Pertanyaan:

Izin bertanya, Ustadz apakah boleh seorang wanita meminta pisah dengan suaminya atas dasar tidak merasa bahagia karena rumah tangganya penuh dengan kesedihan dan kekecewaan karena perbuatan suami sendiri. Seperti kurang tanggung jawab dan konsisten dalam berkata dan berjanji dalam pekerjaan, mempunyai hutang banyak hingga istri terlibat di dalamnya. Dan sudah futur lagi susah diingatkan, padahal yang dilihat istri dahulu ketika mau menikah dengannya karena akhlak dan keshalihannya. Mohon solusinya ustadz. Syukron.

(Ditanyakan Oleh Santri AISHAH)

 

Jawaban:

Jika bisa mempertahankan bahtera rumah tangga agar terus berlayar dan bersabar dalam menghadapi segala ombak masalah, maka itu jauh lebih baik. Komunikasi adalah kunci bertahannya sebuah pernikahan tentu setelah ketakwaan kepada Allah.

Jika melihat kepada hadits Nabi ﷺ kita mendapati bahwa pasukan Iblis yang tinggi pangkatnya dan dekat dengan dirinya adalah yang berhasil memisahkan antara pasutri. (HR. Muslim no. 2813).

Namun, jika pernikahan tersebut membawa kepada kemaksiatan dan tidak dapat lagi dipertahankan untuk saling membantu dalam ketakwaan kepada Allah ﷻ, pada asalnya tidak ada dosa ketika istri meminta cerai. Dan hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah ﷺ ketika istri Tsabit bin Qais mendatangi beliau ﷺ seraya berkata:

يا رَسُولَ اللَّهِ، إنِّي لاَ أعْتِبُ عَلى ثابِتٍ فِي دِينٍ ولاَ خُلُقٍ، ولَكِنِّي لاَ أُطِيقُهُ

“Duhai rasulullah, aku tidaklah mencela Tsabit dari segi agama dan akhlaknya, tapi aku tak sanggup lagi bersamanya (dalam riwayat lain : aku takut mengingkari kebaikan suami).

Maka Rasulullah ﷺ pun menjawab:

فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ

“kembalikanlah kebun yang pernah ia berikan”

Shahabiyah itu pun mengembalikannya dan Rasulullah ﷺ memisahkan mereka berdua. (HR. Bukhari no. 5274).

Oleh karenanya, cobalah berkomunikasi terlebih dahulu jika perlu libatkan keluarga, semoga ada titik temu sebelum membuat keputusan untuk berpisah.

Wallahu a’lam

Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله