Pertanyaan :

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Kami ingin bertanya, Ustadz.

Bolehkah kita menafsirkan Al-Qur’an secara mandiri dengan cara merenungkan makna ayat-ayat yang ada ?

Karena ada suami istri, seringkali si suami mengajak diskusi istrinya. Karena si istri takut terjatuh dalam kesalahan, ia lantas menyarankan untuk bertanya pada ustadz, karena dia juga belum paham benar jawaban yang sebenarnya. Si suami berkata bahwa kita harus mentadaburi isi Al-Qur’an sendiri dengan begitu Allah akan datangkan hikmah pada kita.

Jazaakallahu khoyron.

(Dari Rahma Shopia di Bekasi Anggota Grup WA Bimbingan Islam).

Jawaban :

وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته

Tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an secara otodidak dengan tanpa bertanya kepada ahli ilmu atau kembali merujuk ke kitab-kitab tafsir mu’tabar yang ditulis oleh para ulama ahlissunnah wa jama’ah, yang dibangun di atas kaidah-kaidah tafsir yang berlaku.

Allah mengabarkan di dalam kitab-Nya yang mulia barangsiapa menjauh dari tuntunan Al-Qur’an, maka ia akan terjerumus ke dalam hinanya jurang kesesatan. Di sisi lain barang siapa kembali kepada Al-Qur’an maka Allah menjamin keselamatan baginya. Allah ta’ala berfirman :

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى {123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Maka jika telah datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (Q.S Thaha : 123-124).

Syaikh Shalih bin Abdillah bin Fauzan Al-Fauzan ketika menafsirkan ayat ini berkata :

لا يضل في الدنيا عن الحق، ولا يشقى في الآخرة، وهذا ضمان من الله سبحانه وتعالى لمن اتبع القرآن أنه لا يضل في الدنيا، ولا يشقى في الآخرة.

“Tidak akan tersesat dari jalan kebenaran ketikadi dunia, dan tidak akan celaka di akhirat. Ini adalah dua jaminan dari Allah subhanahu wa ta’ala bagi orang yang mengikuti Al-Qur’an bahwaia tidak akan tersesat di duniadan tidak akan celaka di akhirat”. (I’anatul Mustafid Syarah Kitab Tauhid : 1/60).

Para ulama ketika menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an mereka menempuh satu dari dua cara, yang pertama dengan cara melihat apakah di dalam Al-Qur’an atau hadits nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam atau atsar para salafush shalih terdapat hal yang menafsirkan ayat ini ataukah tidak ? jika ia mendapatkannya, maka ia berhenti serta mencukupkan diri dengannya. Metode ini seringkali disebut dengan istilah “Tafsir Bil Ma’tsur”. Yang kedua dengan ijtihad, dengan pemahaman mereka yang berlandaskan ilmu yang matang serta kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar.

Adapun tafsir bil ma’tsur ini ada beberapa macam :

Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.

Karena ayat-ayat Al-Qur’an itu menafsirkan satu sama lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

فإن قال قائل : فما أحسن طرق التفسير ؟ فالجواب : إن أصح الطرق في ذلك أن يفسر القرآن بالقرآن ، فما أجمل في مكان ، فإنه قد فسر في موضع آخر ، وما اختصر في مكان فقد بسط في موضع آخر

“Dan jika seseorang berkata ‘apa metode terbaik di dalam menafsirkan Al-Qur’an?’, maka jawabannya adalah ; Sesungguhnya metode terbaik didalam menafsirkan Al-Qur’an adalah hendaknya Al-Qur’an ditafsirkan dengan Al-Qur’an. Ayat yang global di suatu lokasi terkadang ditafsirkan di lokasi yang lain. Dan ayat yang ringkas di suatu lokasi terkadang datang penjelasan panjang lebarnya di lokasi ayat yang lain”. (Muqaddimah Fi Ushul Tafsir : 93).

Menafsirkan Al-Qur’an dengan Sunnah nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta’ala berfirman :

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepada kamu, agar kamu menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, agar mereka berfikir”. (An-Nahl : 44). Al-Imam Ahmad bin Hanbal juga menyatakan benarnya metode ini, beliau berkata :

والسنة تفسر القر’ن وهي دلائل القرآن

“Sunnah itu menafsirkan Al-Qur’an dan ia itu menjadi penunjuk makna Al-Qur’an”.

Ungkapan ini dijelaskan oleh salah satu pensyarah kitab Ushulussunnah, Syaikh Abu Abdirrahman Zainal Abidin bin Al-Husain AliAbdillah beliau berkata :

السنة شارحة للقرآن ومضحة وقد صح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال ألا إني أوتيت القر’ن ومثله معه يعني السنة وهي تنزل عليه بالوحي كما ينزل القرآن. ومن هنا يقول يحيى بن ابي كثير السنة قاضية على الكتاب وليس الكتاب قاضيا على السنة. يريد بهذه الكلمة ما وضحه السيوطي بقوله والأصل أن معنى احتياج القرآن إلى السنة أنها مبينة له ومفصلة لمجملاته

“Sunnah itu merupakan penjelas Al-Qur’an dan menjadi penerangnya. Dan telah sah hadis dari rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda : ‘Ketahuilah bahwa aku telah diberikan Al-Kitab dan yang semisalnya bersamanya’.

Maksudnya yang turun bersama Al-Qur’an adalah Sunnah, karenasunnah ini turun kepada nabishalallahu ‘alaihi wasallam sebagai wahyu sebagaimana Al-Qur’an turun. Dan dari sini Yahya bin Abi Katsir berkata ; Sunnah itu hakim bagi Al-Qur’an dan tidak sebaliknya. Yahya bin Abi Katsirmemaksudkan dengan kalimat ini sama dengan yang dijelaskan oleh As-Suyuti dengan ucapannya ; Yang asal makna Al-Qur’an butuh kepada sunnah ialah bahwasanya sunnah itu menjadi penjelas bagi Al-Qur’an dan merinci apa yang global di dalam Al-Qur’an”. (Syarah Ushulussunnah : 34).

Menafsirkan dengan Atsar salafush-shalih

وحينئذ ؛ إذا لم تجد التفسير في القرآن ولا في السنة ، رجعت في ذلك إلى أقوال الصحابة ، فإنهم أدرى بذلك ؛ لما شاهدوه من القرآن ، والأحوال التي اختُصُّوا بها ، ولما لهم من الفهم التام ، والعلم الصحيح ، لا سيما علماؤهم وكبراؤهم

“Dan ketika engkau tidak mendapati di dalam Al-Qur’an tidak pula di dalam Sunnah, maka engkau merujuk kepada perkataan para sahabat di dalam menafsirkan ayat tadi. Karena para sahabat jauh lebih mengerti dikarenakan mereka menyaksikan sendiri turunnya Al-Qur’an, beserta situasi dan kondisi kala itu yang menyertainya. Dan dikarenakan mereka memiliki pemahaman yang sempurna serta keilmuan yang shahih terlebih lagi para sahabat yang menyandang predikat ulama’”. (Muqaddimah Ushul Tafsir : 95).

Adapun menafsirkan Al-Qur’an yang tercela ialah menafsirkan Al-Qur’an dengan tanpa bekal ilmu, kita bukan orang yang ahli di dalamnya, lantas kita menyampaikan penjelasan firman Allah ta’ala dengan tanpa ilmu.

Allah ta’ala berfirman :

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-A’raf : 33).

Banyak sekali peringatan para salaf terhadap bahaya memahami Al-Qur’an dengan ra’yu /dengan akal semata diantaranya Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata :

إياكم وأصحاب الرأي؛ فإنهم أعداء السنن. أعيتهم الأحاديث أن يحفظوها، فقالوا برأيهم، فضلّوا وأضلوا

“Jauhilah oleh kalian ashabur ra’yi (orang yang hanya mengandalkan akal dalam memahami agama) karena mereka ini musuhnya sunnah. Mereka lemah terhadap hadis sehingga tidak mampu menghafalnya kemudian mereka berkata dengan akal mereka dan mereka sesat lagi menyesatkan”. (Syarah Ushul I’tiqad Ahlissunnah Waljama’ah No. 201).

Wallahu a’lam

Referensi :

Syarah Ushulussunnah oleh Syaikh Abu Abdirrahman bin Al-Husain Ali Abdillah

I’anatul Mustafid Syarah Kitab Tauhid oleh Syaikh Shalin bin Abdillah bin Fauzan Al-Fauzan

Syarah Ushul I’tiqad Ahlissunnah oleh Al-Imam Hibatullah Al-Lalakai

Muqaddimah Fi Ushul Tafsir oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Konsultasi Bimbingan Islam

Ustadz Abul Aswad Al Bayati

Referensi: https://bimbinganislam.com/mentafsirkan-al-qur-an-secara-otodidak/