Pertanyaan:

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ustadz/ah yang dirahmati Allah, saya mau konsultasi tentang dilema yang saya alami. Ceritanya begini ; Saya berasal dari kota M dan belum bercadar. Kemudian sekarang saya sedang merantau ke kota T dan sedang bercadar, karena memang sebenarnya saya sangat ingin bercadar namun di kota asal saya saya mengalami banyak penentangan dari keluarga.

Yang jadi persoalan saya, saya bingung nanti ketika kembali ke kota M saya ingin tetap bercadar, tapi saya takut kalau nanti keluarga menentang. dan saya sudah bersuami dan suami saya senang saya bercadar. Namun ketika sudah kembali ke kota M karena kondisi keluarga yang seperti itu, suami menyarankan agar tidak usah bercadar saja kalau masih di lingkungan rumah.

Tapi kalau mau pergi jauh dari rumah maka bercadar. Dengan harapan orang sekitar rumah akan terbiasa melihat saya bercadar saat pergi jauh sehingga suatu saat nanti saya bisa terus bercadar meskipun ada di rumah.

Apakah saran dari suami saya ini boleh? Karena sebenarnya saya takut kalau seperti itu akan menimbulkan fitnah, takut kalau tetangga menganggap semua orang bercadar sikapnya seperti saya dan saya takut kalau tetangga menganggap sama antara cadar dan masker. Mohon bimbingannya yaa ustadz/ah. Atas jawabannya saya ucapkan jazaakumullah khoiron wa barokallahu fiikum

(Dari NNM Di Surabaya Anggota Grup WA Bimbingan Islam T05 G64).

Jawaban:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Jika saudari penanya termasuk orang yang meyakini bahwa cadar hukumnya sunnah, maka tidak mengapa ia melaksanakan saran suami. Namun jika ia meyakini cadar itu wajib, ia harus tetap mengenakannya dan bersabar menghadapi ujian dan gangguan yang ada. Dengan terus berusaha menjelaskan dan melunakkan hati keluarga dengan kahlak mulia, demikian pula berdoa memohon kebaikan dunia akhirat. Ini semua jika di dalam rumah ada orang lain selain mahramnya. Jika di dalam rumah tidak ada selain mahram, maka ia boleh melepas cadarnya.

Yang demikian karena hukum cadar diperselisihkan para ulama, ada yang mewajibkan dan ada pula yang menyatakan cadar hukumnya sunnah saja alias tidak wajib, dan inilah pendapat yang rajih setahu kami. Diantara dalil yang mendasari hukum sunnah ini ialah firman Allah ta’ala :

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Katakanlah kepada wanita beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya’.” (QS An-Nur : 31).

Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari ketika menguatkan makna firman Allah ; “Kecuali yang biasa tampak dari padanya”, beliau berkata :

وأولى الأقوال في ذلك بالصواب قول من قال: عني بذلك الوجه والكفان، وإنما قلنا ذلك أولى الأقوال في ذلك بالتأويل: لإجماع الجميع على أن على كل مصل أن يستر عورته في صلاته، وأن للمرأة أن تكشف وجهها وكفيها في صلاتها، وأن عليها أن تستر ما عدا ذلك من بدنها، فإذا كان من جميعهم إجماعاً كان معلوماً بذلك أن لها أن تبدي من بدنها ما لم يكن عورة كذلك للرجال، لأن ما لم يكن عورة فغير حرام إظهاره

“Pendapat yang paling utama dalam hal itu dan yang benar ialah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud firman Allah (kecuali yang tampak darinya) adalah ‘wajah dan telapak tangan’.

Dan kami mengatakan pendapat ini yang paling utama dengan ta’wil bahwa semua kalangan sepakat jika orang yang shalat itu wajib menutupi semua auratnya. Dan bahwa wanita itu ketika shalat harus menyingkap wajah dan telapak tangannya, dan harus menutup semua badannya selain wajah dan telapak tangan.

Apabila semua sudah sepakat, maka sudah maklum jika wanita boleh menampakkan bagian badannya selama itu bukan aurat, demikian pula lelaki. Karena sesuatu yang bukan aurat maka tidak haram untuk ditampakkan” (Tafsir Ath-Thabari : 18/84, lihat pula Jilbab Mar’ah Muslimah : 41).

Maka dari itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلا هَذَا وَهَذَا – وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ –

“Wahai Asma’ sesungguhnya wanita itu jika telah mencapai haidh, ia tidak boleh dilihat kecuali ini dan ini, beliau (Nabi) mengisyaratkan ke wajah dan kedua telapak tangan kedua”. (HR Abu Dawud : 4104).

Hadits ini menurut sebagian kalangan dinilai sebagai hadits yang dha’if atau lemah, namun anggapan ini disanggah secara ilmiyyah oleh Imam Al-Albani dalam kitab beliau Ar-Raddul Mufhim dan juga murid beliau Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al-Halabi dalam kitab beliau Tanwirul ‘Ainain.

Imam Al-Albani berkata :

لقد تهافت القوم على نقد متن هذا الحديث وتضعيفه مخالفين في ذلك من قواه من حفاظ الحديث ونقاده : كالبيهقي في ” سننه ” والمنذري في ترغيبه والذهبي في ” تهذيبه ” وغيرهم وقد اختلفت أساليبهم في ذلك فمنعم من قنع بذكر طريق واحدة وتضعيفها ومنهم من زاد على ذلك كما سترى ولكنهم جميعا اتفقوا على نقل ما قيل في الراوي من الجرح دون التوثيق بل إن بعضهم دلس وأوهم أنه ليس هناك موثق بل وأنه في منتهى درجة الضعف بحيث أنه لا يستشهد به وهذا كذب محض كما اتفقوا جميعا على مخالفة قاعدة العلماء في تقوية الحديث

“Sungguh telah tergelincir banyak manusia ketika mereka membantah redaksi hadits ini dan ketika mereka melemahkannya. Mereka menyelisi para ulama ahlil hadits yang telah menguatkannya seperti Imam Al-Baihaqi di dalam Sunan-nya, Imam Al-Mundziri dalam Targhib-nya, Imam Adz-Dzahabi dalam Tahdzibnya dan yang selainnya.

Dan metode mereka didalam melemahkan hadits ini sangat beragam, ada yang mencukupkan diri dengan menyebutkan satu jalur riwayat saja, ada yang lebih sebagaimana yang akan engkau lihat. Akan tetapi mereka semua sepakat terhadap apa yang dinukil dari rawi berupa Jarh (celaan saja) tanpa menyebutkan Tautsiq (pujian).

Bahkan sebagian mereka mengesankan atau menggiring pada opini bahwa hadits ini tidak memiliki penguat, dan bahwa hadits ini sudah berada pada taraf akhir kelemahan hadits yang tidak bisa dikuatkan lagi. Ini semua murni kedustaan, sebagaimana mereka juga bersepakat menyelisihi kaidah ulama di dalam penguatan hadits”. Kemudian beliau berkata kembali : …

وقد ذكر صاحبنا الفاضل علي الحلبي في رسالته النافعة : ” تنوير العينين ” ( ص 17 – 27 ) أقوال أربعة عشر منهم وكل من وقف عليها يتبين أن بعضهم يقلد بعضا وأنهم يخوضون فيما لا علم لهم به والله المستعان

“Dan sahabat kami, pemilik keutamaan, Ali Al-Halabi di dalam risalah beliau yang sangat bermanfaat “Tanwirul ‘Ainain” hal. 17-27, telah menyebutkan empat belas pendapat dari mereka, dan setiap orang yang melihatnya akan tahu bahwa mereka ini hanya bertaklid dan berbicara dengan tanpa ilmu, hanya kepada Allah saja tempat kembali”. (Ar Raddul Mufhim : 79).

Berdasarkan hal ini maka tidak mengapa seorang wanita tidak memakai cadar, meski demikian seluruh ulama menyatakan bahwa memakai cadar jauh lebih baik, lebih utama dan lebih mulia.

Di sisi lain jika ada wanita yang belum memakai cadar, atau kadang ia pakai kadang tidak karena meyakini kesunnahan hukum cadar, ia tidak boleh diingkari, dicela, ataupun dihina, Imam Ibnu Muflih dalam kitab Al-Adab Asy-Syar’iyyah bertutur :

هَلْ يَسُوغُ الْإِنْكَارُ عَلَى النِّسَاءِ الْأَجَانِبِ إذَا كَشَفْنَ وُجُوهَهُنَّ فِي الطَّرِيقِ ؟ يَنْبَنِي عَلَى أَنَّ الْمَرْأَةَ هَلْ يَجِبُ عَلَيْهَا سَتْرُ وَجْهِهَا ، أَوْ يَجِبُ غَضُّ الْبَصَرِ عَنْهَا ، أَوْ فِي الْمَسْأَلَةِ قَوْلَانِ ؟ قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ فِي حَدِيثِ جَرِيرٍ قَالَ : سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفَجْأَةِ { فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي } .رَوَاهُ مُسْلِمٌ ,قَالَ الْعُلَمَاءُ رَحِمَهُمْ اللَّهُ تَعَالَى : وَفِي هَذَا حُجَّةٌ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَسْتُرَ وَجْهَهَا فِي طَرِيقِهَا ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ سُنَّةٌ مُسْتَحَبَّةٌ لَهَا ، وَيَجِبُ عَلَى الرَّجُلِ غَضُّ الْبَصَرِ عَنْهَا فِي جَمِيعِ الْأَحْوَالِ إلَّا لِغَرَضٍ صَحِيحٍ شَرْعِيٍّ

“Apakah boleh mengingkari wanita asing yang menyingkap wajahna di jalan ? Jawaban terbangun di atas masalah apakah wanita itu wajib menutupi wajahnya di jalan atau yang wajib itu menundukkan pandangan darinya, atau di dalam masalah ini ada dua pendapat?

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata dalam hadits Jarir beliau berkata : Aku bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (maka beliau memerintahkan aku agar aku memalingkan padanganku) hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Para ulama’ berkata -semoga Allah merahmati mereka semua- ; Di dalam hadits ini terdapat hujjah bahwa tidak wajib bagi wanita untuk menutup wajahnya di jalan. Akan tetapi hal itu hukumnya sunnah yang disukai.

Dan wajib bagi para lelaki untuk menundukkan pandangan dari wanita tersebut dalam keadaan apapun kecuali untuk tujuan yang dibolehkan syariat”. (Al-Adab Asy-Syar’iyyah : 1/296).

Meski demikian kami tetap mengingatkan di akhir tulisna ini bahwa masalah hukum cadar ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyah yang para ulama berbeda pendapat di dalamnya dan tidak boleh bagi kita memaksakan pendapat kita kepada orang lain, mengejek, melecehkan dan seterusnya.

Adapun menyalahkan diertai diskusi ilmiyyah yang santun maka tidak terlarang karena ilmu tidak mengenal kejumudan, wallahu a’lam.

Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Abul Aswad Al Bayati

Referensi: https://bimbinganislam.com/bolehkah-melepas-cadar-ketika-di-rumah/