Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsamin
Bulan Ramadhan akan segera berlalu, hendaklah kita mengevaluasi diri kita masing-masing tentang apakah yang sudah kita perbuat pada bulan yang Mulia ini.
Bulan ini akan menjadi saksi di hari akhirat atas semua perbuatan yang telah kita lakukan padanya.
Saksi yang akan memberatkan kita atau saksi yang meringankan. Maka hendaklah kita memanfaatkan waktu yang tersisa untuk bergegas bertaubat,
memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla dan memperbanyak amal shalih.
Semoga semua kebaikan yang kita lakukan setelah menyadari berbagai kesalahan dan kekurangan,
bisa menutupi kekurangan-kekurangan yang telah kita lakukan pada hari-hari sebelumnya.
Pada awal-awal Ramadhan, siang dan malamnya penuh dengan ibadah. Siang hari diisi dengan puasa, dzikir dan membaca al-Qur’an,
sedang malam harinya dipergunakan untuk shalat dan juga baca al-Qur’an. Saat itu, kondisi kebanyakan kaum Muslimin dalam aspek ibadah,
sesuai dengan yang diharapkan. Mereka bersemangat dan sangat antusias memanfaatkan detik demi detik dalam rangka beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla.
Namun kini, hari-hari yang penuh dengan keberkahan itu akan segera berlalu meninggalkan kita, padahal masih banyak yang belum termanfaatkan dengan maksimal.
Kita berharap dan berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla, semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan kemampuan kepada kita semua untuk memaksimalkan waktu yang tersisa
dalam meraih ridha Allâh Azza wa Jalla. Semoga kita bisa mengakhiri Ramadhan ini dengan meraih ampunan dari Allâh Azza wa Jalla atas semua dosa yang telah kita perbuat,
baik dosa yang kita sadari maupun dosa yang tidak kita sadari. Kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar berkenan menerima semua amal ibadah kita,
terbebas dari api neraka, beruntung dengan bisa meraih surga dan semoga Allâh Azza wa Jalla mempertemukan kita kembali dengan
Ramadhan tahun berikutnya dalam keadaan yang lebih baik. Mengakhiri bulan Ramadhan yang penuh berkah ini,
Allâh Azza wa Jalla mensyari’atkan kepada kita beberapa ibadah agung yang bisa menambah keimanan kita kepada Allâh Azza wa Jalla dan
bisa menyempurnakan ibadah kita serta bisa semakin melengkapi nikmat Allâh Azza wa Jalla kepada kita.
Ibadah-ibadah terebut adalah Zakat Fithri, Takbîr pada malam Îd dan Shalat Îd. Zakat Fithri diwajibkan atas setiap kaum Muslimin.
Zakat Fithri ditunaikan dengan mengeluarkan satu Sha’ (kurang lebih 3 kg) bahan makanan pokok, sebagai pembersih bagi orang yang
melaksanakan ibadah puasa dan sebagai bahan makanan bagi orang-orang miskin.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat Fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji,
dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin.
[1] Karena zakat Fithri ini merupakan kewajiban kita semua, maka hendaklah kita melaksanakannya dengan benar dalam rangka mentaati perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Hendaklah kita mengeluarkan zakat untuk diri kita dan orang-orang yang berada dalam tanggungan kita.
Hendaklah kita memilih bahan makanan pokok yang terbaik yang kita mampu dan yang paling bermanfaat, karena zakat ini hanya satu sha’ dalam setahun.
Dan dikarenakan juga tidak ada seorang pun di dunia ini yang tahu dan bisa menjamin bahwa dia akan bisa melaksanakan zakat ini lagi pada tahun yang akan datang.
Apakah kita mau dan rela berbuat bakhil untuk diri kita sendiri yaitu dengan mengeluarkan zakat dari bahan makan pokok yang jelek atau yang lebih jelek
dari yang kita makan atau yang paling jelek? Jawabannya, tentu tidak. Marilah kita berantusias untuk menunaikan ibadah zakat ini
dengan benar sebagaimana yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat Radhiyallahu anhum.
Janganlah kita menunaikannya dengan membayarkan atau mengeluarkan uang sebagai ganti dari bahan makanan pokok,
karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat setelah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
padahal saat itu alat tukar yang sejenis dengan uang sudah ada, namun mereka tidak membayar zakat Fithri mereka dengan dinar dan dirham yang mereka miliki.
Ini menunjukkan hal itu tidak disyari’atkan. Barangsiapa menunaikan zakat ini dengan menggunakan uang sebagai ganti dari bahan makanan pokok,
maka ibadah zakatnya dikhawatirkan tidak diterima oleh Allâh Azza wa Jalla, karena menyelisihi apa yang diwajibkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hendaklah kita menunaikan zakat Fithri dan memberikannya kepada orang-orang miskin sekitar kita, terutama kepada orang-orang miskin
yang masih ada hubungan kekeluargaan dengan kita sementara dia tidak termasuk orang-orang yang wajib kita nafkahi.
Tidak apa-apa, jika satu orang miskin diberi dua zakat Fithri atau lebih atau sebaliknya satu zakat Fithri dibagikan kepada dua orang miskin. Berdasarkan ini,
jika ada satu keluarga yang mengumpulkan zakat Fithri mereka lalu diberikan kepada satu orang miskin, maka itu tidak apa-apa.
Jika zakat yang kita berikan itu dipergunakan lagi oleh si penerima zakat untuk membayar zakat dirinya dan keluarganya,
maka itu juga tidak apa-apa. Tunaikanlah zakat Fithri pada hari raya sebelum shalat karena itu yang terbaik.
Namun diperbolehkan juga mengeluarkan zakat Fithri sehari atau dua hari sebelum hari raya.
Juga tidak boleh menunda zakat Fithri sampai setelah shalat hari raya kecuali karena ada udzur syar’i, misalnya berita tentang hari raya datang mendadak dan
tidak memungkinkan dia untuk mengeluarkannya sebelum shalat, karena waktunya yang sangat singkat.
Apabila kita telah berniat hendak mengeluarkan dan menyerahkan zakat Fithri kita untuk seseorang lalu orang tersebut
tidak kunjung kita temukan sementara shalat sudah akan dilaksanakan, maka hendaknya kita memberikannya kepada orang lain.
Jangan sampai kita kehilangan waktu tersebut! Jika kita sudah berniat hendak menyerahkannya kepada orang tertentu yang kita pandang paling berhak
namun tak kunjung kita temukan orangnya, maka kita bisa meminta kepada orang lain untuk mewakili orang tersebut dan menyerahkan zakat tersebut kepada orang
yang kita maksudkan jika sudah bertemu. Ibadah kedua yaitu ibadah Takbîr.
Allâh Azza wa Jalla telah jelaskan dalam firman-Nya:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allâh atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.[Al-Baqarah/2:185]
Maka hendaklah kita bertakbir dengan mengucapkan :
اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ , لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Takbir ini diucapkan dengan suara keras oleh kaum laki-laki namun bagi kaum wanita maka takbîr ini dilakukan dengan suara perlahan.
Ibadah ketiga yaitu Shalat Îd. Dalam rangka pelaksanaan ibadah ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada para lelaki dan wanita
hingga para wanita perawan dan pingitan serta orang yang tidak memiliki kebiasaan keluar rumah untuk keluar melaksanakannya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka semua termasuk wanita yang sedang haidh diperintahkan untuk keluar
agar dapat menyaksikan kebaikan dan doanya kaum Muslimin. Para wanita yang sedang haidh ini tentu harus menjauh dari tempat shalat sehingga tidak duduk di tempat shalat ‘Îd.
Wahai kaum Muslimin! Hendaklah kita keluar semua laki dan perempuan untuk shalat hari raya dalam rangka beribadah
kepada Allâh Azza wa Jalla dan melaksankan perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berharap kebaikan dan doanya kaum Muslimin.
Berapa banyak kebaikan yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan betapa banyak doa-doa yang diijabahi (dikabulkan) oleh Allâh Azza wa Jalla kala itu.
Hendaknya para lelaki keluar dalam keadaan bersih dan memakai minyak wangi serta mengenakan pakaian terbaik mereka! Namun bagi kaum wanita,
hendaknya keluar tanpa berhias dan menggunakan wewangian. Disunnahkan, saat berangkat shalat Îd dengan berjalan kaki kecuali ada udzur
seperti tidak mampu berjalan dan tempatnya jauh.
Termasuk amalan sunnah pada hari itu juga adalah makan sebelum berangkat shalat beberapa biji kurma dalam jumlah ganjil ; tiga, lima atau lebih.
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata:
أَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari Îdul Fithri hingga makan beberapa kurma dan memakannya dengan bilangan ganjil.
[HR al-Bukhâri]
Inilah tiga ibadah yang disyari’atkan dipenghujung bulan Ramadhan. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan hidayah taufiq-Nya kepada kita semua
sehingga bisa melaksanakannya ketiga ibadah ini dengan baik dan benar.
(Diadaftasi dari ad-Dhiyâ’ul Lâmi minal Khutabil Jawâmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsamin rahimahullah 3/141-144) [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XIII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta
Footnote [1] HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827. Dihasankan oleh Syaikh al Albani
source: https://almanhaj.or.id/11741-tiga-ibadah-agung-di-penghujung-ramadhan-2.html