Pertanyaan:

Assalamualaikum Ustad.

Maaf ustadz sebelumnya saya mau sharing terlebih dahulu: “Saya memiliki paman yang sangat alim, beliau sering memberikan masukan-masukan yang positif mengenai agama, dan menceritakan kaidah tentang agama, meskipun terkadang juga masih suka menentang kegiatan-kegiatan yang dianggap menyimpang dari agama (contoh : tahlilan).

Namun pada suatu ketika, beliau dan keluarganya (istrinya) melakukan shalat maghrib berjamaah di rumah, padahal di samping rumah persis ada musholla yang juga menggelar shalat maghrib berjamaah.

Beliau saat itu juga sempat mengajak kami (saya, istri saya, orang tua saya, nenek(ibu paman)) untuk shalat di rumah saja, namun mereka menolak dan akhirnya saya juga mengikuti keluarga saya untuk shalat di musholla dan meninggalkan paman saya di rumah”.

Apa hukumnya tidak mengerjakan shalat berjamaah di musholla/masjid sedangkan beliau mampu, dan mengerjakan shalat berjamaah di rumah?

(Ditanyakan oleh Sahabat BIAS via Instagram Bimbingan Islam)

 

Jawaban:

Masalahnya kembali ke hukum shalat jamaah di masjid/musholla bagi kaum lelaki apakah wajib ataukah tidak. Tidak kita pungkiri jika kita membuka buku-buku fiqih, memang para ulama berselisih pendapat tentang status hukumnya, ada yang berpendapat bahwa shalat jamaah di masjid itu sunnah, ada yang berpendapat fardhu kifayah, ada yang berpendapat fardhu ain, tergantung bagaimana mereka memahami dan mengkompromikan dalil.

Namun pendapat yang kami anggap lebih dekat pada kebenaran adalah bahwa shalat jamaah di masjid bagi lelaki itu hukumnya wajib, dengan pijakan dalil di antaranya:

Firman Allah ta’ala:

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu], dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata”. (Al-Nisa:102)

Sisi pendalilan dari ayat di atas: Ayat di atas membicarakan tata cara shalat khouf/shalat tatkala kondisi perang, pada ayat di atas orang-orang dalam kondisi perang pun diperintahkan Allah untuk sholat secara berjamaah, padahal kondisi genting, mengancam nyawa. Jika kondisi perang pun diperintahkan untuk shalat jamaah, maka tentunya dalam kondisi aman dan tenteram lebih ditekankan lagi hukumnya.

Di antara argumen lainnya adalah hadist yang diriwayatkan oleh imam Muslim:

أن رجلاً أعمى قال : يا رسول الله عليه و سلم : ليس قائد يقودني إلى المسجد ، فسأل رسول الله صلى الله عليه و سلم أنْ يُرَخِص له ، فرخص له ، فلما ولى دعاه ، فقال : ” هل تسمع النداء ؟ قال : نعم قال : ” فأجب “

“Bahwa ada seorang lelaki buta berkata kepada Rasul sallallahu alaihi wa sallam: Wahai Rasulullah: Saya tidak memiliki orang yang menuntun saya ke masjid (karena saya buta). Lelaki tersebut meminta kepada Rasul sallallahu alaihi wa sallam untuk memberikan keringanan (tidak ke masjid). Nabi pun akhirnya memberikan padanya keringanan. Namun tatkala lelaki itu berpaling pergi, Nabi memanggilnya lagi dan bertanya: Apakah kamu masih mendengar suara adzan? Jawab lelaki itu: Iya wahai Rasulullah, saya masih mendengar. Rasul mengatakan: Maka penuhilah panggilan adzan!”

Sisi pendalilan dari hadist ini: Bahwa orang/sahabat tersebut yang dalam kondisi buta saja, dan bahkan tidak memiliki teman/keluarga yang menuntunnya ke masjid, selagi masih bisa mendengar suara adzan, maka ia tetap diperintahkan memenuhi panggilan adzan (berangkat shalat ), jika orang yang buta saja demikian keadaannya, maka tentunya bagi yang kondisinya sehat wal afiat tentunya lebih ditekankan lagi.

Jika demikian adanya status hukum shalat berjamaah di masjid/musholla, maka bagi yang melaksanakannya tidak di masjid (di rumah), padahal tidak ada udzur yang ia miliki, shalatnya di rumah tetaplah sah, namun pelakunya berdosa, dan ia pun begitu merugi karena melalaikan pahala yang besar. Orang yang melakukan shalat jamaah di masjid dijanjikan pahala yang besar semenjak ia keluar dari rumahnya, Rasul bersabda:

وما من رجل يتطهر فيحسن الطهور ثم يعمد إلى مسجد من هذه المساجد إلا كتب الله له بكل خطوة يخطوها حسنة،ويرفعه بها درجة،ويحطّ عنه بها سيئة

“Jika seseorang wudhu dengan sempurna, kemudian menuju masjid, maka Allah akan mencatat setiap langkahnya sebagai pahala untuknya, mengangkat derajatnya, dan menghapuskan dosanya”.. (HR. Muslim)

Hadis dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من توضأ للصلاة فأسبغ الوضوء ثم مشى إلى الصلاة المكتوبة فصلاها مع الناس، أو مع الجماعة، أو في Dالمسجد غفر الله له ذنوبه

“Siapa yang berwudhu untuk shalat dan dia sempurnakan wudhunya, kemudian dia menuju masjid untuk shalat Fardhu. Lalu dia ikut shalat berjamaah atau shalat di masjid, maka Allah mengampuni dosa-dosanya”. (HR. Muslim)

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله

 

Sumber: https://bimbinganislam.com/laki-laki-wajib-shalat-di-masjid/