Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga.

Bismillah, mohon arahannya ustadz, di era digital sekarang, kita dengan mudah banyak menjumpai dai dan penceramah lewat media sosial, sering kali kita hendak menanyakan hukum halal dan haram suatu perkara, dari dai-dai tersebut kira-kira yang seperti apa yang memenuhi kriteria untuk boleh kita mintai fatwanya?
Supaya kita tidak keliru menanyakan fatwa kepada orang yang salah. Baarakallahu fiikum.

(Disampaikan oleh Admin sahabat bimbinganislam)

 

Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Wajib Berilmu Sebelum Beramal
Salah satu hal yang menjadi kebutuhan inti seorang muslim adalah membekali diri dengan ilmu sebelum berucap dan beramal, oleh karenanya imam Al-bukhari sampai-sampai membuat bab khusus dalam kitab beliau sohih bukhari ada bab العلم قبل القول والعمل berilmu sebelum berucap dan beramal.

Bahkan ada riwayat dari Umar bin khattab rodiyallahu anhu bahwa beliau dahulu tidak memperkenankan bagi seorang yang belum memahami hukum perniagaan (halal haramnya) untuk bergelut di dunia jual beli, dilarang berdagang di pasar, sebagaimana yang beliau sampaikan berikut:

لا يبع في سوقنا إلا من قد تفقه في الدين

“Tidak boleh berjualan di pasar kami kecuali orang yang sudah memahami ilmu agama”
(HR Tirmidzi juz: 2 hal: 357 no: 487)

Umar mempersyaratkan bagi orang yang ingin terjun dalam dunia jual beli untuk membekali dirinya dengan ilmu agama, terkhusus berkaitan dengan fiqih muamalat, agar bisa membedakan mana transaksi yang halal dan mana yang haram, ini point yang harus kita camkan bersama, bahwa sebelum berucap dan beramal, lazim bagi kita untuk membekali diri dengan ilmu dalam setiap aspek yang ada terutama berkaitan dengan perkara agama.

Dan untuk orang awam, ketika tidak mengetahui hukum suatu perkara, kewajiban yang harus ia tempuh adalah dengan bertanya kepada ahli ilmu, karena ia tidak mempunyai kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari dalil suatu amalan dengan sendirinya, maka ia dituntut untuk bertanya, sebagaimana firman Allah ta’ala:

فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
(QS Al-nahl: 43)

Dikatakan dalam Al-tafsir al-muyassar:

والآية عامة في كل مسألة من مسائل الدين، إذا لم يكن عند الإنسان علم منها أن يسأل من يعلمها من العلماء الراسخين في العلم

“Ayat ini umum mencakup setiap permasalahan yang ada dalam masalah agama, jika seseorang tidak memiliki ilmu dalam masalah tersebut, lazim (wajib) baginya untuk bertanya pada orang yang mengetahuinya dari kalangan para ulama yang kokoh keilmuannya.”
(Al-tafsir al-muyassar hal: 272)

Siapa yang Cocok Untuk Dimintai Fatwa?
Dari pemaparan ini menjadi jelas bagi kita bahwa orang awam, ketika tidak mengetahui hukum suatu masalah, kewajibannya adalah dengan bertanya kepada ulama, lantas kriteria ulama seperti apa yang cocok untuk ditanya/dimintai fatwa?

Tidak semua orang yang bisa berceramah dan berkhutbah lantas dikatakan seorang alim yang bisa dimintai fatwa perihal halal haram, ini berbeda dengan pandangan orang awam, kebanyakan mereka menilai bahwa siapa saja yang bisa naik mimbar, membawa mikrofon, menyampaikan nasehat keagamaan, kemudian dikatakan inilah yang namanya orang alim, fenomena ini yang diutarakan oleh Imam Al-suyuti rohimahullah:

فالعالم عند العوام من صعد المنبر

“Seorang alim dimata orang awam adalah siapa saja yang naik mimbar (bisa ceramah)”.
(Tahdziru al-khowash min akadzibi al-qasshas hal: 230)

Berawal dari kekeliruan menilai siapakah orang yang alim dan pantas untuk dimintai fatwa inilah kemudian mengakibatkan banyak masalah dan fitnah terjadi di tengah ummat, hal tersebut terjadi karena banyak perkara disandarkan bukan kepada ahlinya, salah satunya dalam masalah produksi fatwa, menyanyakan perkara-perkara agama bukan kepada orang-orang yang memang mempunyai kapasitas keilmuan, inilah salah satu sebab adanya kehancuran, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة

“Jika urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat!”
(HR. Bukhari no.59).

Oleh karenanya, kita harus memilih dan memilah siapa orang yang memang benar-benar pantas untuk dimintai fatwa, tidak boleh memilih secara sembarangan, dan orang yang layak ditanya tersebut adalah orang mengetahui dan menguasai dalil-dalil syari secara global dan terperinci, serta mampu untuk mengaplikasikan kaidah-kaidah ushul fiqh pada dalil-dalil yang ada, ini dipaparkan oleh syaikh Dr Sa’ad bin nashir al-syatsry berikut:

ليس كل إنسان صالحا أن يسأل، وإنما هناك شروط معينة يجب توافرها في الشخص المسؤول بأن يكون عالما بالأدلة الشرعية إجمالا وتفصيلا، قادرا على تطبيق القواعد الاصولية عليها

“Tidak setiap orang pantas untuk ditanya, namun ada syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi dalam diri seorang yang akan ditanya tentang perkara agama, yaitu seorang yang alim dengan dalil-dalil syari secara global maupun terperinci, dan mampu menerapkan kaidah-kaidah ushul fiqh dalam dalil-dalil tersebut”.
(Al-qawaid al-ushuliyyah wa al-fiqhiyyah al-muta’alliqoh bi al-muslim ghairi al-mujtahid hal:22)

Dalam paparan tersebut, syaikh Dr Sa’ad al-syatsry menegaskan, bahwa seorang yang pantas dimintai fatwa adalah orang yang terpenuhi dalam dirinya syarat ijtihad, kemudian, bagaimana caranya seorang awam bisa mengenal bahwa orang yang akan dia tanya sudah terpenuhi dalam dirinya syarat sebagai seorang mujtahid?

Para ulama memberikan arahan dengan beberapa indikasi yang mungkin bisa membantu seorang awam agar ia mampu mengenal kompetensi orang yang hendak dimintai fatwanya, sehingga memang benar-benar layak untuk ditanya, berikut beberapa tanda-tanda tersebut:

1. Si awam memang sudah mengenalnya sebelumnya dengan keilmuan mumpuni dan keadilan.

2. Si awam melihat orang tersebut didapuk sebagai mufti dan sebagai pengajar agama yang dimuliakan di sisi manusia, ini menjadi indikasi kapasitas keilmuannya dan kemampuannya untuk berfatwa, tidaklah seseorang didapuk untuk menjadi mufti melainkan ia adalah seorang mujtahid, karena orang yang belum sampai derajat ini tentulah dilarang untuk memberi fatwa.

3. Si awam diarahkan oleh orang yang adil dan penuh pengalaman bahwa orang ini cocok untuk dimintai fatwa, dan mensifatinya sebagai orang yang adil dan mampu berijtihad.

4. Telah masyhur di tengah-tengah manusia atau bahkan infonya sampai mutawatir bahwa orang ini ahli dalam memberi fatwa.

5. Banyaknya ulama yang menjadikan si fulan ini sebagai referensi dalam perkataan dan fatwa-fatwanya.

Point-point ini diambil dari kitab: Al-qawaid al-ushuliyyah wa al-fiqhiyyah al-muta’alliqoh bi al-muslim ghairi al-mujtahid hal:22

Itulah beberapa point yang perlu diperhatikan oleh seorang awam sebelum berkonsultasi dan meminta fatwa/jawaban keagamaan kepada seseorang, jika ia tidak mengenal seseorang yang akan ditanya tersebut sebagai seorang yang ahli dalam berijtihad, maka tidak layak untuk ditanya dan dimintai fatwanya, karena ketika ia bertanya kepada seorang yang bukan alim, konsekuansinya bisa mengantarkan kepada perkara yang sesat dan menyesatkan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“>ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah menanggkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan.“
(H.R Bukhari)

Semoga bermanfaat.
Wabillahi taufiq.

 

Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله

 

sumber: https://bimbinganislam.com/siapa-yang-pantas-dimintai-fatwa-di-zaman-ini/