Beberapa tahun belakangan, kucing menjadi hewan yang sangat digandrungi oleh kaum pria maupun wanita. Bahkan sudah banyak “fansclub” yang dibentuk oleh para pecinta kucing, dan mereka rela merogoh kocek dengan nominal yang tidak sedikit untuk memanjakan dan mendandani kucing peliharaan tersebut.

Semakin banyak jenis ras kucing, menjadikan orang-orang saling bertukar hewan peliharaan tersebut, bahkan siap menyediakan uang dengan nominal tertentu demi mendapatkan ras kucing yang diidamkan.

Lalu, bagaimana syariat islam memandang fenomena tersebut? Insya Allah pada artikel kali ini, penulis berusaha mengumpulkan perkataan ulama dan mengupas hukum yang berkenaan dengan jual beli kucing.

Pendapat Para Ulama Tentang Jual Beli Kucing
Pendapat pertama : hukum jual beli kucing boleh dan penghasilannya halal. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Pendapat kedua : Jual beli kucing terlarang dan tidak sah akad tersebut.

Badruddin Al-‘Aini menukilkan pendapat ulama dalam hukum jual beli kucing, beliau berkata:

واختلف العلماء في جواز بيع الهر، فذهب قوم إلى جواز بيعه وحل ثمنه، وبه قال الجمهور، وهو قول الحسن البصري ومحمد بن سيرين والحكم وحماد ومالك وسفيان الثوري وأبي حنيفة وأصحابه والشافعي وأحمد وإسحاق. وقال ابن المنذر: وروينا عن ابن عباس أنه رخص في بيعه. قال وكرهت طائفة بيعه، روينا ذلك عن أبي هريرة وطاووس ومجاهد، وبه قال جابر بن زيد.

“Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi jual beli kucing; sebagian berpendapat boleh menjual kucing dan penghasilannya halal, ini adalah pendapat mayoritas ulama, pendapat Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Alhakam, Hammad, Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah beserta pengikutnya, Syafi’I, Ahmad dan Ishaq. Dan Ibnu Mundzir berkata: kami mendapatkan riwayat bahwa Ibnu Abbas membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan sebagian ulama mengharamkan jual beli tersebut, seperti : Abu Hurairah, Thawus, Mujahid, dan Jabir bin Zaid.” (‘Umdatul Qari : 12/60).

Permasalahan ini pada hakikatnya berporos kepada perbedaan pendapat dalam menghukumi dan memahami hadits rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Abu Zubair, beliau berkata: “Saya bertanya kepada Jabir tentang hukum jual beli anjing dan kucing, beliau menjawab:

زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ

“Nabi ﷺ melarang hal tersebut.” (HR. Muslim no. 1569).

Begitu pula dalam riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi, dari sahabat Jabir bin Abdillah beliau berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ

“Rasulullah ﷺ melarang jual beli anjing dan kucing.” (HR. Abu Dawud no. 3479 & Tirmidzi no. 1279 )

Para ulama yang berpendapat haramnya jual beli anjing dan kucing berpegang dengan zhahir larangan dua hadits di atas. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah ushul fikih bahwa larangan menunjukan keharaman perbuatan tersebut, sedangkan mayoritas ulama berbeda alasan dalam menjawab dua hadits tersebut:

Alasan pertama : Hadits tersebut lemah dan tidak bisa dijadikan dalil. Alasan ini kurang kuat, karena hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Muslim dalam kitab shahihnya, imam Nawawi berkata:

وأما ما ذكره الخطابى وأبو عمرو بن عبد البر من أن الحديث في النهي عنه ضعيف فليس كما قالا بل الحديث صحيح رواه مسلم وغيره

“Adapun apa yang dikatakan oleh Khattaby dan Ibnu Abidl Barr bahwa hadits larangan jual beli kucing adalah hadits yang dhoif, tidaklah benar. Hadits tersebut adalah hadits yang shahih diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya.” (Syarh Shahih Muslim : 10/ 234).

Alasan kedua: Larangan dalam hadits berkaitan dengan kucing yang tidak ada manfaatnya. Jika kucing tersebut memiliki manfaat seperti berguna untuk menangkap tikus, maka halal jual beli kucing. Ini kembali kepada syarat jual beli yang dijelaskan oleh para ulama, yaitu : barang yang diperjual belikan haruslah bermanfaat.

Alasan ini pun ada sisi kelemahannya, yaitu : mengkhususkan sesuatu yang bersifat umum tanpa ada landasan dalil. Kecuali ada riwayat yang shohih menujukkan bolehnya jual beli kucing, namun riwayat tersebut belum ditemukan, sehingga hadits tersebut harus dipahami tetap bersifat umum.

Alasan ketiga: Larangan pada hadits tersebut menunjukan makruh bukan haram. Tujuan rasulullah ﷺ adalah agar orang-orang terbiasa sekedar memberikan kucing sebagai hadiah, dan meminjamkannya tanpa harus ada bayaran untuk hal tersebut.
(Lihat Syarh Shahih Muslim : 10/ 233).

Alasan ini dibantah oleh Asy’Syaukani, beliau berkata:

وقيل: إنه يحمل النهي على كراهة التنزيه، وأن بيعه ليس من مكارم الأخلاق والمروءات، ولا يخفى أن هذا إخراج النهي عن معناه الحقيقي بلا مقتض.

“Ada yang berpendapat hadits tersebut dibawa kepada hukum makruh, karena jual beli kucing bukan termasuk akhlak terpuji dan bukan bagian dari marwah. Dan Jelas sekali pendapat tersebut adalah bentuk mengeluarkan larangan dari hakikatnya (haram) tanpa ada dalil.” (Nailul Authar : 5/172).

Kesimpulan

Wallahu a’lam, penulis sendiri lebih condong kepada pendapat terlarangnya jual beli kucing dan haramnya penghasilan dari jual beli tersebut, karena larangan nabi ﷺ sangat jelas dan begitu pula yang dipahami oleh Jabir bin Abdillah selaku pendengar langsung dari rasulullah ﷺ.

Penulis memandang pendapat ini lebih hati-hati, agar kita tidak terjatuh kepada perkara yang Allah ﷻ haramkan. Para ulama memberikan kaedah:

الخروج من الخلاف أولى

“Keluar dari perselisihan ulama itu lebih baik”.

Begitupula, agar kaum muslimin lebih bisa memanfaatkan hartanya untuk hal yang lebih bermanfaat, terutama mendekatkan diri kepada Allah, daripada menghabiskan banyak uang bahkan puluhan juta hanya untuk membeli kucing, padahal banyak saudara kita di sana yang susah untuk mecari sesuap nasi.

Catatan: jual beli di sini mencakup : tukar-tukaran kucing, atau perkatan: “silahkan ambil kucing ini tapi ganti uang makannya” atau perkataan yang serupa. Karena hakikat jual beli adalah tukar menukar atau mengambil sesuatu dari pihak kedua dengan syarat memberikan sesuatu yang lain.

Wallahu a’lam.

Disusun oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله

 

sumber: https://bimbinganislam.com/stop-jangan-jual-kucingmu/