Dalam hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman,
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ : فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya.” (HR. Al-Bukhâri no. 1894, 1904, 5927, 7492, 7538; Muslim no. 1151; Ahmad II/232, 266, 273; Ibnu Mâjah no. 1638; An-Nasa-i IV/163-164; dan Ibnu Khuzaimah no. 1896, 1900)
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah dalam kitab Lathaiful Ma’arif berkata: “Sesungguhnya jiwa sangat condong kepada apa yang menjadi kebutuhannya, seperti makan, minum, dan hubungan suami istri. Jika tiga hal itu dilarang pada waktu tertentu, kemudian diperbolehkan untuk dilakukan, terutama pada waktu yang sangat dibutuhkan, maka jiwa akan merasakan kebahagiaan.
Kebahagiaan sesungguhnya ada pada saat kita mendapatkan ridha Allah. Dengan cara melakukan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dan menjauhi apa yang Allah dan Rasul-Nya larang, inilah nilai ketakwaan. Ketika seorang mukmin dihalalkan untuk makan, minum, dan hubungan suami istri kapanpun dan dimanapun, padahal tiga hal itu sangat dibutuhkan oleh setiap jiwa, namun ia tinggalkan itu karena perintah Allah dan Rasul-Nya, ketika mereka mampu untuk meninggalkannya karena keimanan dan harapan ganjaran dari Allah. Maka mereka akan menemukan kebahagiaan.”
يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أجْلِي
“Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku.” (HR. Al-Bukhari no. 7492, 1894, 1904 dan Muslim no. 1151)
Iya, kita tinggalkan makan, minum, dan hubungan suami istri untuk-Nya, bukan untuk yang lain. Jika kita mampu meninggalkan makan, minum, dan syahwat, padahal semula hal itu dibolehkan, bagaimana pula perkara-perkara yang Allah dan Rasul-Nya larang. Tentunya kita akan menjauhinya.
Saudaraku !… temukan kebahagiaan itu saat kita melakukan ibadah. Saat melakukan ibadah dengan mampu mengamalkan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang, maka itulah hakikat kebahagiaan. Maka mustahil orang mendapatkan kebahagiaan dalam kemasiatan atau dosa.
Hadits di atas menunjukkan bahwa ada dua ganjaran, ganjaran pertama, segera didapat di dunia yaitu saat berbuka, ia gembira karena nikmat Allâh yang diberikan kepadanya sehingga bisa menyempurnakan ibadah puasanya yang langsung didapat yaitu ketika orang yang berpuasa itu berbuka dan ganjaran kedua, ganjaran yang didapatkan di akhirat saat bertemu Rabb-nya dengan keridhaan-Nya dan kemuliaan-Nya.
Kegembiraan yang didapat langsung di dunia ini adalah contoh dari kegembiraan yang akan datang, dan Allâh akan mengumpulkan keduanya bagi orang yang berpuasa. Jika saat berbuka kita sangat bahagian, bagaimana tidak bahagia ketika kita berjumpa dengan Sang Pencipta. Ini untuk menumbuhkan semangat dan berlomba dalam berbuat kebaikan.
Oleh karena itu agar kebahagiaan itu kian sempurna bagi kita, maka kita harus menyempurnakan puasa kita, puasa bukan sekedar meninggalkan makan, minum dan syahwat saja, namun puasa juga harus menahan kita dari penyakit hati, dari lisan yang tajam, dari tindakan yang menyakiti. Jika semua itu telah kita lakukan dengan mengharap ridha-Nya, maka kebahagiaan itu milik mereka yang melakukan ibadah karena Allah. Wallahu A’lam.
Ditulis Oleh:
Ustadz Abu Rufaydah, Lc., MA. حفظه الله
(Kontributor Bimbinganislam.com)
Referensi: https://bimbinganislam.com/dua-kebahagiaan-orang-yang-berpuasa/