Pertanyaan:
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.
Ustaz, Mohon penjelasannya, bagaimana mengetahui suatu amalan/budaya itu tasyabbuh atau bukan? Apakah cukup dengan syarat bahwa “apabila telah banyak yang melakukan di mana-mana, maka hal itu bukan lagi tasyabuh”?
Misal: pakaian jas dan dasi sudah banyak dipakai di mana-mana, jadi itu tidak tergolong lagi tasyabuh. Dengan pola pikir seperti itu, dapatkah dikatakan bahwa perayaan ulang tahun itu tidak lagi tasyabuh, karena sudah banyak dilakukan di mana-mana? Terima kasih.
(Disampaikan oleh Fulanah, Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)
Jawaban:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.
Semoga Allah memberikan petunjuk dan kebahagiaan di dalam kehidupan kita semua.
Sebagaimana yang diketahui bahwa perkara tasyabbuh adalah perkara yang diperhatikan oleh Islam, karena berdampak kepada hukum dan persepsi dari penyamaan perilaku yang kontradiktif dengan kebiasaan, aturan atau syariat Islam.
Sehingga memunculkan analog dalam kesamaan hukum tersebut walau niatan terkadang tidak didapatkan, barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia disamakan atau dianggap bagian dari kaum tersebut bahkan menyebabkan keluarnya ia dari golongan sebelumnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,”
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Daud 3512)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Juga, dalam fenomena perilaku pengekoran dari kaum muslim terhadap kaum yang dibenci agama, disematkan sebagai tanda negatif dari terjadinya kiamat pada akhir zaman nanti, sebagaimana dalam hadist berikut,”
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi sampai umatku mengikuti generasi-generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta” Lalu ada yang bertanya kepada Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi Wasallam, “(Apakah seperti mengikuti) Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Siapa lagi dari kalangan manusia selain mereka (yang akan diikuti)?“
(HR Bukhari 7319)
Dengan ini, semestinya kaum muslimin senantiasa mencoba menjadikan setiap perilakunya mengacu kepada apa yang telah ditunjukkan oleh Dzat yang Maha Pencipta dan Maha Mengetahui dengan setiap kebutuhan makhluknya, sebagaimana telah dirangkumkan dalam bingkai Islam untuk menjadikan Islam dan hukumnya sebagai undang-undang dan adat istiadat yang menghiasi seluruh kehidupan manusia.. Sebagaimana firman Allah ta’ala,”
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ ٱلْيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعْتَ أَهْوَآءَهُم بَعْدَ ٱلَّذِى جَآءَكَ مِنَ ٱلْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِىٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS Al-Baqarah: 120).
Bagi orang yang enggan mengikuti syariat Islam dan memilih jalan yang bertentangan dengan hukum hukumnya maka Allah mengancam berlepas diri dari kehidupannya di dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ
“Dan jika engkau mengikuti keinginan (hawa nafsu) mereka setelah pengetahuan (ilmu) datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (QS Al-Baqarah: 120)
Catatan Penting Terkait Tasyabuh
Lalu apakah setiap adat istiadat dalam masyarakat tertentu terutama masyarakat kita dianggap tasyabbuh yang diharamkan?
Tentunya tidak mutlak dihukumi seperti itu, yang terlarang adalah tasyabbuh yang bertentangan dengan syariat Islam. Sehingga adat istiadat suatu tempat yang selaras dengan Islam, tidaklah dimasukkan dari tasyabbuh yang terlarang. Sehingga dalam menghukumi tasyabbuh atau tidaknya maka ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan:
Hukum tasyabbuh yang terlarang atau tidaknya adalah domain dari para ulama, tidak semua orang berhak untuk menghukuminya. Sebagai orang yang masih awam hanya bisa membaca indikasi dari sifat yang di dapat namun hendaknya menyerahkan hukumnya kepada para ulama untuk menghukumi dari semua sisi.
Tasyabbuh yang terlarang, bila terkait permasalahan akhlak dan aturan peribadatan dari suatu kaum yang bertentangan dengan syariat Islam.
Tasyabbuh terhadap orang kafir terbagi menjadi dua macam, tasyabbuh yang haram dan tasyabbuh yang Mubah.
Tasyabuh yang Haram dan yang Boleh
A. Tasyabuh Yang Haram
Tasyabbuh haram bila seorang muslim mencontoh perilaku yang telah menjadi kebiasaan/ciri khusus dari peribadatan agama orang kafir/non muslim, ia tahu dengan perilaku tersebut terhadap larangannya. Perilaku mencontoh seperti ini diharamkan. Sebagian menggolongkan perbuatan tasyabbuh haram ini bagian dari dosa besar, sebagian lagi memasukkannya dari bentuk kekufuran yang jelas diharamkan, sebagaimana dalil dan aturan yang ada dalam Islam.
B. Tasyabuh yang Boleh
Tasyabbuh yang kedua adalah tasyabbuh yang boleh, bila seseorang mencontoh perilaku yang pada dasarnya bukan ciri khusus kebiasaan/perilaku orang kafir, hanya mereka biasa menjalankannya dan bukan dari bagian yang keagaamaan/peribadatan mereka, maka hal ini tidaklah terlarang, namun sebaiknya tidak menirunya bila tidak ada faidah dari kebiasaan tersebut.
Syarat Bolehnya Tasyabbuh Terkait Urusan Duniawi
Ada beberapa syarat bolehnya mengikuti perilaku kebiasaan terhadap ahlul kitab dan selainnya dalam perkara duniawi, antara lain:
Kebiasaan tersebut bukan bagian dari ciri khusus/syiar agama mereka.
Kebiasaan tersebut bukan bagian dari syariat/aturan agama mereka.
Tidak disebutkan dalam syariat kita yang membolehkan atau melarangnya. Bila sudah ada aturannya, maka kita mencukupkan diri dengan syariat Islam, yang telah membolehkan atau melarang.
Adat dan kebiasaan tersebut tidak berefek kepada pelanggaran hukum Islam yang lain.
Adat dan kebiasaan tersebut bukan dalam perayaan agama mereka.
Pembolehan adat tersebut sesuai dengan kebutuhan, tidak berlebihan dan melampui batas.
(Lihat kitab As-sunan wal Atsar fin-nahyi ‘anit tasyabbuh, Suhail Hasan hal 58 – 59)
Dengan beberapa kaidah di atas maka kita mempunyai kemampuan sedikit dalam mendeteksi apakah suatu perkara tasyabbuh yang dilarang atau diperbolehkan. Namun sekali lagi, bahwa penentuan hukum tersebut adalah domain dari para ulama, karena membutuhkan pandangan yang lebih kompleks, harus lebih berhati hati sehingga tidak terjebak dari perilaku mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram
Silahkan melihat link berikut untuk menambah maklumat : IslamQA ضوابط التشبّه بالكفار
Wallahu ta’ala a’lam.
Dijawab oleh :
Ustadz Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله
Sumber: https://bimbinganislam.com/kapan-suatu-perbuatan-tidak-disebut-tasyabbuh/