Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Ustadz, ibu saya ada penyakit asma (sesak nafas), asmanya selalu kambuh
sampai saya kasian liatnya. Kadang sampai parah hingga tidak bisa berdiri dan susah ngomong. Jadi setiap ibu saya laksanakan puasa (ramadhan—ed), selalu ganti. Jika tiba buka puasa, asma ibu saya selalu kumat. Itu bagaimana ya ustadz hukumnya?

Syukron, jazakallahu khoiron wa barokallohu fiik.

(Disampaikan oleh Awang Nugraha, Admin N09)

Jawaban :

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakaatuh.

Jika sakit ibu dari penanya adalah sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh maka ia boleh meninggalkan puasa dan menggantinya dengan fidyah.

Alasannya karena di sana ada beberapa kelompok manusia yang diperbolehkan meninggalkan puasa dan cukup menggantinya dengan membayar fidyah dengan cara memberi makan kepada fakir miskin sesuai dengan jumlah hari yang ia tinggalkan. Dan tidak usah mengganti puasa di hari yang lain, mereka ini ialah ;

• Lelaki tua yang sudah tidak mampu melaksanakan puasa.
• Wanita tua yang sudah tidak mampu melaksanakan puasa.
• Wanita hamil yang khawatir atas dirinya.
• Wanita menyusui yang khawatir jika berpuasa maka anaknya akan termadharati.
• Orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya.

عن عطاء سمع ابن عباس يقرأ ( وعلى الذين يطوقونه فدية طعام مسكين ) قال ابن عباس : ليست بمنسوخة هو للشيخ الكبير والمرأة الكبيرة لا يستطيعان أن يصوما فليطعما مكان كل يوم مسكينا

Dari Atha’ ia mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma membaca ayat (dan bagi orang yang terasa berat puasa, maka ia memberi makan kepada orang miskin). Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ;

Ayat ini tidak dihapus, ayat ini berlaku untuk lelaki tua dan wanita tua yang tidak mampu melaksanakan puasa. Mereka berdua memberi makan orang miskin sejumlah hari yang mereka tinggalkan”.

(HR. Bukhari : 4505).

Sedangkan dalil tentang bolehnya wanita hamil dan menyusui meninggalkan puasa dan menggantinya dengan fidyah ialah riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma sebagai berikut :

إِذَا خَافَتِ الحَامِلُ عَلَى نَفْسِهَا وَالمُرْضِعُ عَلَى وَلَدِهَا فِي رَمَضَانَ قَالَ: يُفْطِرَانِ، وَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا يَقْضِيَانِ صَوْمًا

“Apabila seorang wanita hamil khawatir atas dirinya dan wanita yang menyusui khawatir atas bayinya di bulan ramadhan, ia berkata : Mereka berdua berbuka/tidak usah puasa dan memberi makan setiap harinya satu orang miskin dan keduanya tidak usah mengqadha’ puasa”

(Diriwayatkan oleh Ath-Thabari di dalam Tafsir Ath-Thabari : 2/136, dan dishahihkan oleh Imam Al-Albani di dalam Irwa’ul Ghalil : 4/19).

عن ابن عمر رضي الله عنهما: أَنَّ امْرَأَتَهُ سَأَلَتْهُ ـ وَهِيَ حُبْلَى ـ فَقَالَ: أَفْطِرِي وَأَطْعِمِي عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا تَقْضِي

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa istri beliau bertanya kepada beliau dalam keadaan hamil, lantas beliau menjawab : Berbukalah dan berilah makan setiap hari satu orang miskin dan jangan kamu mengqadha’.”

(HR Daruquthni : 2388 dishahihkan oleh Imam Al-Albani di dalam Irwa’ul Ghalil : 4/20).

Syaikh Muhammad bin Ali Al-Firkus berkata :

لأنَّ قول ابن عبَّاسٍ وابن عمر رضي الله عنهم انتشر بين الصحابة ولم يُعلم لهما مخالفٌ مِن الصحابة فهو حجَّةٌ وإجماعٌ عند جماهير العلماء، وهو المعروفُ عند الأصوليين بالإجماع السكوتيِّ

“Karena perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum ini sudah tersebar luas di kalangan para sahabat, dan tidak diketahui ada satupun sahabat yang mengingkari keduanya. Maka ini merupakan hujjah/argumentasi dan juga ijma’/konsensus menurut sebagian para ulama. Dan ijma’ ini ma’ruf dikenal di kalangan ulama ahli ilmu ushul sebagai Ijma’ Sukuti”.

(Fatawa Syaikh Muhammad Ali Al-Firkus No. 470).

Wallaahu a’lam.
Wabillahittaufiq.

Dijawab dengan ringkas oleh :
? Ustadz Abul Aswad Al Bayati حفظه الله تعالى

Referensi: https://bimbinganislam.com/bolehkah-puasa-ramadhan-diganti-dengan-fidyah/