Pertanyaan:
بسم اللّه الرحمن الر حيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Afwan Ustadz,

Dalam hadits diterangkan bahwa para shahabat ada yang pernah safar selama berbulan-bulan bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam Dan selama itu Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengambil rukhshah/ keringanan sholat dijamak & di qoshor.

Dalam kajian BiAS, boleh tidak mengambil keringanan tapi ahsannya (lebihbaik_ed) mengambil keringanan.

Dalam hadits lain, jika diqashar, maka dilarang melakukan shalat sunnah karena lebih baik melengkapi shalat wajib dibanding shalat wajib diqashar tapi dilanjutkan dengan shalat sunnah.

Jika safar sampai berbulan-bulan manakah yang lebih baik?

Tidak mengambil rukhshah (jama’ & qashar) tapi menambah shalat sunnah seperti rawatib, dhuha, tahajud, dan witir, atau
Tetap mengikuti saran mengambil rukhshoh jama’ & qashar tapi tetap juga mengambil shalat-shalat sunnah.
Jazakumullah khairan

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ditanyakan oleh SAHABAT BiAS

Jawaban:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ

Wa iyyakum, Jazakumullah Khairan Katsiran

Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.

Pertama definisi safar dikembalikan kepada urf atau kebiasaan masing-masing daerah.

Apabila sebuah daerah menganggap bahwa perjalanan seminggu itu masih kategori safar maka itulah safar. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyatakan :

ولم يَحُدَّ صلَّى الله عليه وسلَّم لأمَّتِه مسافةً محدودةً للقَصْر والفطر، بل أَطْلَقَ لهم ذلك في مُطْلَقِ السفر والضربِ في الأرض، كما أَطْلَقَ لهم التيمُّمَ في كُلِّ سفرٍ، وأمَّا ما يُرْوَى عنه مِنَ التحديد باليوم أو اليومين أو الثلاثة فلم يصحَّ عنه منها شيءٌ ألبتَّةَ

“Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi jarak tertentu bagi umatnya dalam rangka untuk mengqashar shalat dan berbuka dari puasa. Bahkan beliau memutlakkan bagi mereka safar serta perjalanan di bumi secara mutlak. Sebagaimana beliau memutlakkan tayammum pada setiap kali safar.

Adapun apa yang diriwayatkan dari beliau berupa pembatasan safar dengan sehari atau dua hari atau tiga hari maka tidak ada yang shahih dari beliau sama sekali.”

(Zadul Ma’ad : 1/481).

Kedua pendapat yang kami yakini lebih benar bagi seorang musafir adalah mengambil rukhshah diantaranya jamak dan qashar (dan dalam masalah ini ada perbedaan di kalangan para ulama sebagimana telah dijelaskan).

Kebiasaan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam selama qashar adalah, beliau tidak melaksanakan shalat-shalat rawatib. Akan tetapi shalat sunnah lainnya tetap dikerjakan.

Fatwa Syaikh Bin Baz mengenai hal ini
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz menyatakan : “Yang lebih utama untuk shalat-shalat rawatib tidak dilaksanakan ketika safar kecuali shalat sunnah fajar dalam rangka meneladani nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka hendaknya seseorang melakukan shalat sunnah fajar bersamaan dengan shalat fajar (subuh).

Adapun shalat rawatib dzuhur, maghrib, isya’, ashar maka ini lebih baik ditinggalkan. Karena Allah ta’ala meringankan bagi musafir setengah shalat. Maka hendaknya shalat sunnah yang menyertai shalat wajib tidak dilakukan.

Adapun shalat dhuha, shalat sunnah wudhu, atau shalat tahajud di malam hari maka tetap dilakukan oleh musafir maupun orang lain.

Adalah nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat tahajjud di malam hari dan shalat dhuha dalam kondisi beliau sedang bersafar. Tidak mengapa yang seperti ini.

Akan tetapi shalat sunnah qabliyah dan ba’diyah dzuhur, shalat sunnah qabliyah ashar, ba’diyah maghrib, ba’diyah isya’ maka yang lebih utama ia ditinggalkan dalam kondisi safar, na’am.”

(Fatawa Syaikh Bin Baz no. 12291).

Link terkait:

Wallohu A’lam
Wabillahittaufiq.

Dijawab dengan ringkas oleh:
? Ustadz Abul Aswad Al Bayati حفظه الله

Referensi: https://bimbinganislam.com/mana-yang-utama-saat-waktu-safar-kita-lama/