mengamalkan ajaran agama untuk bersatu padu menampakkan perpaduan karena mereka menghadapi musuh-musuh yang senantiasa mencari kelengahan”.

Wallahu a’lam

Semua kita mendengar, mengenal dan sangat familiar dengan malam Lailatul Qadar atau malam yang keutamaannya melebihi seribu bulan. Keutamaan malam ini sangat agung, karena ia merupakan malam turunnya Al-Qur’an yang kelak akan menuntun setiap orang yang berpegang teguh dengannya menuju jalan kemuliaan dan kejayaan. Demikian pula ia akan mengangkat seseorang menuju kepada puncak kemuliaan serta keabadian. Dan kaum muslimin saling berlomba-lomba di malam ini unuk mendapatkan kebaikan, keberkahan, kemuliaan serta limpahan pahala yang tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apapun di dunia ini.

a). Keutamaan Malam Seribu Bulan.

Allah ta’ala berfirman :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5(

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada Lailatul Qadr. Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadr itu? Lailatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ar-Ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur urusan. Malam itu (penuh) Salaam sampai terbit fajar”. (QS. Al-Qadr : 1-5).

Imam Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan firman Allah : “Pada malam itu turun para malaikat demikian pula Ar-Ruh (JIbril)” :

يكثر تنزل الملائكة في هذه الليلة لكثرة بركتها، والملائكة يتنزلون مع تنزل البركة والرحمة، كما يتنزلون عند تلاوة القرآن ويحيطون بحلق الذكر، ويضعون أجنحتهم لطالب العلم بصدق تعظيما له. وأما الروح فقيل: المراد به هاهنا جبريل

“Banyak malaikat yang turun pada Lailatul Qadar karena banyaknya barakah pada malam tersebut. Dan turunnya malaikat bersamaan dengan turunnya barakah serta  rahmat. Sebagaimana malaikat turun ketika ada yang membaca Al-Qur’an, mereka akan mengitari orang-orang yang berada dalam majelis dzikir (majelis ilmu).

Dan malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka pada penuntut ilmu karena malaikat sangat mengagungkan mereka. Adapun makna “ar-ruh” di ayat ini ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah malaikat Jibril.” (Tafsir Ibnu Katsir : 4/532, lihat pula At-Tabarruku Anwa’uhu Wa Ahkamuhu : 146).

b). Apakah Lailatul Qadar masih ada.

Imam Ibnu Utsaimin berkata :

الصحيح بلا شك أنها باقية، وما ورد في الحديث أنها رفعت، فالمراد رفع علم عينها في تلك السنة؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلّم رآها ثم خرج ليخبر بها أصحابه فتلاحى رجلان فرفعت، هكذا جاء الحديث.

“Yang benar dengan tanpa ada keraguan sama sekali bahwa lailatul qadar itu masih ada (masih berlangsung). Dan apa yang disebutkan di dalam hadits bahwa ia telah diangkat, maka maksudnya adalah diangkatnya pengetahuan tentang keberadaan lailatul qadar di tahun tersebut.

Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya kemudian beliau keluar untuk memberitahukannya kepada para sahabatnya, lantas dua orang lelaki merengek-rengek maka diangkatlah lailatul qadar (tidak ada yang tahu lagi setelahnya) seperti inilah maksud haditsnya”. (Asy Syarhul Mumti’ : 6/490).

c). Kapan malam lailatul qadar

Imam At-Tirmidzi menuturkan :

وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا لَيْلَةُ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَلَيْلَةُ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ وَخَمْسٍ وَعِشْرِينَ وَسَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَتِسْعٍ وَعِشْرِينَ وَآخِرُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ

“Dan diriwayatkan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang lailatul qadar bahwasanya ia adalah malam yang ke 21, dan malam 23, 25, 27, 29 dan malam terakhir di bulan ramadhan”. (Shahih Sunan At-Tirmidzi : 1/416 di bawah hadis no. 792).

Pendapat yang rajih/yang benar bahwa malam lailatul qadar ini ada di malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan ia berpindah-pindah setiap tahunnya dan sangat sulit untuk bisa dipastikan keberadaanya. Imam Ibnu Utsaimin merajihkan pendapat ini, beliau berujar :

والصحيح أنها تتنقّل فتكون عاماً ليلة إحدى وعشرين، وعاماً ليلة تسع وعشرين، وعاماً ليلة خمس وعشرين، وعاماً ليلة أربع وعشرين، وهكذا؛ لأنه لا يمكن جمع الأحاديث الواردة إلا على هذا القول، لكن أرجى الليالي ليلة سبع وعشرين، ولا تتعين فيها كما يظنه بعض الناس، فيبني على ظنه هذا، أن يجتهد فيها كثيراً ويفتر فيما سواها من الليالي.

“Yang benar bahwa Lailatul Qadar itu berpindah-pindah, ia ada dimalam ke-21 di sebuah tahun, lalu ada di malam ke 23 di tahun yang lain, lalu ada di malam ke-25 di tahun yang lain, dan ada di malam ke-24 di tahun yang lain, demikian kondisinya. Karena tidak mungkin menggabungkan banyak hadits tentang lailatul qadar ini melainkan dengan pendapat ini.

Akan tetapi yang paling kuat kemungkinannya adalah malam ke-27. Dan tidak bisa dipastikan sebagaimana yang disangka oleh sebagian manusia, lantas berdasarkan persangkaannya ini ia kemudian bersungguh-sungguh di malam ke-27 dan bermalas-malasan di malam-malam lainnya”. (Asy-Syarhul Mumti’ : 6/492).

c). Banyaknya malaikat di malam Lailatul Qadar.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata dari nabi shalallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda :

إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِينَ ، إِنَّ الْمَلائِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي الأَرْضِ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ الْحَصَى

“Sesungguhnya lailatul qadar itu malam ke-27 dan ke-29, sesungguhnya malaikat pada malam itu jumlahnya lebih banyak dari jumlah kerikil”. (HR Ahmad : 10316 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahihul Jami’ : 5472).

d). Memperbanyak doa di malam lailatul qadar.

Saking banyaknya malaikat, keberkahan, kebaikan dan rahmat yang melimpah di malam tersebut, maka kita disunnahkan untuk banyak beribadah dan banyak berdoa. Utamanya doa khusus yang diajarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu ia berkata ;

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا ؟ قَالَ : قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ )كَرِيمٌ( تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Aku bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apa pendapat engkau jika aku melihat Lailatul Qadar, apa yang harus aku ucapkan di dalamnya?’. Beliau menjawab : ‘Ucapkanlah olehmu ;

ALLOHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ‘ANNII (Setelah “Afuwwun” tidak menggunakan “Kariim”-pen).

Artinya ; Ya Allah sesungguhnya Engkkau adalah maha pengampun, Engkau mencintai kemaafan maka maafkanlah aku”. (HR Tirmidzi : 3513 dishahihkan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar : 247 dan Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam I’lamul Muwaqqi’un : 4/249).

Hanya saja tambahan ‘Kariim’ pada doa tersebut tidak sah dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam kitab Taraju’at Imam Al-Albani peringatan sbb :

تنبيه: وقع في سنن الترمذي بعد قوله: (عفو) زيادة (كريم) ! ولا أصل لها في شيء من المصادر المتقدمة، ولا في غيرها ممن نقل عنها

“Peringatan ; ada tersebut di dalam Sunan Tirmidzi setelah sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ‘Afuwwun’ ada tambahan ‘Kariim’ ! Tambahan ini tidak ada asalnya sama sekali dalam referensi-referensi yang valid tidak pula ada di lokasi lain dari para ulama yang manukilnya.” (Taroju’at Imam Al-Albani : 1/31 oleh Syaikh Abul Hasan Asy-Syaikh)

e). Ciri Lailatul Qadar.

Imam Ibnu Utsaimin berkata menerangkan tanda serta ciri lailatul qadar :

  1. 1.Terangnya cahaya di malam itu, tanda ini di zaman ini tidak bisa dirasakan kecuali orang yang berada di daratan yang jauh dari cahaya lampu.
  2. 2. Malam itu terasa tenang, maksudnya ketenangan hati dan kelapangan dada orang-orang yang beriman. Karena mereka merasakan ketenangan dan ketentraman dan kelapangan dada itu durasakan lebih dibanding malam-malam lainnya.
  3. 3. Sebagian ahli ilmu berkata ; angin di malam itu berhembus tenang, tidak ada badai dan cuaca terasa cerah.
  4. 4. Bahwa Allah terkadang memperlihatkan lailatul qadar dalam mimpi sebagaimana yang pernah dialami oleh sebagian para sahabat.
  5. 5. Manusia di malam tersebut merasakan kelezatan shalat dan semangat yang lebih di bandingkan malam-malam lainnya. (Asy-Syarhul Mumti’ : 6/496-497).

Wallahu a’lam

1). Makna i’tikaf.

Syaikh Muhammad bin Ali bin Adam Al-Etsyubi berkata :

الاعتكاف في اللغة : هو الحبس، واللزوم، والمكث، والاستقامة، والاستدارة. وفي الشرع: هو المكث في المسجد من شخص مخصوص بصفة مخصوصة

“I’tikaf secara bahasa maknanya menahan diri, melazimi, berdiam diri, istiqamah, berkutat.

Sedangkan menurut istilah syariat i’tikaf bermakna berdiam diri di mesjid dari seorang yang khusus dengan tata cara khusus”. (Dzakhiratul ‘Uqba Fi Syarhil Mujtaba : 8/680).

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi berkata :

اعلم أن للاعتكاف معنين لغويا وشرعيا أما اللغوي فهو الإقامة عكف بالمكان إذا أقام فيها والمعكوف المحبوس  والشرعي فهو المكث في المسجد على سبيل القربة من شخص مخصوص بصفة مخصوصة

“Ketahuilah bahwasanya I’tikaf itu memiliki dua makna, secara bahasa dan secara istilah syariat. Adapun I’tikaf secara bahasa artinya tinggal, seseorang disebut beri’tikaf di lokasi tertentu jika ia tinggal di situ, yang dii’tikafi artinya yang didiami. Adapun secara istilah syariat I’tikaf artinya tinggal di masjid demi untuk mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan orang tertentu dengan tata cara khusus”. (Al-Inshaf Li Ahkamil I’tikaf : 5).

Adapaun maksud dan tujuan utama dari iktikaf adalah sebagaimana yang telah dituliskan oleh Imam Al-Laknuwi Al-Hindi sebagai berikut :

وشرع لهم الاعتكاف الذي مقصوده وروحه عكوف القلب على الله تعالى وجمعيته عليه، والخلوة به عن الاشتغال بالخلق، والاشتغال به وحده -سبحانه-؛ بحيث يصير ذكره، وحبه، والإقبال عليه في محل هموم القلب وخطراته؛ فيستولي عليه بدلها، ويصير الهم كله به، والخطرات كلها بذكره، والتفكر في تحصيل مراضيه، وما يقرب منه؛ فيصير أنسه بالله بدلا عن أنسه بالخلق؛ فيعده بذلك لأنسه به يوم الوحشة في القبور حين لا أنيس له، ولا ما يفرح به سواه؛ فهذا مقصود الاعتكاف الأعظم

“Disyariatkan I’tikaf bagi mereka yang mana maksud dan ruh dari I’tikaf ini adalah menenangkan hati untuk Allah, membersamai-Nya, menyendiri dengan-Nya dan memutus hubungan dengan makhluk untuk kemudian menyibukkan diri dengan Allah semata.

Hingga aktifitas menyebut asma Allah, mencintai Allah dan menerima Allah menjadi obat bagi kesedihan hati. Sampai kecintaan terhadap Allah ini menggantikan posisi kesedihan di dalam hati.

Kesedihan hati hilang dengan Allah, dan kegundahan hati hilang dengan mengingat Allah. Serta bertafakur untuk meraih keridhaan Allah, dan meraih segala hal yang mendekatkan diri kepada Allah.

Sampai pada taraf seseorang lebih merasa senang dan nyaman dengan Allah dari pada nyaman dengan makhluk.

Hingga kelak ia akan merasa nyaman dengan Allah di alam kubur ketika tak ada kawan serta tak ada yang membuatnya nyaman melainkan Allah. Ini adalah maksud agung dari disyariatkannya I’tikaf” (Zadul Ma’ad : 2/86-87, lihat pula Al-Inshaf Fi Hukmil I’tikaf : 7 oleh Imam Al-Laknuwi Al-Hindi).

2). Hukum I’tikaf.

I’tikaf ini sunnah hukumnya dan dianjurkan di hari apa saja, namun lebih ditekankan untuk dilakukan pada hari-hari di bulan Ramadhan. Dan yang paling utama adalah i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Allah ta’ala berfirman :

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid”.

(QS Al-Baqarah : 187).

Disebutkan pula dalam riwayat yang shahih

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Dan ketika berada di tahun beliau wafat, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. (HR Bukhari : 2044, Muslim : 1172).

Imam An-Nawawi berkata menerangkan hukum dari i’tikaf ini dan menegaskan akan kesepakatan para ulama tentangnya :

الاعتكاف سنة بالإجماع، ولا يجب إلا بالنذر بالإجماع، ويستحب الإكثار منه، ويستحب ويتأكد استحبابه في العشر الأواخر من شهر رمضان

“I’tikaf itu sunnah hukumnya secara ijma’. Dan tidak wajib melainkan jika diniatkan karena nadzar. Dan disunnahkan untuk memperbanyak i’tikaf dan ditekankan lagi kesunnahan I’tikaf ini untuk dilakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan”. (Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab : 6/475).

Sehingga jika seseorang bernadzar ingin melaksanakan i’tikaf di masjid, ketika itulah I’tikaf menjadi wajib atasnya sebagaimana riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut ini :

يَا رَسُولَ اللَّهِ , إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَوْفِ بِنَذْرِكَ “

“Wahai Rasulullah sesungguhnya aku memiliki nadzar di zaman jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di masjidil Haram. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, ‘Tepatilah nadzarmu”. (HR Bukhari : 4/237, Muslim : 1656).

3). Hikmah I’tikaf.

Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali menuturkan hikmah di balik pensyariatan I’tikaf ini :

معنى الاعتكاف وحقيقته: قطع العلائق عن الخلائق للاتصال بخدمة الخالق، وكلمَّا قويت المعرفة بالله، والمحبَّة له، والأنس به أورثتْ صاحبَها الانقطاعَ إلى الله – تعالى – بالكلية على كلِّ حال

“Makna I’tikaf dan hakikatnya ialah memutus hubungan dengan makhluk demi untuk berkhidmat kepada sang Khaliq. Setiap kali menguat ma’rifatullah serta kecintaan kepada Allah, dan juga rasa nyaman dengan Allah, itu semua akan memberikan efek kepada pelakunya berupa ketergantungan/keterkaitan dengan Allah dalam segala situasi”. (Latha’iful Ma’arif : 203).

4). Syarat I’tikaf.

a). Islam

Sehinga tidak sah I’tikaf yang dilakukan oleh orag kafir, Allah ta’ala berfirman :

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورً

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. (QS Al-Furqan : 23).

Syaikh Shalih bin Abdillah bin Fauzan Al-Fauzan berkata menafsirkan ayat ini :

فالمشركون لهم عبادات، كانوا يحجون، وكانوا يتصدقون، وكانوا يطعمون الأضياف، وكانوا يُكرمون الجيران، ولهم أعمال لكنها ليست مبنيّة على التّوحيد، فهي هباء منثور، لا تنفعهم شيئاً يوم القيامة

“Orang-orang musyrik kafir mereka melakukan ibadah, mereka berhaji, mereka bersedekah, mereka memberi makan para tamu, dan mereka juga memuliakan tetangga. Mereka melakukan amalan-amalan namun tidak dibangun berdasarkan tauhid. Maka amal-amal tersebut menjadi sirna menjadi debu yang beterbangan dan tidak memberi mereka manfaat sedikitpun kelak pada hari kiamat”. (I’anatul Mustafid Syarah Kita Tauhid : 1/59).

b). Berakal

Syaikh Khalid bin Ali Al-Musyaiqih menerangkan sebab tidak sahnya I’tikaf yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki akal :

فلا يصح الاعتكاف من مجنون ولا سكران، ولا مغمى عليه؛ لحديث عمر رضي الله عنه مرفوعاً : (( إنما الأعمال بالنيات )) متفق عليه . وهؤلاء لا قصد لهم معتبر ولأنهم ليسوا من أهل العبادة وهذا الشرط بالتفاق الأئمة

“Maka tidak sah I’tikaf yang dilakukan oleh orang gila, demikian pula orang mabuk, juga orang yang pingsan berdasarkan hadits Umar radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ ; ‘Sesungguhnya amal-amal itu bergantung kepada niatnya’. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dan karena orang-orang yang tidak memiliki akal ini mereka tidak memiliki Qasdun/keinginan yang dianggap sah. Dan karena mereka ini bukan termasuk kelompok orang yang dibebani dengan ibadah”. (Fiqhul I’tikaf : 69 oleh Syaikh Khalid Al-Musyaiqih).

c). Niat

Karena orang yang berdiam diri di masjid bisa berniat untuk I’tikaf bisa pula berniat untuk tujuan lainnya. Maka dibutuhkan niat untuk menentukan dan membedakan jenis amal mana yang dimaksudkan.

Imam Ibnu Rusyd berkata menghikayatkan ijma’/kesepakatan disyaratkannya niat dalam I’tikaf, beliau berkata :

أما النية فلا أعلم فيها خلافا

“Adapun niat, maka aku tidak pernah mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentangnya”. (Bidayatul Mujtahid : 1/430).

d). Berpuasa

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata :

ولم يذكر الله سبحانه وتعالى الاعتكاف إلا مع الصوم ، ولا فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا مع الصوم . فالقول الراجح في الدليل الذي عليه جمهور السلف : أن الصوم شرط في الاعتكاف ، وهو الذي كان يرجحه شيخ الإسلام أبو العباس ابن تيمية

“Allah ta’ala tidak menyebutkan I’tikaf melainkan bersama puasa. Dan Rasulullah shalallahu ‘aaihi wa sallam tidak melaksanakan I’tikaf kecuali bersamaan dengan puasa. Maka pendapat yang rajih/kuat di dalam memahami dalil, yang dipilih oleh mayoritas kaum salaf ialah bahwa puasa itu merupakan syarat di dalam I’tikaf. Dan pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah”. (Zadul Ma’ad : 2/83).

5). Aktivitas yang dianjurkan

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berkata adab-adab I’tikaf yang seharusnya dilakukan oleh orang yang beri’tikaf di masjid :

وعلى المعتكف آداب ينبغي أن يتحلى بها قدر استطاعته ليلا نهارا وذلك بأن يقضي وقته بالصلاة وقراءة القرآن وذكر الله تعالى والصلاة على النبي وطلب العلم من تقسير أة حديث أو نحو ذلك من العلوم الشرعية و غير ذلك من الطاعات المحضة.

“Dan bagi orang yang beri’tikaf ada adab-adab yang selayaknya untuk dilakukan sesuai kadar kemampuan sepanjang siang dan malam. Itu dilakukan dengan cara menghabiskan waktunya untuk shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir menyebut asma Allah. Demikian pula bershalawat kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam serta menuntut ilmu berupa mengkaji tafsir, hadits maupun ilmu syariat lainnya dan juga ketaatan-ketaatan yang lain”. (Al-Fiqhul Islami : 2/715).

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi juga berkata memperingatkan pelaku I’tikaf dari berbagai perbuatan yang selayaknya dihindari :

يُستحب للمعتكف التشاغل بالطاعات المحضة وتجنب مالا يعنيه من الأقوال والأفعال، ويجتنب الجدال والمراء والسباب والفحش فإن ذلك مكروه في غير الاعتكاف ففيه أولى، ولا يبطل الاعتكاف بشيء من ذلك

“Selayaknya orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan diri dengan  murni ketaatan,serta menjauhi hal-hal yang tidak penting baginya berupa perkataan, perbuatan, dan pertengkaran, debat kusir, mencaci serta berkata kotor. Karena hal-hal ini dibenci di luar waktu i’tikaf, maka lebih dibenci lagi ketika i’tikaf. Dan i’tikaf tidak batal dengan ini semua”. (Al-Mughni : 2/164).

Wallahu a’lam

1). Penamaan Zakat Fitri.

Nama yang disematkan kepadanya oleh dalil adalah Zakat Fitri sebagaimana riwayat sebagai berikut :

أنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِإِخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikan Zakat Fitri sebelum berangkatnya kaum muslimin menuju lapangan untuk shalat hari raya.” (HR. Muslim : 986).

Hadis dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu juga menyatakan demikian, beliau mengatakan,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan Zakat Fitri sebagai bentuk penyucian tehadap pelaku puasa dari kesia-siaan dan kekejian, dan sebagai bentuk memberi makan kepada orang-orang miskin”. (HR Abu Daud : 1609, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak : 1488 dishahihkan pula oleh Imam Al-Albani dalam Shahihul Jami’ : 3570).

Nama Zakat Fitri inilah yang lebih tepat karena memang demikianlah yang disebutkan oleh dalil. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :

أُضِيفَت الصَّدَقَةُ للفِطْرِ؛ لِكَونِهَا تَجِبُ بِالفِطْرِ مِن رَمَضَانَ

“Sedekah ini disambungkan dengan Fitri/berbuka, karena ia menjadi tanda wajibnya Fitri/berbuka dari puasa ramadhan”. (Fathul Bari : 3/367).

Dan kita mendahulukan penamaan yang disebutkan dalil dari pada penamaan yang lainnya. Sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Utsaimin berikut ini tentang keutamaan menggunakan lafadz Tamtsil dari pada Tasybih, beliau bertutur :

أنه الموافق للفظ القرآن في قوله تعالى: {ليس كمثله شيء}، {فلا تضربوا لله الأمثال}، ولم يقل: ليس كشبهه شيء ولا قال: فلا تضربوا لله الأشباه.

“Bahwasanya lafadz Tamtsil ini mencocoki lafadz Al-Qur’an seperti firman Allah ta’ala (Tiada yang semisal dengan Allah sesuatupun) dan firman Allah (Dan janganlah kalian membuat Tamtsil/permisalan terhadap Allah). (Majmu’ Fatawa War Rasail : 1/180-181).

Allah tidak mengatakan “Tasybih/penyerupaan” tidak pula “Dan jangan kalian membuat tasybih /penyerupaan terhadap Allah”.

Meski sah-sah saja kita menyebutnya sebagai Zakat Fitrah karena ada sebagian ulama’ yang membolehkannya, wallahu a’lam.

2). Hukum Zakat Fitri

Zakat Fitri hukumnya wajib berdasarkan dua riwayat tersebut di atas, bahkan imam Ibnul Mundzir menghikayatkan ijma’/kesepakatan para ulama akan wajibnya zakat fitri beliau berkata :

أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم على أن صدقة الفطر فرض

“Para ahli ilmu yang pernah kami ketahui semuanya bersepakat bahwa zakat fitri itu hukumnya wajib”. (Al-Ijma’ : 49).

3). Fungsi Zakat

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam :

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitri sebagai bentuk penyucian tehadap pelaku puasa dari kesia-siaan dan kekejian, dan sebagai bentuk memberi makan kepada orang-orang miskin”. HR Abu Daud : 1609 Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak : 1488 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ : 3570, Shahih Sunan Abi Dawud : 1420).

Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan hikmah disyariatkannya zakat fitri ini :

شكر لله عز وجل على إتمام الشهر وطعمة للمساكين في هذا اليوم الذي هو يوم عيد وفرح وسرور فكان من الحكمة أن يعطوا هذه الزكاة من أجل أن يشاركوا الأغنياء في الفرح والسرور

“Dalam rangka bersyukur kepada Allah azza wa jalla karena telah menyempurnakan puasa sebulan penuh. Dan sebagai bentuk memberi makan kepada orang-orang miskin di hari raya, hari kegembiraan dan kebahagiaan. Maka merupakan sebuah kebijaksanaan jika zakat fitri ini diberikan kepada orang-orang miskin supaya mereka ikut serta bersama orang-orang kaya dalam merasakan kebahagiaan dan kegembiraan”. (Asy-Syarhul Mumti’ : 6/160).

4). Atas siapa kewajiban zakat fitri berlaku

Ia berlaku bagi setiap orang islam baik laki, wanita, tua, muda maupun anak-anak berdasarkan riwayat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagai berikut :

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri sebanyak satu sho’ berupa kurma atau satu sho’ berupa gandum, wajib bagi setiap budak, orang merdeka, lelaki, wanita, anak kecil maupun orang tua dari kalangan kaum muslimin. Dan nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikannya sebelum keluarnya manusia menuju tanah lapang untuk shalat”. (HR. Bukhari : 1503, Muslim : 984).

5). Jenis zakat fitri

Zakat fitri dibayarkan berupa makanan pokok di masing-masing negri sebesar satu Sho’. Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi berkata :

وقد اختلف في تفسير لفظ الطعام الوارد في حديث أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- فقيل: الحنطة، قيل: غير ذلك، والذي تطمئن إليه النفس أنه عام يشمل كل ما كيل من الطعام

“Para ulama berselisih akan tafsir kata ‘makanan’ yang tersebut di dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Lantas dikatakan bahwa maksud makanan di situ ialah gandum, dikatakan lagi bukan itu maksudnya. Pendapat yang menenangkan jiwa bahwasanya kata ‘makanan’ tersebut mencakup semua jenis makanan yang bisa ditimbang.” (Shifatus Shaumin Nabi : 103).

6). Sho’ dalam ukuran modern

Satu Sho’ setara dengan empat Mud. Dan satu Mud setara dengan apa yang ada di tangan seorang lelaki dengan postur tubuh sedang. Para ulama’ berbeda pendapat di dalam menetapkan ukuran Sho’ ini jika diukur dengan ukuran modern.

Perbedaan taksiran tersebut berkisar antara 2,4 kilo sampai 3,5 kilo. Adapun yang difatwakan oleh para ulama yang terkumpul dalam Hai’ah Kibar Ulama’ adalah 2,6 kilogram sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Abdullah bin Sulaiman Al-Mani’ :

وقد بحثت هيئة كبار العلماء في المملكة العربية السعودية مقدار الصاع بالكيلو جرام وكان بحثها معتمداً على أن صاع رسول الله صلى الله عليه وسلم أربعة أمداد ، وأن المد ملء كفي الرجل المعتدل ، وكان منها تحقيق عن مقدار ملء كفي الرجل المعتدل ، وتوصل هذا التحقيق إلى أن مقدار ذلك قرابة 650 جراما للمد ، فيكون مقدار الصاع 2600 جرام .

“Dan Hai’ah Kibar Ulama’/persatuan para ulama’ besar di kerajaan Saudi Arabia telah meneliti ukuran Sho’ dengan Kilogram. Dan penelitiannya bersandar kepada aturan bahwa Sho’ nya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam itu setara dengan empat Mud.

Dan bahwa satu Mud itu setara dengan volume yang ada di telapak tangan seorang lelaki dengan postur sedang. Dan penelitian itu tentang ukuran yang setara dengan volume yang ada di telapak tangan lelaki dengan postur sedang. Hasil akhir dari penelitian ini ialah satu Mud setara dengan kira-kira 650 gr. Maka satu sho’ setara dengan 2600 gr”. (Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah : 59/178).

7). Yang berhak menerima zakat fitri

Zakat Fitri ini tidak dibagikan melainkan kepada orang yang berhak dari kalangan orang-orang miskin. Para ulama berselisih pendapat akan golongan orang yang berhak menerima zakat fitri, sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa zakat fitri ini dibagikan kepada delapan golongan sebagaimana zakat mal pada umumnya. Namun pendapat ini tidak dibangun di atas dalil yang kuat. Justru riwayat shahih yang telah lalu menyatakan bahwa zakat fitri diberikan khusus kepada orang-orang miskin :

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitri sebagai bentuk penyucian terhadap pelaku puasa dari kesia-siaan dan kekejian, dan sebagai bentuk memberi makan kepada orang-orang miskin”. (HR Abu Daud : 1609, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak : 1488 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahihul Jami’ : 3570, Shahih Sunan Abi Dawud : 1420).).

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan ketika menguatkan pendapat ini beliau betutur :

وَكَانَ مِنْ هَدْيِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَخْصِيصُ الْمَسَاكِينِ بِهَذِهِ الصَّدَقَةِ ، وَلَمْ يَكُنْ يَقْسِمُهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ قَبْضَةً قَبْضَةً ، وَلَا أَمَرَ بِذَلِكَ ، وَلَا فَعَلَهُ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ ، وَلَا مَنْ بَعْدَهُمْ ، بَلْ أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ عِنْدَنَا : إِنَّهُ لَا يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا إِلَّا عَلَى الْمَسَاكِينِ خَاصَّةً ، وَهَذَا الْقَوْلُ أَرْجَحُ مِنَ الْقَوْلِ بِوُجُوبِ قِسْمَتِهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ .

“Dan petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengkhususkan orang-orang miskin untuk menerima sedekah ini (zakat fitri). Beliau tidak membagikannya kepada delapan golongan penerima zakat jatah per jatah. Tidak pula beliau memerintahkan untuk melakukan hal tersebut.

Dan para sahabatpun tidak ada yang melakukannya, tidak pula generasi setelahnya. Bahkan salah satu pendapat di sisi kami bahwasanya tidak boleh zakat fitri dikeluarkan melainkan kepada orang-orang miskin secara khusus. Dan pendapat inilah yang paling rajih/paling kuat jika dibandingkan dengan pendapat yang menyatakan harus dibagikan kepada delapan golongan penerima zakat”. (Zadul Ma’ad : 2/21).

8). Waktu pembayaran Zakat Fitri

Ia dibayarkan sebelum manusia keluar menuju shalat ‘Id atau boleh dimajukan sehari atau dua hari sebelumnya :

زَكَاةُ الْفِطْرِ طُهْرَةٌ لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، وَطُعْمَةٌ لِلْمَسَاكِينِ ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

“Zakat fitri itu sebagai bentuk penyucian bagi pelaku puasa dan sebagai bentuk memberi makan kepada orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat maka ia adalah zakat fitri yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat maka ia hanya sedekah sebagaimana sedekah-sedekah biasa yang ada”. (HR Abu Dawud : 1609, Ibnu Majah : 1827, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud : 1427).

Dari sini sebagian para ulama membagi waktu dikeluarkannya zakat fitri ini menjadi dua :

a). Waktu yang diperbolehkan

Yaitu sehari atau dua hari sebelum hari raya, berdasarkan riwayat sebagai berikut :

عَنِ ابنِ عُمَرَ – رضي الله عنهما -: «أنَّهُمْ كَانُوا يُعطُونَ قَبلَ الفِطرِ بِيَومٍ أوْ يَومَينِ

“Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma ; bahwasanya para sahabat itu mereka mengeluarkan zakat sebelum hari raya sehari atau dua hari sebelumnya”. (HR Bukhari : 1511).

b). Waktu yang dianjurkan

Yaitu pada waktu pagi setelah shalat subuh sebelum keluar menuju shalat ‘id, ini berdasarkan riwayat sebagai berikut :

عَنِ ابنِ عُمَرَ – رضي الله عنهما -: «أنَّ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – أمَرَ بِزَكَاةِ الفِطْرِ أنْ تُؤَدَّى قَبلَ خُرُوجِ النَّاسِ إلَى الصَّلَاةِ

“Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikan zakat fitri sebelum manusia keluar menuju shalat ‘Id.” (HR Bukhari : 1503, Muslim : 984).

9). Batasan minimal harta orang yang wajib berzakat fitri

Apabila seseorang, setelah dikurangi zakat fitri untuk diri dan keluarganya, ia masih memiliki sisa makanan yang cukup untuk diri dan keluarganya di hari itu, maka ia sudah wajib mengeluarkan zakat fitri. Imam Shiddiq Hasan Khan berkata :

فَإِذَا مَلَكَ زِيَادَةً عَلَى قُوتِ يَوْمِهِ أَخْرَجَ الفِطْرَةَ إِن بَلَغَ الزَّائِدُ قَدْرَهَا

“Apabila seseorang memiliki kelebihan atas jatah makan hariannya, maka ia harus mengeluarkan zakat fitri jika kelebihan ini sudah mencapai ukuran zakat fitri yang harus ditunaikan”. (Ar-Radhatun Nadiyah : 1/519).

Sengaja kami menyisipkan sedikit pembahasan ringkas mengenai Zakat Mal. Karena kita seringkali menemui beberapa jika tidak dikatakan banyak, kalangan umat islam yang membayarkan Zakat Mal nya bertepatan dengan moment ramadhan. Dan rata-rata jenis harta yang mereka zakati berupa emas atau berupa uang tunai atau barang dagangan. Ketiganya menggunakan nishab emas atau perak. Maka kami sampaikan di penghujung tulisan ini cara sederhana menghitung zakat mal berupa emas, uang tunai dan barang dagangan. Semoga ia kan menjadi titian lempang di dalam kita melewati hari-hari penuh berkah di bulan mulia.

1). Syarat Zakat

a). Islam

Zakat mal ini hanya wajib ditunaikan oleh orang islam, adapun orang kafir mereka tidak memiliki kewajiban membayar zakat. Allah ta’ala berfirman :

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.”

(QS. At-Taubah : 54).

Kewajiban zakat ini dikuatkan pula oleh pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu ke Yaman beliau bertutur :

إِنّكَ تَأْتِي قَوْما مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاّ الله وَأَنّي رَسُولُ اللّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنّ الله افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنّ الله افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدّ فِي فُقَرَائِهِمْ

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum dari golongan Ahli Kitab, maka serulah mereka untuk bersyahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan Allah dan bahwasanya aku (Muhammad) adalah utusan Allah.

Jika mereka mematuhimu dalam hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka lima shalat di setiap hari dan malam. Jika mereka mematuhimu dalam hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat) yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan disalurkan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR Bukhari : 4347, Muslim : 19).

b). Merdeka

Zakat mal ini tidak dibebankan kepada hamba sahaya/budak. Karena ia tidak memiliki harta. Semua hartanya adalah harta majikan atau tuannya. Dari Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْداً وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِيْ بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ

“Barangsiapa yang membeli budak yang memiliki harta maka hartanya milik penjual kecuali pembeli mensyaratkannya. (HR. Muslim : 1543).

Pernyataan ini senada dengan ungkapan Ibnu Umar radhiyallahu anhuma yang berkata:

لَيْسَ فِيْ مَالِ العَبْدِ زَكَاةٌ حَتَّى يُعْتَقَ

Tidak ada kewajiban zakat pada harta seorang budak sampai dia dibebaskan”. (HR. Baihaqi : 4/108, dishahihkan oleh Imam Al-Albani di dalam Irwa’ul Ghalil : 3/252).

c). Memiliki Nishab

Nishab ialah batasan minimal harta yang sudah wajib dizakati. Nishab dari harta ini berbeda sesuai dengan jenis hartanya. Namun kita hanya akan sampaikan nishab yang menjadi standard dalam zakat emas, perak, uang dan barang dagangan. Ketiga jenis harta ini menggunakan nishabnya emas.

Dan besaran nishab dari emas ialah dua puluh dinar atau setara dengan 85 gr emas. Sedangkan nishabnya perak ialah 5 ‘Uqiyah atau 200 dirham atau setara dengan 595 gr perak. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah : 2/17-18, Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah : 3/35-37).

d). Istiqrarul Milki/harta yang dizakati merupakan hak milik pribadi secara penuh

Maka tidak perlu dizakati harta yang berupa mahar/mas kawin dari seorang istri yang belum melakukan hubungan suami istri dengan suaminya. Karena jika kemudian ia bercerai mahar ini dikembalikan kepada suami, sehingga si istri belum memiliki hak penuh terhadap mahar tersebut sampai ia melakukan hubungan suami istri.

Demikian pula jika seorang budak mengatakan kepada tuannya ; Aku ingin membeli diriku sendiri dengan 200 dinar. Harta ini tidak wajib dizakati karena bisa jadi si hamba sahaya ini ternyata tidak mampu menyediakan 200 dinar. Sehingga tidak terpenuhi syarat Istiqrarul Milki. (Lihat Ibhajul Mukminin Syarah Manhajus Salikin : 1/288 Oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin).

e). Haul/telah tersimpan selama kurun waktu setahun lamanya

Syarat ini disyariatkan berdasarkan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersumber dari ‘Aisyah bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhuma ia berkata :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada zakat pada harta sampai ia berlalu melewati masa setahun lamanya”. (HR. Ibnu Majah : 1792 dishahihkan Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah : 2/98).

2). Contoh cara menghitung zakat mal

Berikut kami cantumkan contoh kasus dalam penghitungan zakat untuk mempermudah kita di dalam memahami dan mengamalkannya insya’Allah.

a). Zakat emas

Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim berkata :

مثال توضيحي: رجل يملك (1/ 2) كيلو جرام من الذهب عيار (24)، فما مقدار الزكاة فيه إذا حال عليه الحول؟

فنقول: بما أن مقدار الذهب والمملوك يعتبر أكثر من النصاب (85جم) فإنه يجب فيه ربع العشر، فيكون المقدار الواجب إخراجه = 500 جرامًا × 1/ 40 = 12.5 جرامًا.

“Contoh praktek penghitungan zakat : Seorang lelaki yang memiliki 0,5 kilogram (500gr) emas 24 karat. Berapa lantas zakat yang harus dikeluarkan darinya jika sudah tersimpan selama setahun?

Kita katakan karena ukuran emas dan harta yang dimiliki sudah mencapai lebih dari 85 gram, maka wajib dikeluarkan zakat 1/40 (2,5%). Maka zakat yang wajib dikeluarkan ialah 1/4×500 = 12,5 gr ”.  (Shahih Fiqih Sunnah : 2/18).

b). Zakat perak

Demikian pula jika seseorang memiliki perak sebanyak 0,7 Kg atau 700 gr dan sudah tersimpan selama minimalnya satu tahun. Maka besar zakat yang harus di keluarkan ialah 1/40×700 = 17,5 gr.

c).   Zakat uang dan barang dagangan

Nishab uang dan barang dagangan ini memakai standard nishab emas. Uang yang ia miliki jika sudah setara atau lebih jika dibanding dengan harga emas 85 gr, maka ia harus dizakati 2,5%. Syaikh Shalih Al-Fauzam berkata :

مقدار النصاب من النقود اليوم يعتبر بالأصول يعتبر بالذهب والفضة

“Ukuran nishab untuk uang hari ini diukur dengan mata uang aslinya, diukur dengan nishabnya emas dan perak”. (Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan no. 4474).

Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim berkata :

مثال توضيحي:

شخص يمتلك (2000) جنيه، وآخر يمتلك (100.000) جنيه فما مقدار الزكاة في مال كل منهما إذا حال عليهما الحول؟

والجواب:

نحتاج أولاً على أن نعرف مقدار النصاب -وهو نصاب الذهب كما تقدم [85 جرامًا] فإذا فرض أن ثمن الجرام من الذهب = (30) جنيهًا، فيكون النصاب = 85 × 30 = 2550 جنيه وبما أن ما يمتلكه الشخص الأول أقل من النصاب فلا زكاة عليه إلا أن يتصدق. وأما الشخص الآخر فيمتلك مبلغًا أكبر من النصاب فيجب عليه زكاة ربع العُشر. مقدار الزكاة = 100.000 × 1/40 = 2500 جنيه.

“Contoh kasus ; Seseorang memiliki uang sebanyak 2.000 Janih (nama mata uang-pent), kemudian orang kedua memiliki 100.000 Janih. Lantas berapa zakat untuk masing-masing keduanya jika sudah tersimpan selama setahun ?

Jawab : Kita perlu terlebih dahulu untuk mengetahui ukuran nishab emas. Dan nishab emas sebagaimana telah berlalu sebesar 85 gr. Apabila dianggap bahwa harga emas per gram-nya seharga 30 Janih. Maka nishab dari harta berupa uang 85 gr x 30 Janih = 2.550 Janih.

Dan ketika uang yang dimiliki orang pertama kurang dari nishab, maka tidak ada kewajiban zakat bagi dia kecuali jika ia ingin bersedekah. Adapun orang kedua ia memiliki jumlah uang yang melebihi nishab, maka wajib bagi dia membayar zakat 2,5% dari keseluruhan uang. Besaran zakat yang harus dibayarkan 1/40×100.000 = 2.500 Janih. (Shahih Fiqih Sunnah : 2/23).

Demikian pula zakat barang dagangan, kita memperkirakan nilai barang dagangan yang sudah tersimpan setahun. Jika hasilnya melebihi nishab maka dibayarkan zakatnya 2,5%.

Wallahu a’lam.

Demikian akhir dari apa yang ingin kami tuliskan pada kesempatan kali ini. Dengan diringi besarnya harapan kami ia kan menjadi semacam jembatan kecil untuk kita melewati dan meniti hari demi hari di bulan nan suci lagi diberkahi. Meniti hari di atas Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Agar kelak kita bisa menikmati jerih payah kita di hari ini pada hari yang tiada lagi bermanfaat harta maupun anak-anak melainkan orang yang menghadap Allah dengan membawa hati yang suci. Agar kelak kita bisa mereguk segarnya air di telaga Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk kemudian bersama-sama memasuki syurga Allah seluas langit dan bumi.

Apa yang kami tuliskan di sini bukanlah mutlak kebenaran, di sana ada perbedaan di kalangan para ulama’ Islam berkaitan dengan Fiqih Ramadhan ini. Kami tidak mengklaim kemaksuman. Kami juga tidak hendak memaksakan pendapat. Apa yang benar di dalamnya murni karena taufik dari Allah ta’ala, dan apa yang tersalah murni dari kejahilan dan kurangnya ilmu yang ada pada kami.

Dan kami tidak menutup diri dari kritik dan koreksi yang membangun selama itu benar dan lebih sesuai dengan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan disampaikan dengan cara santun. Kita akhiri tulisan ringkas ini dengan menukil beberapa bait syair sebagai pengingat bagi kita semua agar senantiasa memanfaatkan sisa waktu yang masih ada untuk meraih keridhaan Allah ta’ala. Seorang penyair berkata :

يا ذا الذي ما كفاه الذنب في رجبِ * حتى عصى ربه في شهر شعبان

لقد أظلك شهر الصوم بعدهما * فلا تُصَيره أيضاً شهر عصيان

واتل القران وسبح فيه مجتهداً * فإنه شهر تسبيح وقرْآنِ

كم كنت تعرف ممن صام في سلف * من بين أهل وجيران وإخوان

أفناهم الموت واستبقاك بعدهمُ * حيا فما أقرب القاصي من الداني

“Wahai orang yang belum merasa cukup berbuat dosa di Bulan Rajab

Hingga di bulan Sya’ban masih juga ia bermaksiat pada Tuhannya

Bulan Ramadhan telah mendatangimu setelah kedua bulan berlalu

Maka janganlah engkau jadikan ia sebagai bulan kemaksiatan.

Bacalah Al-Qur’an dan bertasbihlah di bulan itu dengan bersungguh-sungguh

Kerna Ramadhan adalah bulan tasbih dan bulan Al-Qur’an

Betapa banyak engkau ketahui mereka yang dahulunya berpuasa

Baik mereka dari keluarga, tetangga ataupun teman

Kematian telah menelan mereka dan menyisakan engkau dalam keadaan hidup setelah mereka

Aduhai betapa dekatnya orang yang bermaksiat dengan kematiannya.

Ya Allah kami memohon kepada Engkau dengan seluruh Asma’ul Husna yang Engkau miliki agar Engkau berkenan membangunkan kami dari nikmatnya tidur di atas kelalaian.

Ya Allah anugrahkan kepada kami taufik untuk berbekal dengan ketaqwaan sebelum ajal tiba menjemput.

Ya Allah rizqikanlah kepada kami kekuatan untuk memanfaatkan waktu di bulan mulia ini. Ampunilah kami, kedua orang kami, beserta seluruh kaum muslimin wahai Zat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.