Pertanyaan:

Saya mempunyai mertua yang mempunyai 2 anak, anak kedua adalah suami saya. Mertua saya seorang anggota DPRD, yang memiliki gaji setiap bulannya. Tetapi mertua saya selalu meminta uang kepada anak-anaknya setiap bulan dengan jumlah yang tidak sedikit, dengan beralasan kalau anggaran kunjungan kerjanya mengalami potongan dari negara, dan sisa gajinya habis untuk melunasi hutang-hutangnya.

Lalu saat orang tuanya meminta uang ke anaknya, walaupun anaknya tidak mempunyai jumlah uang yang diminta oleh orang tuanya, anaknya tidak mau bilang kalau hanya memiliki uang dalam jumlah sedikit, tak jarang anaknya sampai rela berhutang demi memenuhi permintaan orang tuanya.

-Bagaimana hukumnya di agama saat orang tua yang masih memiliki gaji yang lumayan basar tetapi habis karena hutangnya sendiri dan akhirnya membebankan kepada anaknya yang juga sudah berkeluarga?

-apakah perlu/diperbolehkan anaknya sampai mengutang demi memenuhi permintaan orang tuanya?

(Ditanyakan Oleh Sahabat BiAS via Sosmed)

 

Jawaban:

Bahaya Hutang
Bismillah. Orang tua yang demikian perlu disampaikan tentang bahaya hutang, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda

نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ

“Ruh seorang mukmin tergantung karena hutangnya hingga dilunasi” [HR Tirmidzi 1078]

Apa yang dimaksud dengan ruhnya tergantung? Al-Mula Ali Al-Qori menjelaskan:

فَقِيلَ : أَيْ مَحْبُوسَةٌ عَنْ مَقَامِهَا الْكَرِيمِ ، وَقَالَ الْعِرَاقِيُّ : أَيْ أَمْرُهَا مَوْقُوفٌ لَا يُحْكَمُ لَهَا بِنَجَاةٍ وَلَا هَلَاكٍ حَتَّى يُنْظَرَ، أَهَلْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ أَمْ لَا؟

“Sebagian ulama mengatakan: Ruhnya tertahan untuk menempati tempat yang mulia. Al-Iraqi mengatakan: Ia (di alam barzakh) dalam kondisi terkatung-katung, tidak dianggap sebagai orang yang selamat dan tidak dianggap sebagai orang yang binasa sampai dilihat apakah masih ada hutang yang belum lunas atau belum?” (Mirqotul Mafatih, 5/1948).

Bayangkan, sebaik apa pun orang tua kepada anak, sebertanggung-jawab apa pun orang tua kepada anak, ia tidak akan mendapat ganjaran dan tempat yang mulia sampai hutangnya terlunasi.

Lho kan ada anak sebagai ahli waris yang akan melunasi? Ketahuilah, anak itu tidak “Berkewajiban” melunasi hutang orang tuanya. Jika orang tua mewariskan hutang, maka ambil dari harta orang tua tersebut untuk melunasi, bahkan kalau perlu sampai tak bersisa untuk ahli waris pun tidak masalah. Kalaupun memang tak ada asset untuk melunasi, maka sang anak itu sifatnya hanya dianjurkan melunasi bukan diharuskan. Ibnu Qudamah rohimahullah mengatakan,

فَإِنْ لَمْ يَخْلُفْ تَرِكَةً ، لَمْ يُلْزَمْ الْوَارِثُ بِشَيْءٍ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ أَدَاءُ دَيْنِهِ إذَا كَانَ حَيًّا مُفْلِسًا، فَكَذَلِكَ إذَا كَانَ مَيِّتًا

“Jika mayit tidak meninggalkan harta waris sedikit pun, maka ahli waris tidak memiliki kewajiban apa-apa. Karena mereka tidak wajib melunasi hutang si mayit andai ia bangkrut ketika masih hidup, maka demikian juga, mereka tidak wajib melunasinya ketika ia sudah meninggal” (Al-Mughni 5/155).

Belum lagi dosa-dosa turunan dari hutang seperti dusta dan ingkar janji, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ ، حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ

“Sesungguhnya orang yang (biasa) berhutang jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia mengingkari” [HR Bukhari 789 dan Muslim 925]

Maka berhati-hatilah anda sebagai orang tua jika masih bermudah-mudahan dalam berhutang, isi hari-hari anda dengan beribadah dan qona’ah, jangan sampai disisa umur anda justru digelayuti kehinaan dan kesengsaraan. Umar bin Abdul Aziz pernah berkata,

ﻭﺃﻭﺻﻴﻜﻢ ﺃﻥ ﻻ ﺗُﺪﺍﻳﻨﻮﺍ ﻭﻟﻮ ﻟﺒﺴﺘﻢ ﺍﻟﻌﺒﺎﺀ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺪّﻳﻦ ﺫُﻝُّ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ ﻭﻫﻢ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ ، ﻓﺪﻋﻮﻩ ﺗﺴﻠﻢ ﻟﻜﻢ ﺃﻗﺪﺍﺭﻛﻢ ﻭﺃﻋﺮﺍﺿﻜﻢ ﻭﺗﺒﻖ ﻟﻜﻢ ﺍﻟﺤﺮﻣﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﺎ ﺑﻘﻴﺘﻢ

“Aku wasiatkan kepada kalian agar tidak berhutang, meskipun kalian merasakan kesulitan, karena sesungguhnya hutang adalah kehinaan di siang hari kesengsaraan di malam hari, tinggalkanlah ia, niscaya martabat dan harga diri kalian akan selamat, dan masih tersisa kemuliaan bagi kalian di tengah- tengah manusia selama kalian hidup” (Ma’alim Al-Ishlah wa At-Tajdid 2/71)

Tidak selayaknya juga seorang ayah yang masih memiliki penghasilan untuk ‘mengganggu’ keuangan anaknya yang sebenarnya tidak lebih baik dari ayahnya. Nasihat saya bagi yang masih suka berhutang; turunkan gaya hidup anda & sederhanakan bahagia anda.

Anak Tidak Perlu Berhutang Demi Gaya Hidup Orang Tua
Tidak perlu anaknya sampai berhutang demi gaya hidup orang tuanya, kewajibannya adalah menasihati dengan sopan. Diperbolehkan seorang anak sampai hutang jika hal tersebut adalah urgent atau darurat, misal untuk biaya berobat orang tua, apalagi jika memang tidak ada asset yang bisa diuangkan.

Namun ingat, catatannya adalah jangan sampai berhutang dengan cara-cara yang tidak dibenarkan syariat, seperti hutang di lembaga ribawi atau yang semisalnya

Wallohu A’lam

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله