Pertanyaan:

izin bertanya ustadz, belakangan ini kita terutama yang di jogja, di jalan-jalan perkotaan, atau pemberhentian di lampu traffic light, kita mendapati banyak orang yang mengamen, entah dengan model musik angklung, atau gitaran, atau yang sedang menjamur model mengamen dengan memakai kostum boneka menari yang diiringi musik, pertanyaannya, dalam pandangan islam apakah boleh memberikan upah pada para pengamen tersebut? Syukron.

 

Jawaban:

Bismillah, alhamdulillah, was sholatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala aalihi wa sohbihi wa man waalah, wa ba’du

Penanya yang budiman, telah lalu beberapa pembahasan perihal musik dan hukum yang berkaitan dengannya, diantaranya pada artikel bimbinganislam berikut: http://bimbinganislam.com/hukum-musik/ , juga dalam artikel berikut: http://bimbinganislam.com/hukum-musik/ dan beberapa artikel yang lainnya, yang kesimpulan akhirnya adalah diharamkan memainkan ala-alat musik karena adanya banyak dalil yang melarang hal tersebut, bahkan para ulama pun banyak yang menukilkan adanya ‘ijma/konsensus dalam tema ini, diantaranya perkataan al-Imam Abu al-Husain al-Bagowy rohimahullah:

وَاتَّفَقُوا عَلَى تَحْرِيم المزامير والملاهي وَالْمَعَازِف ” انتهى من ” شرح السنة ” 12/383

“Para ulama bersepakat haramnya penggunaan seruling, alat-alat yang melalaikan, dan alat-alat musik secara umum”. (Syarhu al-Sunnah juz:12 hal:383)

Juga pernyataan Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali rohimahullah:

آلَةُ اللَّهْوِ كَالطُّنْبُورِ ، وَالْمِزْمَارِ … آلَةٌ لِلْمَعْصِيَةِ ، بِالْإِجْمَاعِ ” انتهى من ” المغني ” 9/132

“Alat-alat yang melalaikan seperti gendang, seruling…kesemuanya adalah alat-alat kemaksiatan secara konsensus ulama”. (Al-Mughny juz:9 hal:132)

Bahkan telah banyak para ulama lintas madzhab yang menukilkan adanya konsensus perihal haramnya nyanyian yang dibarengi dengan alat-alat musik, diantaranya seperti Imam Ibnu Jarir al-Thabary, Imam Abu Bakr al-Aajury, Imam Abu al-Thayyib al-Thabary al-Syafii, Imam Abu Amr ibnu Solah dan yang selain mereka, statement mereka bisa dilihat pada kita “al-Rad ‘ala al-Qhardhawy wa al-Judai’ mulai hal:351”, atau juga bisa dilihat pada kita “Ighotsatu al-Lahfan oleh Ibnu al-Qayyim juz:1 hal 415”.

Dari sedikit paparan di atas, kita simpulkan bahwa memainkan alat-alat musik hukumnya terlarang menurut sudut pandang agama kita, jika hal tersebut dilarang, maka tidak diperkenankan untuk mencari penghidupan dengan perantara alat-alat musik, konsekuensinya adalah tidak boleh seseorang mengamen, menjadi biduan, membentuk group musik, band dan yang sejenisnya, karena pekerjaan-pekerjaan tersebut pasti tidak terlepas dari permasalahan musik.

Ketika pekerjaan-pekerjaan tersebut terlarang menurut perspektif agama, hasil uang yang didapatkan pun tidak terhitung sebagai hasil yang halal, justru merupakan hasil yang haram.

Ketika kita tahu bahwa penghasilan mereka adalah haram, lantas apakah kita boleh memberi upah mereka atas jasa bermusiknya, bernyanyinya dan berjogetnya? Jawabnya adalah tidak dibolehkan kita memberi, dalam kaidah fiqih disebutkan:

ما حرم أخذه حرم إعطاؤه

“Sesuatu yang haram untuk diambil/diterima, maka juga haram untuk memberikannya”

Maksud dari kaidah ini adalah: bahwa sesuatu yang haram untuk diambil oleh seseorang (pihak pertama), maka diharomkan pula bagi orang lain (pihak kedua) untuk memberikannya pada orang tersebut (pihak pertama), entah pemberian tersebut diberikan begitu saja, ataukah diberikan karena landasan timbal balik dari suatu pekerjaan. (al-Mumti’ fi al-Qawaid al-Fiqhiyyah hal:345)

Dalil dari kaidah ini adalah firman Allah ta’ala:

وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Al-Maidah: 2)

Sisi pendalilan dari ayat tersebut: bahwa ketika memberikan sesuatu yang diharamkan terhitung sebagai bentuk pertolongan kepada orang lain untuk mengambil perkara yang haram, maka ini masuk pada kategory saling tolong menolong dalam dosa, padahal ayat telah menegaskan terlarangnya hal tersebut, oleh karenanya jadilah perkara memberikan sesuatu yang haram hukumnya pun adalah haram, sebagaimana hukum asal bagi orang yang mengambilnya juga haram.

Sebagaimana dalam dalil yang lain, hadist Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لعن الله آكل الربا وموكله

“Allah melaknat pemakan harta riba dan orang yang memberikan harta riba tersebut”. (H.R Muslim no:1218)

Sisi pendalilan dari hadist tersebut: dalam hadist tersebut datang penjelasan adanya laknat bagi orang yang memakan/mengkonsumsi harta riba (pelaku), juga kepada orang yang memberikan harta riba tersebut (korbannya), hadist ini secara gamblang menjelaskan bahwa “Sesuatu yang haram untuk diambil/diterima, maka juga haram untuk memberikannya”, karena kedua orang yang disebutkan dalam hadist mereka saling tolong menolong dalam kebatilan.

Hasilnya, tidak diperkenankan bagi kita memberikan upah, recehan, atau materi lainnya kepada para pengamen tersebut, karena penghasilan mereka dari bermusik dan berjoget adalah penghasilan yang haram, dan kita tidak diperkenankan untuk memberi mereka upah, jika kita berikan berarti kita mendukung dan ikut bertolong menolong dalam perbuatan dosa. Betapa banyak sebagian saudara kita yang mengamen (walau tidak semua) , selain mereka menjadi lalai karena sebab musiknya, rata-rata juga banyak yang akhirnya lalai dari ibadah, sampai-sampai waktu solat, adzan berkumandang mereka tidak berhenti dan tidak memenuhi panggilan ilahi untuk ke masjid.

Bentuk lain pengaplikasian dari kaidah fiqih yang disebutkan, misalnya seperti haramnya memberikan tambahan pinjaman (riba), karena tambahan itu haram untuk diambil oleh pemilik piutang, si penghutang pun haram untuk memberikannya.

Aplikasi lain misalnya, telah jelas secara syari bahwa seseorang tidak boleh menerima uang suap/sogokan, maka hukumnya juga haram bagi yang memberikan suap, karena kaidah mengatakan:

ما حرم أخذه حرم إعطاؤه

“Sesuatu yang haram untuk diambil/diterima, maka juga haram untuk memberikannya”.

Ada pengecualian ketika seseorang boleh memberikan upah bagi pengamen, ini dalam kondisi ketika darurat, yaitu ketika terkadang sebagian pengamen memaksa harus diberi ketika meminta upah, dan ditakutkan ketika tidak memberi upah pada pengamen tersebut justru nanti akan mencelakakan keselamatan atau membahayakan, maka silahkan diberi, ini dalam rangka menangkal mudhorot yang akan menimpa, atau karena darurat yang ada sehingga menjadi boleh melakukan perkara haram karena terdesak, dalam kaidah fiqih dikatakan:

الضرورات تبيح المحذورات

“Kondisi darurat membolehkan seseorang melakukan perkara yang terlarang”.

Adapun bagi sebagian kaum muslimin yang mungkin terlanjur punya profesi mengamen, atau biduan, atau bermusik, punya group band, kami memaklumi bahwa memang mencari nafkah terkadang memang susah, yang kemudian menjadikan sebagian dari kaum muslimin terjatuh kepada profesi-profesi yang tidak diperbolehkan, disinilah ujian kita sebagai seorang yang beriman, namun kemudian setelah ketika kita tahu bahwa ternyata profesi kita tidak diperbolehkan menurut tinjauan agama, maka kami mengajak saudara-saudara sekalian, alangkah lebih bagusnya untuk kita tinggalkan profesi tersebut, sembari berusaha semaksimal mungkin mencari mata pencaharian lain yang halal, sungguh seseorang yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik, Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه” صححه الألباني في حجاب المرأة المسلمة

“Barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Dia (Allah) akan menggantinya dengan hal yang lebih baik”. (Dishahihkan oleh al Baani dalam Hijab al Mar’ah al Muslimah)

Percayalah kepada Allah, pasti akan ada jalan keluar jika kita mampu meninggalkan yang haram.

Semoga Allah beri taufiq pada semuanya..

Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله

 

sumber: https://bimbinganislam.com/memberi-upah-pada-pengamen-bolehkah/