Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Musim natal, orang mulai berhamburan berhias lambang nasrani. Tidak hanya mereka yang beragama nasrani, termasuk orang-orang islam yang kurang perhatian dengan agama, turut menyandang atribut agama pastur itu. Umumnya berasalan, toleransi antar umat beragama.

Kita tidak tahu, apakah ini makna tolerasi yang diajarkan di dunia pendidikan di tempat kita, atau karena keberhasilan konspirasi non muslim terhadap umat islam. Yang jelas, kondisi semacam ini menandakan betapa kaum muslimin telah berubah menjadi umat tanpa jati diri. Sampai atribut agama lainpun dia banggakan.

Barangkali inilah kejadian yang telah diingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kondisi umat islam di akhir zaman. Mereka menjadi manusia yang labil dan mudah membeo umat lain.

Dari Abu Said al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ » . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ »

Sungguh kalian (umat islam) akan mengikuti kaum sebelum kalian, sama persis seperti jengkal kanan dengan jengkal kiri atau seperti hasta kanan dengan hasta kiri. Hingga andai mereka masuk ke lubang biawak gurun, kalianpun akan mengikuti mereka.

Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah yang anda maksud orang yahudi dan nasranni?’

Jawab beliau, “Siapa lagi (kalau bukan mereka).”

(HR. Bukhari 7320 & Muslim 6952).

Makna Toleransi
Saya kira, semua yang pernah belajar pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) memahami bahwa makna tolerasi bukanlah mengikuti ajaran agama lain. Bukan pula memasang atribut agama lain, yang bukan agamanya. Karena kita semua paham, memasang atribut agama lain, tak ubahnya membanggakan simbol agama itu, dan itu bagian dari bentuk turut serta terhadap peribadatan agama lain.

Dalam KBBI, sikap toleran diterjemahkan sebagai sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yg berbeda atau bertentangan dng pendirian sendiri.

Kita memberikan toleransi agama lain, berarti kita membiarkan penganut agama lain untuk menjalankan aktivitas agama mereka.

Perez (2003), dalam bukunya How the Idea of Religious Toleration Came to the West memberi batas toleransi sebagai sikap menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda.

Baik, kita tidak akan memperpanjang kajian masalah definisi. Kita sudah menemukan inti makna toleransi, yaitu membiarkan, menghormati dan tidak mengganggu penganut agama lain.

Jika kita memahami ini, kita bisa memahami, sebenarnya siapakah penganut agama yang paling toleran di Indonesia?.

Di bali, muslimah dilarang berjilbab. Lembaga keuangan syariah digugat keberadaannya. Karyawan muslim, kurang mendapatkan kebebasan dalam beribadah. Inikah sikap toleran??

Di kupang, NTT, keberadaan masjid digugat. Untuk mendirikan masjid baru, prosedurnya sangat dipersulit.

Di daerah muslim minoritas, orang islam sering mejadi ‘korban’ penganut agama lain. Inikah tolerasi?

Mereka memaksa kaum muslimin untuk toleransi, di saat yang sama, mereka meluapkan sikap sentimen terhadap islam.

Mereka mengajak kita untuk mengenakan topi santa, pasang pohon natal, bagi-bagi ucapan selamat natal, sementara di saat yang sama, mereka mengajak kita melepaskan atribut islam.

Bahaya Tasyabbuh
Andai tidak ada konsekuensi buruk terhadap perbuatan semacam ini, mungkin masalahnya lebih ringan. Namun kenyataannya tidak demikian, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi ancaman bagi orang yang tasyabuh (meniru) tradisi agama lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من تشبه بقوم فهو منهم

“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Daud 4033 dan dishahihkan al-Albani).

Sahabat Abdullah bin Amr bin Ash Radhiyallahu ‘anhuma juga mengingatkan,

من بنى بأرض المشركين وصنع نيروزهم ومهرجاناتهم وتشبه بهم حتى يموت خسر في يوم القيامة

“Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.” (HR. Baihaqi dengan sanad Jayid).

Atribut Natal, Itu Doktrin Agama
Hari raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Termasuk semua simbol dan atribut yang digunakan untuk memeriahkannya.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk madinah,

قدمت عليكم ولكم يومان تلعبون فيهما إن الله عز و جل أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر

“Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha.” (HR. Ahmad 13164, Nasa’i 1567, dan dihahihkan Syuaib al-Arnauth).

Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya terbaik: Idul Fitri dan Idul Adha.

Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits

 

Sumber: https://konsultasisyariah.com/24018-toleransi-salah-kaprah-fenomena-topi-natal.html