Pertanyaan:
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Bagaimana seharusnya seorang ahlusunnah bersikap terhadap politik di negara kita ini , Apakah :
1. Cuek
Tidak mau tahu apapun yang berbau politik kenegaraan. Terserah negara mau bagaimana dan dibawa kemana, yang penting dirinya dan keluarganya masih bisa menjalankan syariat agama Islam. Konsekuensinya : Ummat Islam golput, dan besar kemungkinan negara menjadi sekuler.
2. Ikut berpolitik.
Dalam arti aktif mengamati dunia politik dan minimal tahu bagaimana kriteria pemimpin negara dan wakilnya yang akan menjadi pilihannya ketika pemilu tiba.
Konsekuensi : Wajib ikut pemilu dan ada kemungkinan Islam benar-benar menjadi pemimpin di negara kita.
3. Barangkali ada sikap selain yang diatas yang lebih syar’i..
جَزَاك اللهُ خَيْرًا
(Dari Sugeng Di Jarim Anggota Grup WA Bimbingan Islam N05-57).
Jawaban:
وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته
Jika kami diijinkan untuk sedikit mengomentari ketiga point yang diajukan penannya sebagai opsi sikap politik ahlis sunnah wal jama’ah, maka kami mengatakan bahwa sikap pertama jelas sangat tidak benar dan ia bukan merupakan sikap ahlis sunnah sama sekali.
Sedangkan point kedua, sekilas ia akan tampak benar namun ketika kita mau sejenak saja merenungkan apa yang tertulis di situ mungkin kita akan mendapatkan sesuatu yang baru. Sebagai contoh kita bisa saja mengajukan pertanyaan :
Benarkah dengan kapasitas kita sebagai rakyat, hanya dengan sekedar kita aktiv mengikuti perkembangan situasi perpolitikan dengan rajin membaca berita di media massa di waktu pagi, siang, sore dan malam hari, hal ini lantas akan menjadi penyebab terbesar negri kita ditolong oleh Allah ta’ala?
Benarkah orang yang aktiv mengamati dunia politik berarti ia telah menjadi pahlawan yang berjasa bagi bangsa dan negaranya?
Kami kira orang yang jujur akan menjawab tidak. Sumber pertolongan dan kemenangan kaum muslimin tidak ditentukan oleh aktiv dan tidaknya seseorang mengikuti berita perkembangan politik. Imam Al-Albani berkata :
فالاشتغال الآن بالعمل السياسي مشغلة ! مع أننا لا ننكره ، إلا أننا نؤمن بالتسلسل الشرعي المنطقي في آن واحد ، نبدأ بالعقيدة ، ونثني بالعبادة ثم بالسلوك ؛ تصحيحًا وتربية ثم لا بد أن يأتي يوم ندخل فيه في مرحلة السياسة بمفهومها الشرعي ؛ لأن السياسة معناه : إدارة شؤون الأمة ، من الذي يدير شؤون الأمة ؟ ليس زيدًا ، وبكرًا ، وعمرًا ؛ ممن يؤسس حزبًا أو يترأس حركة ، أو يوجه جماعة !! هذا الأمر خاص بولي الأمر ؛ الذي يُبَايَع من قِبَل المسلمين ، هذا هو الذي يجب عليه معرفة سياسة الواقع وإدارته ، فإذا كان المسلمون غير متحدين – كحالنا اليوم – فيتولى ذلك كل ولي أمر حسب حدود سلطاته ، أما أن نشغل أنفسنا في أمور لو افترضنا أننا عرفناها حق المعرفة فلا تنفعنا معرفتنا هذه ؛ لأننا لا نتمكن من إدارتها ؛ ولأننا لا نملك القرار لإدارة الأمة ، وهذا وحده عبث لا طائل تحته
“Menyibukkan diri dengan perpolitikan itu menyibukkan, padahal kita tidak membencinya hanya saja pada waktu yang bersamaan kita percaya pada silsilah syar’i yang masuk akal. Kita memulai dengan aqidah kemudian ibadah dengan sulukو dengan cara memperbaikinya serta mendidik. Kemudian kelak akan datang suatu hari kita masuk ke dalam politik dalam arti yang syar’i.
Karena politik maknanya mengatur urusan umat, siapakah orang yang berwenang mengatur urusan umat ? Bukan Zaid, bukan Bakar bukan Umar yang merupakan pemimpin kelompok tertentu, atau ketua sekte tertentu, atau pentolan jamaah tertentu. Urusan ini merupakan kekhususan ulil amri yang telah dibai’at oleh kaum muslimin. Orang seperti inilah yang wajib mengetahui perpolitikan, realita serta kepengurusannya. Apabila kaum muslimin hari ini tidak bersatu seperti kondisi kita hari ini, maka yang mempelajari politik adalah masing-masing penguasa di wilayahnya masing-masing.
Adapun jika kita ini menyibukkan diri dengan sesuatu yang seandainya anggap saja kita mengetahuinya dengan baik, hal itu tidak akan memberi manfaat bagi kita. Karena kita bukan pihak yang memiliki wewenang mengatur, kita tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan urusan umat, ini saja sudah cukup untuk dikatakan sebagai hal yang sia-sia tidak ada manfaatnya sama sekali”. (Ma’alim Manhajis Salafy Fit Taghyir : 35).
Adapun kriteria pemimpin yang baik sudah tuntas dijelaskan oleh para ulama di kitab-kitab mereka yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengusung tema siyasah syar’iyyah. Seandainya kita menyibukkan diri mempelajari syariat untuk memperbaiki diri kita, niscaya kita akan mengetahui kriteria pemimpin yang baik dalam sudut pandang syariat.
Adapun mengenai hukum pemilu, ahlis sunnah berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya seorang muslim ikut serta dalam pemilu dengan menggunakan hak pilihnya. Namun mereka bersepakat akan haramnya terjun ke kancah politik yang penuh dengan intrik licik serta tipu daya setan.
Berapa ribu orang yang konon katanya memperjuangkan islam melalui jalur politik namun kini lantangnya suara mereka hilang entah kemana. Dan hendaknya kita faham bahwa kemenangan pemilu bukan berarti kemangan islam. Sejarah mencatat kaum muslimin di Al-Jazair dengan partai FIS nya pernah menang pemilu dengan angka telak, namun itu tidak lantas menjadi jalan mulus bagi kaum muslimin meraih kejayaan karena yang ada air mata dan banjir darah yang justru menimpa kaum muslimin.
Dan di sini kami akan sampaikan opsi ketiga bahwa jalan untuk memperbaiki perpolitikan di negri kita, untuk memperbaiki keterpurukan yang dialami kaum muslimin adalah dengan kembali kepada ajaran islam yang murni. Dengan mempelajarinya, mengamalkannya, kemudian mendakwahkannya kepada orang lain. Dimulai dari diri sendiri, keluarga terdekat dan orang-orang disekitar kita. Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad : 7).
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara Al-‘Inah dan kalian telah ridha dengan perkebunan, dan kalian telah mengambil ekor-ekor sapi dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”. (HR. Abu Daud dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah : 11).
Maka jalan kejayaan dan kemenangan itu jika kaum muslimin kembali kepada agamanya. Keliru besar jika orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk mempelajari islam, mengamalkannya serta mendakwahkannya siang dan malam lantas divonis sebagai orang yang cuek terhadap nasib kaum muslimin.
Di sisi lain orang yang pekerjaannya mencermati perkembangan perpolitikan dengan segala intrik licik di dalamnya lantas dianggap sebagai pahlawan yang menyelamatkan nasib bangsa. Ini adalah cara berlogika yang aneh lagi lucu.
Justru para ulama’ lah beserta orang-orang yang mengikuti metode mereka adalah orang yang paling memiliki kepedulian terhadap nasib kaum muslimin. Menyelamatkan mereka dari jurang kesyirikan menuju kepada cahaya tauhid, menyeru manusia agar kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika agama Allah tegak, syariat diamalkan oleh kaum muslimin, Allah berjanji akan mencabut segala kehinaan yang dialami kaum muslimin dengan cara Allah sendiri. Wallahu a’lam.
Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Abul Aswad Al Bayati
Referensi: https://bimbinganislam.com/sikap-politik-ahlusunnah/