Soal:

Ada pertanyaan yang diajukan seperti ini, “Apabila yang berniat dan yang membeli/membayar hewan qurban adalah istrinya, apakah larangan tersebut tetap berlaku bagi suami saja ataukah berlaku bagi istrinya saja? Jazakallah khairan ustad atas jawabannya.”

[Bu Rina Depok, Group Tanya Rumaysho 3]

Jawab:

Syaikh Shalih Al-Munajjid mengatakan,

الأضحية مشروعة للرجل والمرأة ، فمن كانت لديها القدرة على الأضحية استحب لها ذلك . وإذا ضحت المرأة فلتجعل أضحيتها عن نفسها وعن أهل بيتها ، فيدخل في ذلك زوجها .

Qurban itu disyari’atkan untuk laki-laki dan perempuan. Jika seorang wanita mampun untuk berqurban, maka disunnahkan baginya berqurban. Jika ia berqurban, maka boleh baginya untuk berniat untuk satu keluarga dan nantinya suaminya masuk dalam pahala qurban. (Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 112264)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah qurban itu untuk satu keluarga atau ditujukan perintahnya untuk setiap individu dalam rumah yang telah baligh? Kapan qurban itu sembelih? Apakah disyaratkan bagi shahibul qurban untuk tidak memotong kuku dan rambut sebelum qurbannya disembelih? Apa yang mesti dilakukan oleh wanita kalau dalam keadaan haidh? Apa perbedaan antara qurban dan sedekah dalam hal ini?

Jawaban dari Syaikh Ibnu Baz, “Hukum qurban adalah sunnah muakkad. Qurban disyari’atkan pada laki-laki dan perempuan. Boleh seorang pria meniatkan qurban untuk keluarganya. Boleh juga wanita meniatkan untuk keluarganya. Karena setiap tahunnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua kibas yang gemuk dan bertanduk, salah satunya beliau niatkan untuk dirinya dan anggota keluarganya. Sedangkan qurban yang satunya lagi, beliau niatkan untuk umatnya.

Adapun waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah), setiap tahunnya seperti itu.

Disunnahkan bagi shahibul qurban untuk memakan dari hasil qurban, untuk menghadiahkan pada kerabat dan tetangga, juga menyedekahkan sebagiannya pula.

Tidak boleh bagi yang akan berqurban untuk memotong rambut, kuku, dan sebagian dari kulitnya ketika sudah masuk bulan Dzulhijjah sampai hewan qurbannya disembelih. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إذا دخل شهر ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي ، فلا يأخذ من شعره ولا من أظفاره ولا من بشرته شيئا حتى يضحي

“Jika telah masuk awal Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian punya keinginan untuk berqurban, maka janganlah ia memotong rambut, kuku dan kulitnya sedikit pun juga sampai hewan qurbannya disembelih.” (HR. Muslim dalam shahihnya, dari Ummu Salamah)

Adapun yang mewakilkan pada orang lain dalam penyembelihan qurban, maka ia tidak terkena larangan untuk memotong rambut dan kuku karena ia bukan shahibul qurban. Larangan tersebut hanya berlaku untuk shahibul qurban yang mewakilkan qurbannya pada orang lain. Begitu pula yang mewakafkan qurban, statusnya adalah shahibul qurban. Sedangkan yang menerima wakaf qurban tersebut bukanlah berstatus sebagai shahibul qurban. Wallahu waliyyut taufiq.

(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 18: 38)

Syaikh Shalih Al-Munajjid berkata,

وأما إذا أرادت أن تضحي عنه بحيث تكون الأضحية له فلا بد من إذنه ؛ لأنه لا تجوز النيابة عن الغير في العبادة إلا بإذنه سواء كان النائب رجلاً أو امرأة ، لأن الأضحية عبادة ، والعبادة لا بد لها من نية .

“Adapun jika wanita menjadikan qurban untuk suaminya, maka harus minta izin suami terlebih dahulu. Karena tidak boleh menggantikan ibadah orang lain kecuali dengan izinnya, baik yang menggantikan itu laki-laki atau perempuan. Sedangkan qurban itu ibadah. Ibadah harus ada niat.” (Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 112264)

Kesimpulan dari bahasan Syaikh Shalih Al-Munajjid dalam link tersebut, berarti larangan potong rambut dan kuku berlaku bagi si wanita jika ia berniat berqurban. Wallahu a’lam.

Wallahu waliyyut taufiq.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

source: https://jadwalkajian.com/wp-admin/post-new.php