Merupakan salah satu bentuk kepedulian dan pertolongan yang diperintahkan dalam syariat agama kita adalah untuk menolong sesama kaum muslimin. Pertolongan itu tidak mesti berwujud materi atau fisik, tapi juga pertolongan dalam bentuk lain agar seseorang berhenti dari kedzoliman atau jangan sampai tercebur dalam kemungkaran. Dalam suatu redaksi hadist, Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا

“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi.”

فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا ، أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ ( تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ)

Kemudian ada seseorang bertanya: wahai rasulullah, saya akan menolongnya jika ia terdzolimi, namun jika dia adalah justru orang yang dzalim, bagaimana cara saya menolongnya? Beliau menjawab, “Kamu cegah dia dari berbuat zalim, maka sesungguhnya engkau telah menolongnya.” (HR. Bukhari, no. 6952; Muslim, no. 2584)

Nah, teman-teman sekalian, terkadang dalam kehidupan sehari-hari kita, sering muncul perilaku atau statemen dan pernyataan yang kita ungkapkan kepada khalayak ramai, baik secara langsung maupun via media sosial, secara lisan maupun tulisan. Terkadang dari itu semua ada hal-hal yang sulit dicerna oleh lawan bicara, atau agak sukar dipahami oleh pihak kedua.

Atau mungkin ketika kita mengunggah foto kita di media sosial, misalnya berdampingan dengan seseorang yang butuh adanya penjelasan, Itu semua, baik statemen ataupun foto, terkadang jika tidak dibarengi dengan penjelasan dan klarifikasi yang gamblang, seringnya justru akan mengundang prasangka negatif (suu dzon) dari pihak-pihak yang sulit untuk memahami, atau pihak-pihak yang sedari awal mempunyai ketidak cocokan kepada kita.

Hal-hal demikian walaupun terlihat sepele, dan toh misalnya mereka berprasangka buruk pada kita, itu kan sejatinya salah mereka sendiri, bukan urusan kita, kekeliruan mereka berbuat begitu, harusnya mereka lebih mengedepankan positif thinking daripada sebaliknya.

Statemen di atas ada benarnya, namun jika kita bisa lebih meminimalisir agar tidak melakukan hal-hal yang menarik prasangka buruk orang lain, tentunya hal tersebut akan lebih baik dan justru bisa bernilai pahala jika kita mempunyai niat untuk menolong saudara kita agar tidak tercebur dalam kedzoliman. Ada satu kisah cerita yang disampaikan oleh Ummul mukminin Shofiyyah -rodiyallahu anha- yang kita bisa ambil pelajarannya:

عَنْ صَفِيَّةَ ابْنَةِ حُيَىٍّ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مُعْتَكِفًا ، فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلاً فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ ، فَانْقَلَبْتُ فَقَامَ مَعِى لِيَقْلِبَنِى . وَكَانَ مَسْكَنُهَا فِى دَارِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ ، فَمَرَّ رَجُلاَنِ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَلَمَّا رَأَيَا النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَسْرَعَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَىٍّ » . فَقَالاَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِى مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ ، وَإِنِّى خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِى قُلُوبِكُمَا سُوءًا – أَوْ قَالَ – شَيْئًا »

Dari Shofiyah binti Huyay, ia berkata, “Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang beri’tikaf, lalu aku mendatangi beliau. Aku mengunjunginya di malam hari. Aku pun bercakap-cakap dengannya. Kemudian aku ingin pulang dan beliau berdiri lalu mengantarku. Kala itu rumah Shofiyah di tempat Usamah bin Zaid. Tiba-tiba ada dua orang Anshar lewat. Ketika keduanya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mempercepat langkah kakinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Pelan-pelanlah, sesungguhnya wanita itu adalah Shofiyah binti Huyay.” Keduanya berkata, “Subhanallah, wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan menyusup dalam diri manusia melalui aliran darah. Aku khawatir sekiranya setan itu menyusupkan kejelekan dalam hati kalian berdua.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 3281 dan Muslim no. 2175).

Dari hadist di atas, biasanya para ulama mengambil faidah mengenai bolehnya seseorang yang beriktikaf di masjid untuk dikunjungi oleh istrinya, dan bolehnya bagi keduanya untuk berbincang-bincang satu sama lain, juga bolehnya suami mengantar kepulangan istri yang penting tidak sampai keluar dari masjid.

Namun dalam hadist itu juga terkandung beberapa faidah terkait masalah munculnya prasangka buruk kepada pihak lain, diantara faidah tersebut:

1. Adanya tipu daya yang dihembuskan oleh syetan yang membisikkan kepada manusia untuk berprasangka buruk, dan syetan menyusup dalam diri manusia melalui aliran darahnya.

2. Hadist itu juga mengarahkan kita agar menjaga diri dari berprasangka jelek pada orang lain. Hendaknya yang mesti dikedepankan terhadap saudara muslim adalah memberikan uzur dan berpikiran positif, bukan mengedepankan sangkaan buruk.

3. Jika seseorang melakukan suatu hal yang bisa dikira orang lain sebagai suatu kemungkaran, maka hendaklah ia beri penjelasan agar orang lain terhindar dari sikap suuzhon (berprasangka jelek).

Nah, ini yang dilakukan oleh Rasul sallallahu alaihi wa sallam, ketika beliau mengkhawatirkan jangan sampai dua sahabat tadi menganggap beliau sedang berbicara dengan perempuan ajnabi (bukan mahram), maka beliau segera menjelaskan dan mengklarifikasi, bahwa wanita yang sedang berbincang dengan beliau adalah Shofiyyah, istri beliau sendiri, ini dalam rangka untuk menepis kemungkinan kedua sahabat tersebut berprasangka buruk kepada Nabi, walaupun sejatinya hal tersebut tidak akan terjadi dari diri para sahabat.

Nah, sedikit faidah dari kisah di atas, kita bisa mengambil pelajaran diantaranya adalah berusaha memberikan penjelasan dan klarifikasi kepada orang lain jika dirasa statemen kita atau gerak-gerik kita mengandung ambiguitas, sehingga tidak dipahami keliru atau negatif oleh pihak lain. Dengan kita memberikan penjelasan gamblang, maka di situ kita telah menyelamatkan orang lain dari prasangka buruk. Wallahu a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله