Pertanyaan:

Bismillah ahsanallaahu ilaikum. Ustadz saya izin bertanya.

Saya memiliki ayah yang beliau punya kebiasaan menutupi kebenaran dalam kesehariannya.

Sebagai 1 contoh kecil, beberapa hari lalu anak kucing saya dibuang tanpa bertanya kepada saya selaku perawat kucing tersebut sejak bayi. Saya tidak pernah merepotkan beliau perihal kucing dan beliau tidak pernah mengeluh tentang kucing sebelumnya. Ketika ditanya 4 mata, beliau menggunakan tipu muslihat (talbis)/ kata2 yang menyembunyikan kebenaran. Tapi bukti2nya sudah nampak jelas bahwa beliau yang membuangnya.

Lantas saya teringat bahwa dulu beliau pernah berkata bahwa dalam Islam menutupi kebenaran diperbolehkan (tauriyah).

Pertanyaan saya ustadz,

1) Apakah tindakan ayah saya menutupi kebenaran seperti di atas dibenarkan secara syariat? Saya ingin menghormati beliau, tetapi wallahi saya sakit hati ustadz karena beliau tetap tidak jujur setelah saya berusaha mengudzur beliau. (Tidak hanya kucing ustadz, beliau sering melakukan ini di masalah-masalah lainnya sampai ibu saya juga sakit)

2) Apa nasihat agama yang bisa saya sampaikan kepada ayah saya untuk merubah kebiasaan tersebut ustadz? Karena dalam pandangan ilmu psikologi, hal ini akan berakibat perpecahan ke depannya. Sekian, terima kasih ustadz.

(Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)

 

Jawaban:

Bismillah

Semoga Allah senantiasa memberikan kepada kita semua lisan yang tidak berdusta, hati yang sering memaafkan dan cinta kepada manusia.

Memang tidak sepantasnya seorang muslim melakukan kebohongan dengan apa yang dikatakan dan dilakukannya, bahkan itu menjadi ciri dari orang munafik.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallahu alihi wasallam,”

أَربعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقاً ، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ فِيْهِ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفاقِ حَتَّى يَدَعَهَا : مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ

“Ada empat tanda seseorang disebut munafik. Jika salah satu perangai itu ada, ia berarti punya watak munafik sampai ia meninggalkannya. Empat hal itu adalah: (1) jika berkata, berdusta; (2) jika berjanji, tidak menepati; (3) jika berdebat, ia berpaling dari kebenaran; (4) jika membuat perjanjian, ia melanggar perjanjian (mengkhianati).” [HR. Bukhari, no. 2459, 3178 dan Muslim, no. 58]

Juga disebutkan dalam hadist yang lain:

Memang dalam keadaan tertentu seorang diperbolehkan untuk melakukan tauriyah/dhahirnya berdusta namun hakikatnya tidak, sebagaimana yang dipahami ari penjelasan para ulama bahwa tauriyah adalah seseorang menginginkan dari perkataannya berbeda dengan ucapan zahirnya. Namun tauriyah diperbolehkan dengan dua syarat:

Pertama, lafadz kata yang dipakai mengandung adanya kemungkinan penafsiran.

Kedua, tidak ada unsur kedholiman dari efek perkataannya.

Misalnya jika ada seseorang mengatakan, ‘Demi Allah saya tidak akan tidur melainkan di bawah atap.’ Kemudian dia tidur di atas atap. Kemudian dia mengatakan, yang saya maksudnya atap adalah langit. Ini dibenarkan karena dimungkinkan dibawa kepada makna tersebut.

Sebagai contoh, disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

Suatu ketika Nabi Ibrahim pernah bersama istrinya Sarah. Mereka berdua melewati daerah yang dipimpin oleh penguasa yang zhalim. Ketika rakyatnya melihat istri Ibrahim, mereka lapor kepada raja, di sana ada lelaki bersama seorang wanita yang sangat cantik –sementara penguasa ini punya kebiasaan, merampas istri orang dan membunuh suaminya– Penguasa itu mengutus orang untuk menanyakannya. “Siapa wanita ini?” tanya prajurit. “Dia saudariku.” Jawab Ibrahim. Setelah menjawab ini, Ibrahim mendatangi istrinya dan mengatakan,

يا سارة ليس على وجه الأرض مؤمن غيري وغيرك، وإن هذا سألني فأخبرته أنك أختي فلا تكذبيني

“Wahai Sarah, tidak ada di muka bumi ini orang yang beriman selain aku dan dirimu. Orang tadi bertanya kepadaku, aku sampaikan bahwa kamu adalah saudariku. Karena itu, jangan engkau anggap aku berbohong… dst.”

Nabi Ibrahim ‘alahis salam dalam hal ini menggunakan kalimat ambigu. Kata “saudara” bisa bermakna saudara seagama atau saudara kandung. Yang diiginkan Ibrahim adalah saudara seiman/seagama, sementara perkataan beliau ini dipahami oleh prajurit sebagai saudara kandung.

Namun walaupun diperbolehkan maka hal tersebut tidak sampai menjadi kebiasaan di dalam ucapan dan perilakunya karena akan dapat menjadikan ia dianggap sebagai pendusta kecuali ada kepentingan yang memerlukan perbuatan tersebut.

Di sisi lain, sebaiknya di dalam suatu keluarga terlebih di antara orang tua dan anaknya perlu meningkatkan komunikasi dan hubungan yang ada. Terutama dalam diri seorang anak, tidak ada salahnya mencoba untuk mengerti kenapa orang tuanya tidak suka dengan perbuatan kita, walau seringkali mereka tidak mengungapkannya. Bisa jadi beliau tidak suka dengan apa yang si anak sangat sukai, hanya beliau tidak ingin diketahui alasannya atau tidak mempunyai alasan beliau tidak menyukainya. Maka sang anak diharapkan untuk saling mengerti dan menjaga sikap yang orang tua yang kadang sulit di mengerti sang anak.

Begitu pula sebaliknya, orang tua tidak ada salahnya membina hubungan dan komunikasi baik dengan anak dan keluarganya sehingga mereka juga mengerti dengan apa yang tidak disukai atau disukai sehingga tidak ada salah paham dengan apa yang dilakukan.

Sekali lagi tidak ada salahnya kita anak yang lebih berbakti kepada orang tua dengan mengetahui apa yang di suka dan tidak disukai, dan maafkanlah kesalahan dan kekurangan dari orang tua kita. Janganlah menjadi pribadi yang pendendam atau terlalu membesarkan masalah yang mungkin bisa diselesaikan dengan cara yang simpel. Tetaplah mereka adalah orang tua kita yang diperintahkan bagi kita untuk tetap menaatinya, mencintainya dan menghormatinya.

Berhati hatilah dengan jebakan setan yang memungkinkan hubungan Anda sebagai anak dan orang tua kita retak dan pecak.

Sampaikan ketidaksukaan kita dengan kelemahan dan kekurangan orang tua kita dengan cara yang baik dan bijak tanpa memunculkan amarah dari orang tua kita. Bersabar dan maafkanlah

Kemudian tidak ada salahnya memberikan masukan kepada orang tua kita untuk tidak bermudah dalam melakukan tauriyah yang disembunyikan, karena akan berdampak kepada kedustaan dan ketidakpercayaan dari orang-orang sekitar.

Sekali lagi, perbaiki dan tingkatkan kembali komunikasi dengan orang tua kita,jadilah seorang anak yang bisa selalu memaafkan kesalahan orang tua kita, bersabar, berusaha menyenangkan hati mereka, menaati keduanya selama dalam kebaikan, dan menjadi pribadi solutif dan damai terhadap segala permasalahan untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Dengan hal yang kita anggap berat ini selalu berharap Allah selalu memaafkan kesalahan kita dan membahagiakan kita dalam setiap keadaan serta selalu bisa mencintai orang tua kita dengan segala kekurangan yang ada. Wallahu a`lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله

 

Sumber: https://bimbinganislam.com/hukum-tauriyah-dalam-islam/