1). Makna i’tikaf.

Syaikh Muhammad bin Ali bin Adam Al-Etsyubi berkata :

الاعتكاف في اللغة : هو الحبس، واللزوم، والمكث، والاستقامة، والاستدارة. وفي الشرع: هو المكث في المسجد من شخص مخصوص بصفة مخصوصة

“I’tikaf secara bahasa maknanya menahan diri, melazimi, berdiam diri, istiqamah, berkutat.

Sedangkan menurut istilah syariat i’tikaf bermakna berdiam diri di mesjid dari seorang yang khusus dengan tata cara khusus”. (Dzakhiratul ‘Uqba Fi Syarhil Mujtaba : 8/680).

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi berkata :

اعلم أن للاعتكاف معنين لغويا وشرعيا أما اللغوي فهو الإقامة عكف بالمكان إذا أقام فيها والمعكوف المحبوس والشرعي فهو المكث في المسجد على سبيل القربة من شخص مخصوص بصفة مخصوصة

“Ketahuilah bahwasanya I’tikaf itu memiliki dua makna, secara bahasa dan secara istilah syariat. Adapun I’tikaf secara bahasa artinya tinggal, seseorang disebut beri’tikaf di lokasi tertentu jika ia tinggal di situ, yang dii’tikafi artinya yang didiami. Adapun secara istilah syariat I’tikaf artinya tinggal di masjid demi untuk mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan orang tertentu dengan tata cara khusus”. (Al-Inshaf Li Ahkamil I’tikaf : 5).

Adapaun maksud dan tujuan utama dari iktikaf adalah sebagaimana yang telah dituliskan oleh Imam Al-Laknuwi Al-Hindi sebagai berikut :

وشرع لهم الاعتكاف الذي مقصوده وروحه عكوف القلب على الله تعالى وجمعيته عليه، والخلوة به عن الاشتغال بالخلق، والاشتغال به وحده -سبحانه-؛ بحيث يصير ذكره، وحبه، والإقبال عليه في محل هموم القلب وخطراته؛ فيستولي عليه بدلها، ويصير الهم كله به، والخطرات كلها بذكره، والتفكر في تحصيل مراضيه، وما يقرب منه؛ فيصير أنسه بالله بدلا عن أنسه بالخلق؛ فيعده بذلك لأنسه به يوم الوحشة في القبور حين لا أنيس له، ولا ما يفرح به سواه؛ فهذا مقصود الاعتكاف الأعظم

“Disyariatkan I’tikaf bagi mereka yang mana maksud dan ruh dari I’tikaf ini adalah menenangkan hati untuk Allah, membersamai-Nya, menyendiri dengan-Nya dan memutus hubungan dengan makhluk untuk kemudian menyibukkan diri dengan Allah semata.

Hingga aktifitas menyebut asma Allah, mencintai Allah dan menerima Allah menjadi obat bagi kesedihan hati. Sampai kecintaan terhadap Allah ini menggantikan posisi kesedihan di dalam hati.

Kesedihan hati hilang dengan Allah, dan kegundahan hati hilang dengan mengingat Allah. Serta bertafakur untuk meraih keridhaan Allah, dan meraih segala hal yang mendekatkan diri kepada Allah.

Sampai pada taraf seseorang lebih merasa senang dan nyaman dengan Allah dari pada nyaman dengan makhluk.

Hingga kelak ia akan merasa nyaman dengan Allah di alam kubur ketika tak ada kawan serta tak ada yang membuatnya nyaman melainkan Allah. Ini adalah maksud agung dari disyariatkannya I’tikaf” (Zadul Ma’ad : 2/86-87, lihat pula Al-Inshaf Fi Hukmil I’tikaf : 7 oleh Imam Al-Laknuwi Al-Hindi).

2). Hukum I’tikaf.

I’tikaf ini sunnah hukumnya dan dianjurkan di hari apa saja, namun lebih ditekankan untuk dilakukan pada hari-hari di bulan Ramadhan. Dan yang paling utama adalah i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Allah ta’ala berfirman :

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid”.

(QS Al-Baqarah : 187).

Disebutkan pula dalam riwayat yang shahih

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Dan ketika berada di tahun beliau wafat, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. (HR Bukhari : 2044, Muslim : 1172).

Imam An-Nawawi berkata menerangkan hukum dari i’tikaf ini dan menegaskan akan kesepakatan para ulama tentangnya :

الاعتكاف سنة بالإجماع، ولا يجب إلا بالنذر بالإجماع، ويستحب الإكثار منه، ويستحب ويتأكد استحبابه في العشر الأواخر من شهر رمضان

“I’tikaf itu sunnah hukumnya secara ijma’. Dan tidak wajib melainkan jika diniatkan karena nadzar. Dan disunnahkan untuk memperbanyak i’tikaf dan ditekankan lagi kesunnahan I’tikaf ini untuk dilakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan”. (Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab : 6/475).

Sehingga jika seseorang bernadzar ingin melaksanakan i’tikaf di masjid, ketika itulah I’tikaf menjadi wajib atasnya sebagaimana riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut ini :

يَا رَسُولَ اللَّهِ , إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَوْفِ بِنَذْرِكَ ”

“Wahai Rasulullah sesungguhnya aku memiliki nadzar di zaman jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di masjidil Haram. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, ‘Tepatilah nadzarmu”. (HR Bukhari : 4/237, Muslim : 1656).

3). Hikmah I’tikaf.

Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali menuturkan hikmah di balik pensyariatan I’tikaf ini :

معنى الاعتكاف وحقيقته: قطع العلائق عن الخلائق للاتصال بخدمة الخالق، وكلمَّا قويت المعرفة بالله، والمحبَّة له، والأنس به أورثتْ صاحبَها الانقطاعَ إلى الله – تعالى – بالكلية على كلِّ حال

“Makna I’tikaf dan hakikatnya ialah memutus hubungan dengan makhluk demi untuk berkhidmat kepada sang Khaliq. Setiap kali menguat ma’rifatullah serta kecintaan kepada Allah, dan juga rasa nyaman dengan Allah, itu semua akan memberikan efek kepada pelakunya berupa ketergantungan/keterkaitan dengan Allah dalam segala situasi”. (Latha’iful Ma’arif : 203).

4). Syarat I’tikaf.

a). Islam

Sehinga tidak sah I’tikaf yang dilakukan oleh orag kafir, Allah ta’ala berfirman :

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورً

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. (QS Al-Furqan : 23).

Syaikh Shalih bin Abdillah bin Fauzan Al-Fauzan berkata menafsirkan ayat ini :

فالمشركون لهم عبادات، كانوا يحجون، وكانوا يتصدقون، وكانوا يطعمون الأضياف، وكانوا يُكرمون الجيران، ولهم أعمال لكنها ليست مبنيّة على التّوحيد، فهي هباء منثور، لا تنفعهم شيئاً يوم القيامة

“Orang-orang musyrik kafir mereka melakukan ibadah, mereka berhaji, mereka bersedekah, mereka memberi makan para tamu, dan mereka juga memuliakan tetangga. Mereka melakukan amalan-amalan namun tidak dibangun berdasarkan tauhid. Maka amal-amal tersebut menjadi sirna menjadi debu yang beterbangan dan tidak memberi mereka manfaat sedikitpun kelak pada hari kiamat”. (I’anatul Mustafid Syarah Kita Tauhid : 1/59).

b). Berakal

Syaikh Khalid bin Ali Al-Musyaiqih menerangkan sebab tidak sahnya I’tikaf yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki akal :

فلا يصح الاعتكاف من مجنون ولا سكران، ولا مغمى عليه؛ لحديث عمر رضي الله عنه مرفوعاً : (( إنما الأعمال بالنيات )) متفق عليه . وهؤلاء لا قصد لهم معتبر ولأنهم ليسوا من أهل العبادة وهذا الشرط بالتفاق الأئمة

“Maka tidak sah I’tikaf yang dilakukan oleh orang gila, demikian pula orang mabuk, juga orang yang pingsan berdasarkan hadits Umar radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ ; ‘Sesungguhnya amal-amal itu bergantung kepada niatnya’. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dan karena orang-orang yang tidak memiliki akal ini mereka tidak memiliki Qasdun/keinginan yang dianggap sah. Dan karena mereka ini bukan termasuk kelompok orang yang dibebani dengan ibadah”. (Fiqhul I’tikaf : 69 oleh Syaikh Khalid Al-Musyaiqih).

c). Niat

Karena orang yang berdiam diri di masjid bisa berniat untuk I’tikaf bisa pula berniat untuk tujuan lainnya. Maka dibutuhkan niat untuk menentukan dan membedakan jenis amal mana yang dimaksudkan.

Imam Ibnu Rusyd berkata menghikayatkan ijma’/kesepakatan disyaratkannya niat dalam I’tikaf, beliau berkata :

أما النية فلا أعلم فيها خلافا

“Adapun niat, maka aku tidak pernah mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentangnya”. (Bidayatul Mujtahid : 1/430).

d). Berpuasa

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata :

ولم يذكر الله سبحانه وتعالى الاعتكاف إلا مع الصوم ، ولا فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا مع الصوم . فالقول الراجح في الدليل الذي عليه جمهور السلف : أن الصوم شرط في الاعتكاف ، وهو الذي كان يرجحه شيخ الإسلام أبو العباس ابن تيمية

“Allah ta’ala tidak menyebutkan I’tikaf melainkan bersama puasa. Dan Rasulullah shalallahu ‘aaihi wa sallam tidak melaksanakan I’tikaf kecuali bersamaan dengan puasa. Maka pendapat yang rajih/kuat di dalam memahami dalil, yang dipilih oleh mayoritas kaum salaf ialah bahwa puasa itu merupakan syarat di dalam I’tikaf. Dan pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah”. (Zadul Ma’ad : 2/83).

5). Aktivitas yang dianjurkan

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berkata adab-adab I’tikaf yang seharusnya dilakukan oleh orang yang beri’tikaf di masjid :

وعلى المعتكف آداب ينبغي أن يتحلى بها قدر استطاعته ليلا نهارا وذلك بأن يقضي وقته بالصلاة وقراءة القرآن وذكر الله تعالى والصلاة على النبي وطلب العلم من تقسير أة حديث أو نحو ذلك من العلوم الشرعية و غير ذلك من الطاعات المحضة.

“Dan bagi orang yang beri’tikaf ada adab-adab yang selayaknya untuk dilakukan sesuai kadar kemampuan sepanjang siang dan malam. Itu dilakukan dengan cara menghabiskan waktunya untuk shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir menyebut asma Allah. Demikian pula bershalawat kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam serta menuntut ilmu berupa mengkaji tafsir, hadits maupun ilmu syariat lainnya dan juga ketaatan-ketaatan yang lain”. (Al-Fiqhul Islami : 2/715).

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi juga berkata memperingatkan pelaku I’tikaf dari berbagai perbuatan yang selayaknya dihindari :

يُستحب للمعتكف التشاغل بالطاعات المحضة وتجنب مالا يعنيه من الأقوال والأفعال، ويجتنب الجدال والمراء والسباب والفحش فإن ذلك مكروه في غير الاعتكاف ففيه أولى، ولا يبطل الاعتكاف بشيء من ذلك

“Selayaknya orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan diri dengan murni ketaatan,serta menjauhi hal-hal yang tidak penting baginya berupa perkataan, perbuatan, dan pertengkaran, debat kusir, mencaci serta berkata kotor. Karena hal-hal ini dibenci di luar waktu i’tikaf, maka lebih dibenci lagi ketika i’tikaf. Dan i’tikaf tidak batal dengan ini semua”. (Al-Mughni : 2/164).

Wallahu a’lam

 

Sumber: Buku Fiqih Ramadhan karya Ustadz Abul Aswad Al-Bayaty