Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Bagaimana hukumnya seorang wanita yang mendapat haidh sebelum waktunya, yaitu mendapat haidh sebelum Ramadhan dan setelah habisnya haidh itu ia mandi (bersuci) dan itu pun sebelum Ramadhan, akan tetapi setelah masuk hari kedelapan bulan Ramadhan ia mendapatkan haidh lagi dan masa haidh ini adalah masa haidh yang biasanya, bagaimanakah hukumnya shalat-shalat yang ia tinggalkan di masa haidh pertama itu, apakah ia harus mengqadha shalat-shalat itu atau tidak?
Jawaban:
Tidak perlu seorang wanita meng-qadha shalatnya jika disebabkan adanya darah haidh, karena haidh adalah darah dan kapan darah itu ada maka berlaku pula hukum haidh, sebagaimana bila seorang wanita mengkonsumsi pil pencegah haidh sehingga ia tidak mendapatkan haidh, maka ia harus tetap melaksanakan shalat serta puasa, dan tidak boleh baginya meng-qadha puasa karena ia tidak dalam keadaan haidh, karena sesungguhnya hukum itu tergantung dengan alasan atau sebabnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‘Haidh itu adalah suatu kotoran.’” (Qs. al-Baqarah: 222)
Jika kotoran itu ada maka hukum haidh itu pun berlaku, dan jika kotoran itu tidak ada maka hukum-hukum haidh pun tidak berlaku.
Sumber: Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 1, Darul Haq, Cetakan VI 2010
sumber: https://konsultasisyariah.com/2528-haidh-wanita-bulan-ramadhan.html