Pertanyaan:

Assalamu’alaykum, Ustadz, apa hukum berjalan dalam keadaan shalat untuk mencari sutroh? Semoga Allah selalu menjaga antum dalam kesehatan dan afiyat, serta memberkagi ilmu antum.

Sual: Ana sering lihat ikhwan berjalan menuju sutrah yang ada di depannya saat dalam keadaan shalat, ketika orang yang shalat di depannya pergi. Apakah ini benar? Bukankah mencari sutrah itu saat akan shalat, bukan saat sedang dalam shalat? Apa hukum berjalan menuju sutrah? Baarokallahu fiik.

(Ditanyakan oleh Sabahat Mahad BIAS)

 

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullah wabarokatuh.

Aamiin, jazaakumullah khairan dengan doa yang terpanjang, dan semoga Allah juga memberikan kepada kita semua kebahagiaan di dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Sebagaimana diketahui bahwa khusyu adalah kewajiban yang harus di lakukan bagi seseorang yang melakukan shalat, sehingga apapun yang di lakukan sehingga menyebabkan hilangnya ke-khusyu-an ini maka hukumnya terlarang. Sebagaimana firman Allah ta`alaa:

{قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ}

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (QS al-Mu’minuun: 1-2)”.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Para ulama menafsirkan (arti) khusyu’ dalam shalat yaitu diamnya anggota badan yang disertai dengan ketenangan (dalam) hati.

Maksudnya: menghadirkan/mengonsentrasikan hati dalam shalat dan menjadikan anggota badan tenang, maka tidak ada perbuatan sia-sia dan bermain-main (dalam shalat) disertai hati yang hadir berkonsentrasi menghadap ke pada Allah Ta’ala.

Tatkala hati (seorang hamba) menghadap kepada Allah Ta’ala yang maha mengetahui isi hati, maka pasti hamba tersebut akan (meraih) khusyu’ (dalam shalatnya) dan memusatkan pikirannya kepada Zat yang dia sedang bermunajat kepada-Nya, yaitu Allah Ta’ala.

Kalau demikian khusyu’ adalah sifat ruhani dalam diri manusia yang menimbulkan ketenangan dalam hati dan anggota badan” (Fathu Dzil jalaali wal ikraam bisyarhi buluugil maraam:1/571).


Namun di sisi lain, ada perintah syariat untuk membuat sutrah bagi seseorang yang menjadi imam atau ketika shalat sendirian, guna menghalangi orang yang lewat di depannya, sebagaimana sabda Rasulullah shallahu alaihi wasallam.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ مِنَ الإِْثْمِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Andaikan seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun itu lebih baik baginya dari pada lewat” (HR. Al Bukhari 510, Muslim 507)

إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509)

Dengan beberapa dasar tersebut, maka diperbolehkan bagi seseorang untuk berjalan di depan shaf yang kosong untuk menjadikan tembok/bangunan atau orang yang duduk di depannya sebagai sutrah shalatnya. Namun bila terlalu banyak gerakan atau jauh dalam jangkauan, maka tetap berdiri pada posisinya untuk tetap menjaga banyak gerakan di dalam shalatnya ini lebih baik, terlebih jika ia berkeyakinan bahwa menjadikan sutrah hukumnya sunnah dan tidak sampai hukum wajib, menurut sebagian ulama terkait hukum sutrah, sehingga ia harus mendahulukan kewajiban tentunya.

Sebagaimana fatwa dari Syaikh bin Baz rahimahullah dalam masalah ini ketika ia ditanya dengan permasalahan yang senada, beliau berkata:

“Tidak memudharatkan/membatalkan shalatnya in syaa Allah. Melangkah sedikit sehingga orang-orang bisa lewat di belakang orang yang shalat, ini tidak membatalkan shalatnya, in syaa Allah. Jika masih ada raka’at yang tersisa, maka sempurnakanlah. Namun jika ia tetap pada tempatnya, shalat tetap pada tempatnya, alhamdulillah, ini lebih utama dari pada melangkah”. ( http://www.binbaz.org.sa/mat/14420)

Begitu pula dengan gerakan melangkah untuk mengisi shaf kosong yang ada di depannya,maka diperintahkah untuk mengisi kekosongan shaf di depannya, karena merapatkan shaf hukumnya wajib, maka hendaknya ia maju untuk merapatkan shaf.. Wallahu a’lam.

 

Dijawab dengan ringkas oleh:
USTADZ MU’TASIM, Lc. MA. حفظه الله