Apakah Bid’ah yang Anda Lakukan Adalah Kebaikan (Hasanah) yang Sudah Diketahui Oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam

oleh: Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray

Apabila jawabannya: Ya, beliau sudah mengetahui kebaikan tersebut.

Maka jawaban ini mengandung tuduhan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagai orang yang tidak amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai rasul, yaitu mengajarkan kepada umatnya seluruh kebaikan yang beliau ketahui. Karena ternyata ada kebaikan yang beliau sudah ketahui dan belum beliau ajarkan kepada umat. Inilah bahaya menganggap bid’ah sebagai ‘hasanah’

Al-Imam Malik rahimahullah berkata,

مَنِ ابْتَدَعَ فِي الْإِسْلَامِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً، زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَانَ الرِّسَالَةَ، لِأَنَّ اللَّهَ يَقُولُ: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} [المائدة: 3]، فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِينًا، فَلَا يَكُونُ الْيَوْمَ دِينًا

“Barangsiapa berbuat bid’ah dalam Islam yang ia anggap sebagai bid’ah hasanah, maka ia telah menuduh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengkhianati tugas kerasulan, karena Allah ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu” (Al-Maidah: 3) Sehingga apa yang hari itu bukan ajaran agama, maka pada hari ini juga bukan ajaran agama.” [Al-I’tishom lisy Syaathibi rahimahullah, 1/65-66]
Andai orang yang mengatakannya bermaksud demikian maka termasuk kekafiran, karena itu berarti pengingkaran terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan pengingkaran terhadap kenabian dan kerasulan beliau.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali wajib atasnya menunjukkan kepada umatnya kebaikan yang ia ketahui dan mengingatkan mereka kejelekan yang ia ketahui.” [HR. Muslim dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu’anhuma]

Ketika seseorang berkata kepada Sahabat yang Mulia Salman Al-Farisi radhiyallahu’anhu,

قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- كُلَّ شَىْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ. قَالَ فَقَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ

“Sungguh Nabi kalian –shallallahu’alaihi wa sallam- telah mengajari kalian segala sesuatu sampai cara buang hajat. Maka beliau berkata: Benar, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar atau kecil, beliau juga melarang kami membersihkan kemaluan setelah buang hajat (istinja’) dengan tangan kanan, dengan kurang dari tiga buah batu, dengan kotoran hewan atau tulang.” [HR. Muslim]

Sahabat yang mulia Abu Dzar radhiyallahu’anhu berkata,

تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا قَالَ: فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam meninggalkan kami, dalam keadaan tidaklah seekor burung kecil mengepakkan dua sayapnya di udara, kecuali beliau telah menyebutkan kepada kami ilmu tentang hal itu.” Beliau -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, “Tidak tersisa sedikit pun yang bisa mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian.” [HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 1803]

Apabila jawabannya: Tidak, beliau belum mengetahui kebaikan tersebut.

Maka jawaban ini mengandung kesombongan dan penyelisihan terhadap petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, karena kalau begitu orang yang berbuat bid’ah itu secara tidak langsung menganggap dirinya lebih baik dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, sebab ia telah mampu mengetahui dan mengamalkan satu kebaikan yang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengetahuinya dan tidak pula mengamalkannya.

Ketika seseorang berkata kepada Al-Imam Malik rahimahullah,

يَا أَبَا عبد الله من أين أحرم؟ قال: من ذي الْحُلَيْفَةِ مِنْ حَيْثُ أَحْرَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ: إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُحْرِمَ مِنَ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: لَا تَفْعَلْ، قَالَ: فَإِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُحْرِمَ مِنَ الْمَسْجِدِ مِنْ عِنْدِ الْقَبْرِ، قَالَ: لَا تَفْعَلْ، فَإِنِّي أَخْشَى عليك الفتنة، فقال وأي فتنة في هَذِهِ؟ إِنَّمَا هِيَ أَمْيَالٌ أَزِيدُهَا، قَالَ: وَأَيُّ فتنة أعظم من أن ترى أنك سبقت إِلَى فَضِيلَةٍ قَصَّرَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ إِنِّي سَمِعْتُ اللَّهَ يَقُولُ: {فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ}

“Wahai Abu Abdillah dari mana saya mulai ber-ihram? Beliau berkata: Dari Dzul Hulaifah, dari tempat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ber-ihram. Orang itu berkata: Sungguh aku ingin ber-ihram dari Masjid Nabawi. Beliau berkata: Jangan kamu lakukan. Orang itu berkata lagi: Sungguh aku ingin ber-ihram dari Masjid Nabawi. Beliau berkata: Jangan kamu lakukan, sungguh aku khawatir kamu akan tertimpa fitnah (bencana). Orang itu berkata: Fitnah apakah dalam perkara ini? Padahal aku hanyalah menambah beberapa mil saja! Beliau berkata: Fitnah apakah yang lebih besar dari engkau menganggap dirimu mampu mendahului Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk melakukan satu kebaikan yang tidak beliau lakukan?!

Sesungguhnya aku mendengar firman Allah ta’ala,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63) [Al-I’tishom lisy Syaathibi rahimahullah, 1/231-232]

Fitnah dalam ayat yang mulia ini maknanya adalah kesesatan dan puncaknya adalah kesyirikan. Inilah azab pertama yang Allah ‘azza wa jalla akan timpakan terhadap orang-orang yang menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan cara melakukan amalan yang tidak beliau contohkan, yaitu ia akan ditimpa azab pada hatinya. Kemudian disusul dengan azab yang kedua, yaitu azab yang akan ditimpakan pada fisiknya, wal’iyaadzu billaah.

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata,

الفتنة الشرك لعله إذا رد بعض قوله أن يقع في قلبه شئ من الزيغ فيهلك

“Fitnah adalah kesyirikan, bisa jadi jika ia menolak sebagian ucapan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka muncul dalam hatinya satu bentuk kesesatan, lalu membinasakannya.” [Lihat Ash-Shorim Al-Maslul (1/59) dan Taisirul ‘Azizil Hamid, hal. 483]

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Allah ta’ala memulai pertama kali (dalam ayat ini) dengan azab berupa fitnah sebelum azab yang pedih (yang akan menimpa badan), sebagai isyarat terhadap munculnya penyakit hati dan fitnah bagi hati, lebih keras dibanding azab yang pedih (yang menimpa badan) berupa kekeringan, gempa bumi, banjir dan semisalnya yang diakibatkan karena penyelisihan terhadap Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.” [Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul, hal. 151]

Sumber: https://youtu.be/qH0SCqweCyI

Yuk bantu share. Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa menunjukkan satu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala yang semisal dengan orang yang mengamalkannya.” [HR. Muslim dari Abu Mas’ud Al-Anshori radhiyallaahu’anhu]