1. Pengertian Wakaf
Wakaf secara bahasa bermakna menahan atau mencegah. Adapun secara istilah syar’I bermakna,
حبس المملوك وتسبيل منفعته مع بقاء عينه ودوام الانتفاع به
“Menahan/mencegah aset kepemilikan dan membuka pemanfaatannnya (di jalan Allah), disertai tetapnya harta tersebut dan bisa dimanfaatkan secara terus menerus.” (lihat; http://cp.alukah.net/sharia/0/71270/)
Dalam pengertian lain wakaf berarti menahan bentuk pokok dan menjadikannya untuk fii sabilillah sebagai bentuk qurbah (pendekatan diri pada Allah). (Lihat Minhatul Al-‘Allam, 7/5)
– Wakaf Produktif
Wakaf tidak melulu benda tidak bergerak. Bisa saja wakaf produktif atau wakaf tunai. Menurut Departemen agama Indonesia, Wakaf produktif adalah sebuah skema pengelolaan donasi wakaf dari umat, yaitu dengan memproduktifkan donasi tersebut, hingga mampu menghasilkan surplus yang berkelanjutan. Donasi wakaf dapat berupa benda bergerak, seperti uang dan logam mulia, maupun benda tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Surplus wakaf produktif inilah yang menjadi sumber dana abadi bagi pembiayaan kebutuhan umat, seperti pembiayaan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang berkualitas. (lihat Depag RI: 2008)
Selama ini, masyarakat cenderung menyalurkan wakaf melalui aset tidak bergerak (wakaf sosial). Padahal, ada yang namanya wakaf produktif atau wakaf tunai (uang) sangat memiliki peran bukan hanya kebermanfaatan pada masyarakat, melainkan juga mengembangkan surplus investasi wakaf. (lihat Badan wakaf Indonesia (BWI): 2020).
2. Dalil Wakaf Dalam Al Qur’an Dan Al Hadits
Secara umum kata wakaf masuk dalam kerangka istilah sedekah, khususnya sedekah yang bersifat permanen atau dalam jangka waktu panjang untuk mendekatakan diri kepada Allah Ta’ala.
a. Dalil Dalam Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali-‘Imran: 92)
Juga Firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)
Firman Allah Ta’ala dalam ayat yang lain,
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nya-lah kalian dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Dan ayat-ayat lainnya.
b. Dalil dari hadits Nabi
Dari sahabat mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang shalih” (HR. Muslim no. 1631)
sedekah jariyah dalam hadits di atas adalah amalan yang terus bersambung manfaatnya. Seperti wakaf tetap, semisal rumah permanen, tanah, kitab, dan mushaf Al-Qur’an. Inilah alasannya kenapa Al hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani memasukkan hadits ini dalam bahasan wakaf dalam kitab Bulughul Maram. Karena para ulama menafsirkan sedekah jariyah dengan wakaf.
Para ulama di zaman ini, semisal Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata dalam kitabnya ‘Minhatul Al ‘Allam’, “Hadits ini jadi dalil akan sahnya wakaf dan pahalanya yang besar di sisi Allah ‘Azza Wa Jalla’. Di mana wakaf tersebut tetap manfaatnya dan langgeng pahalanya. Contoh, wakaf tanah, kitab, dan mushaf yang terus bisa dimanfaatkan. Selama benda-benda tadi ada, lalu dimanfaatkan, maka akan terus mengalir pahalanya pada seorang hamba.” (lihat kitab Minhatul Al-‘Allam, 7/11)
Menurut Shan’ani rahimahullah (penulis kitab subulus salam), wakaf pertama dalam Islam adalah wakaf dari ‘Umar bin Al-Khattab sebagaimana nanti akan disebutkan haditsnya yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Kaum Muhajirun berkata, “Wakaf pertama dalam Islam adalah wakaf dari Umar Bin Khathab.” (lihat kitab Subul As-Salam, 5/226).
3. Perbedaan Pandangan Para Ulama
Para ulama sepakat bahwa wakaf itu berupa harta yang memiliki manfaat, dan fisiknya bisa dipertahankan, artinya bersifat permanen dan berpola [تمكُّثٍ في شيءٍ] yang artinya bertahan dalam kondisi tertentu. (lihat Mu’jam Maqayis Lughah, 6/135).
Berangkat dari hal ini mereka berbeda pandangan tentang keabsahan hukum wakaf produktif atau wakaf tunai atau wakaf uang.
a. Pendapat pertama mengatakan tidak sah.
Ini pendapat Ibnu Syas dan Ibnul Hajib dari kalangan Malikiyyah, salah satu pendapat yang diakui dalam madzhab Syafi’iyyah, pendapat yang masyhur di kalangan hambali dan konsekuensi dari pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf, karena mereka melarang wakaf barang yang mudah berubah wujud.
Mereka beralasan bahwa wakaf disyaratkan hartanya harus ta’bid, artinya harta itu permanen dan tidak habis pakai. Sementara dalam wakaf uang tunai, harta wakaf tersebut habis dan terpakai.
Alasan kedua, bahwa seperti ini juga yang menjadi kebiasaan wakaf para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan,
لا أعرف الوقف في المال، إنما الوقف في الدور والأرضين على ما وقف أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم -، قال: ولا أعرف وقف المال البتة
“Saya tidak mengetahui adanya wakaf dengan uang. Wakaf adanya dalam bentuk rumah atau tanah, sebagaimana wakaf para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.” Beliau mengatakan, “Saya tidak mengetahui wakaf dalam bentuk uang sama sekali.” (al-Jami’ li Ulum Imam Ahmad, 2/495).
b. Pendapat kedua mengatakan sah.
Ini pendapat Malikiyyah, salah satu pendapat di madzhab Syafi’iyyah dan satu riwayat madzhab Hanabilah yang dinilai kuat oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, serta pendapat Muhammad bin Hasan dari kalangan Hanafiyyah karena beliau membolehkan wakaf manqulaat (barang yang mudah berubah wujud).
Mereka beralasan bahwa wakaf uang juga bisa dibuat permanen. Bisa dengan cara dialihkan menjadi benda yang permanen. Seperti untuk beli al-Quran, atau kitab atau bagian kecil dari bangunan masjid.
Bisa juga uang itu dikumpulkan, kemudian digunakan pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah. Baik bentuknya utang atau permodalan dengan bagi hasil ringan. Sehingga bendanya utuh, dan manfaatnya yang digunakan.
Ibnu Abidin (ulama hanafi) rahimahullah mengatakan,
وإن الدراهم لا تتعين بالتعيين، فهي وإن كانت لا ينتفع بها مع بقاء عينها لكن بدلها قائم مقامها لعدم تعينها، فكأنها باقية ولا شك في كونها من المنقول
“Dinar tidak mungkin tetap, maka walaupun ia tidak bisa dimanfaatkan dengan cara mempertahankan zatnya, akan tetapi penggantinya (badal) menempati posisinya, karena dia tidak bisa dipertahankan. Seolah dia tetap. Dan semua tahu bahwa uang termasuk barang mudah berubah.” (Hasyiah Ibnu Abdin, 4/364). (lihat pembahasan lengkap dalam artikel ilmiyah, في وقف النقود (Dalam Zakat Uang), sumber; https://www.alukah.net/sharia/0/53279/)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,
فالصواب أنه يجوز وقف الشيء الذي لا ينتفع به إلا بتلفه، فإذا قال: هذا الجراب من التمر وقف على الفقراء، قلنا: جزاك الله خيراً، وقبل منك، وهو بمنزلة الصدقة
Yang benar, boleh wakaf benda yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya. Jika ada orang menyerahkan, ‘Ini seember kurma wakaf untuk orang fakir.’ Kita jawab, Jazakallah khoiran.” Diterima, dan statusnya sebegaimana kedudukan sedekah.
Selanjutnya Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan wakaf dalam bentuk uang untuk dipinjamkan kepada orang yang membutuhkan. Sehingga uang itu bisa berputar di tangah orang yang tidak mampu, sementara jumlahnya utuh. (lihat Syarhul al-Mumti’, 11/18)
Pendapat ini juga dipilih oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang mendorong untuk berwakaf produktif yang terukur dan terarah untuk kemaslahatan kaum muslimin. (BWI: 2020).
Dari sisi hukum qiyas pendapat ini (keabsahan wakaf produktif) juga lebih kuat, sebagaimana wakaf untuk alat perang, kendaraan, hewan yang bisa habis dan sifat permanennya berkurang, serta bisa dipindahkan, sebagaimana wakaf uang bisa bersifat pinjaman, dan pokok uangnya tetap ada (tidak hilang) secara makna, karena akan dikembalikan menjadi wakaf uang dan nilainya tetap, bahkan bisa bertambah nilainya untuk modal usaha dan investasi yang benar dan terarah/terukur, Dan hal ini tentunya bermanfaat bagi umat dan negara.
Pendapat ini juga yang menjadi keputusan Majma’ al Fiqh al-Islamy ad-Dauly (Perkumpulan Ahli Fikih Dunia kontemporer), no. 140 tahun 2004,
وقف النقود جائز شرعاً، لأن المقصد الشرعي من الوقف وهو حبس الأصل وتسبيل المنفعة متحقق فيها ؛ ولأن النقود لا تتعين بالتعيين وإنما تقوم أبدالها مقامها.
“Wakaf uang tunai boleh secara syariat, karena tujuan syariat dalam wakaf bisa diwujudkan, yaitu ‘mempertahankan harta pokok dan mendayagunakan manfaatnya’. Dan keberadaan uang tunai tidak tetap zatnya, namun dijadikan benda lain yang menggantikan posisinya.
يجوز وقف النقود للقرض الحسن، وللاستثمار إما بطريق مباشر، أو بمشاركة عدد من الواقفين في صندوق واحد، أو عن طريق إصدار أسهم نقدية وقفية تشجيعاً على الوقف، وتحقيقاً للمشاركة الجماعية فيه
Boleh wakaf dalam bentuk uang untuk diberikan dalam bentuk utang (al-Qardh al-Hasan), atau diinvestasikan, baik secara langsung atau melalui kerja sama sejumlah pemberi wakaf, di kotak donasi yang sama. Atau dengan menerbitkan saham tunai untuk wakaf sebagai motivasi untuk wakaf, dan mewujudkan kerja sama masyarakat di dalamnya. (lihat Sumber: http://www.iifa-aifi.org/2157).
4. Rukun Wakaf
Secara Umum, para Ulama rahimahumullah menjelaskan bahwa rukun wakaf itu ada empat, yaitu:
a. Rukun pertama, waqif (orang yang berwakaf), yaitu seseorang yang merdeka, memiliki harta yang diwakafkan, berakal sehat, baligh, dan rasyid (baik dalam membelanjakan hartanya), dan sukarela (tidak dipaksa) dalam berwakaf.
b. Rukun kedua, obyek yang yang diwakafkan (mauquf), yaitu harta tertentu (‘ain) yang mubah pemanfaatannya, dimiliki oleh waqif tatkala mewakafkan, diketahui dengan jelas ketika diwakafkan, pemanfaatannya tahan lama, tidak boleh dimiliki, tidak boleh diwariskan, tidak boleh dijual, dan tidak boleh diberikan, karena kepemilikannya telah kembali kepada Allah Ta’ala.
c. Rukun ketiga, pihak yang berhak menerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih), yaitu:
– Sifat Mu’ayyan (orang tertentu, seorang atau lebih, yaitu sekolompok tertentu yang masih bisa dibatasi). Contoh: untuk kemaslahatan anak-anak waqif dan kerabatnya. Dan ini jenis wakafnya disebut wakaf ahli (dzurri/dzurriyah).
– Sifat Ghairu mu’ayyan (untuk kemaslahatan umum yang tidak bisa dibatasi). Contoh mushaf Al-Qur’an Al-Karim untuk kaum muslimin, ulama, para ustadz, masjid, rumah sakit, sumur, sekolah, orang-orang faqir miskin. Dan ini jenis wakafnya disebut wakaf khairi/khairiyyah.
d. Rukun keempat, sighot (ungkapan akad wakaf), yaitu sebuah ucapan atau perbuatan (yang sesuai dengan adat setempat), dengan itu waqif mewajibkan akad wakaf atas dirinya.
Jumhur ulama menyatakan bahwa sekedar ucapan mewakafkan sesuatu, atau tindakan mencegah suatu aset dari dimiliki yang diiringi dengan niat wakaf, maka ini menyebabkan wakaf berlaku seketika itu juga.
Sebagian ulama ada yang menambahkan rukun kelima, yaitu:
e. Rukun kelima, nazhir (pengurus wakaf), disyaratkan nazhir seorang yang amanah, jujur, dan memiliki pengalaman serta kemampuan mengurus wakaf dan kemaslahatannya. (lihat artikel lengkap dari Ust. Sa’id Abu Ukasyah, sumber https://muslim.or.id/58835-wakaf-amalan-para-sahabat-radhiyallahuanhum-1.html)
5. Siapakah yang boleh memanfaatkan harta wakaf?
Dalil dari permasalahan ini adalah hadits ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tentang wakaf bapaknya. Beliau berkisah bahwa ayahnya Umar bin Khatab radhiallahu ‘anhuma, mendapatkan jatah bagian kebun di Khaibar. Beliaupun melaporkan hal ini kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Ya Rasulullah, saya mendapatkan kebun di Khaibar. Saya tidak memiliki harta yang lebih berharga dari pada itu. Apa yang anda perintahkan untukku?”
Saran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا
“Jika mau, kamu bisa wakafkan, mempertahankan kebun itu, dan hasilnya kamu sedekahkan.”
فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ ، فِى الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَلاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ ، أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ
Lalu Umar mewakafkan tanahnya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, tidak boleh dihadiahkan, dan tidak boleh diwarisi. Hasil dari pohon tersebut disedekahkan kepada kaum fakir, kerabat-kerabat, budak-budak, orang-orang yang membela agama Allah, tamu, dan musafir yang kehabisan bekal. Namun tidak masalah bagi pengurus wakaf untuk memakan hasilnya dengan baik dan memberi makan teman-temannya yang tidak memiliki harta (asalkan bukan menimbun harta). (HR. Bukhari, no. 2772; dan Muslim, no. 1632).
a. Fakir Miskin
Maksudnya fakir miskin atau anak yatimpun berhak memanfaatkan hasil wakaf , utamanya bila wakif mewakafkan untuk mereka, karena hadits diatas mengatakan : وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ ”Lalu Umar menyedekahkan hasilnya untuk diberikan kepada kaum fakir”.
b. Keluarga atau anak
Jika pewakaf mewakafkan untuk keluarga, maka keluarga boleh mengambil hasil wakaf, karena hadist di atas menerangkan: وَفِي الْقُرْبَى “ dan untuk keluarga”.
c. Fi sabilillah
Maksudnya untuk orang yang jihad atau berperang untuk menegakkan dinul Islam dengan membelikan alat perang, atau untuk menafkahi para pengajar din Islam, untuk sarana pendidikan Islam dan semisalnya, karena hadits di atas menyebutkan: “Dan untuk fi sabililla وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ atau Dakwah meninggikan kalimat (agama) Allah Ta’ala.
d. Tamu
Maksudnya, bila ada tamu, boleh diambilkan harta wakaf untuk menjamu tamu, apalagi mereka tamu Allah Ta’ala (orang yang berhaji atau umroh), karena disebutkan hadits di atas: وَالضَّيْفِ “untuk menjamu tamu”
e. Ibnu Sabil
Ibnu sabil disini maksudnya adalah orang yang bepergian untuk ibadah/ketaatan, atau bepergian untuk hal yang mubah, atau penuntut ilmu din. Mereka membutuhkan bantuan karena terputus bekalnya. Mereka boleh menerima bantuan hasil wakaf, karena hadits di atas ada kalimat: وَابْنِ السَّبِيل “dan untuk ibn Sabil”
f. Pengurus Harta Wakaf (Nazhir)
Tentunya pengurus harta wakaf tidaklah mengambil hasil wakaf, melainkan sesuai dengan pekerjaannya dan kerja kerasnya dengan didasari takut kepada Allah Ta’ala. Hadits di atas menyebutkan :
لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
Yang mengurusinya tidak mengapa bila dia makan sebagian hasilnya dan memberi makan yang lain, asalkan bukan untuk menimbun harta.
g. Orang kaya,
Maksudnya Orang kaya boleh makan dari harta wakaf seperti sebagai pengurus atau sebagai tamu. Namun yang jelas harta wakaf tersebut tidak boleh dijadikan milik. Imam Bukhari rahimahullah menulis “Bab Waqaf Diperuntukkan Orang Kaya dan Miskin dan Tamu” berdalil dengan hadits Umar ini.
h. Pewakaf
Orang yang berwakaf boleh mengambil sebagian hasil wakafnya, bila di dalam wakaf ia mensyaratkan dirinya mengambil sebagian hasil harta wakafnya. Singkatnya karena wakaf itu menahan pokoknya dan menyedekahkan hasilnya. Misal wakaf berupa tanah, berarti tanah tetap ditahan/wakaf, sedangkan pemanfaatannya itu yang disedekahkan. Dan pewakaf boleh makan atau mengambil hasil dari tanah wakaf ini.
Karena berdasarkan hadits yang umum, dari sahabat mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang bershadaqoh. Lalu ada orang laki-laki berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدِي دِينَارٌ فَقَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ أَوْ قَالَ زَوْجِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ أَنْتَ أَبْصَرُ
Wahai, Rasulullah. Saya memiliki dinar,” Beliau berkata: ”Shadaqohkan untuk dirimu.” Dia berkata,”Saya memiliki yang lain.” Beliau bersabda,”Shadaqohkan untuk anakmu.” Dia berkata,”Saya memiliki yang lain.” Beliau bersabda,”Shadaqohkan untuk istrimu.” Dia berkata,”Saya memiliki yang lain.” Beliau bersabda,”Shadaqohkan untuk pelayanmu.” Dia berkata,”Saya memiliki yang lain.” Beliau bersabda,”Engkau yang lebih tahu.” (HR. Abu Daud, no. 1691, dihukumi derajat haditsnya sebagai hadits hasan oleh ahli hadits Albani).
Semua ini dengan catatan yang jelas “bukan untuk menimbun harta, tapi berdasarkan kebutuhan secara patut.” Petunjuk praktisnya sesuai ‘urf atau kembali kepada peraturan pemerintah/hakim untuk menghindari sengketa. Maka sejak awal boleh bagi pewakaf menentukan persentase hasil harta wakaf untuk dirinya (karena inilah harta yang dia punya), saya wakafkan tanah ini, dengan syarat 50 persen (%) manfaat hasilnya untukku dan kelurgaku dan anak keturunan. Status Tanahnya tetap wakaf (tidak boleh diwarisi, tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan), tapi hasil manfaat tanahnya boleh diwarisi pada anak keturunan.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Penyusun; Fadly Gugul