Pertanyaan :

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ustadz, saya pernah menonton acara ceramah di televisi, pemateri mengatakan kalau bid’ah itu ada lima. Mohon penjelasannya, Ustadz. Syukron.

(Dari Hamba Alloh Anggota Grup WA Bimbingan Islam)

Jawaban :

وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته

Pembagian tersebut TIDAK BENAR dan BANYAK mengandung KONTRADIKSI.

Sebagian ulama berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima sebagai berikut:

Bid’ah Wajibah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil diwajibkannya sesuatu dalam syariat. Contohnya pembukuan Al Qur’an dan hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dikhawatirkan keduanya akan tersia-siakan. Berhubung menyampaikan risalah Islam kepada generasi berikutnya adalah suatu kewajiban menurut ijma’, dan mengabaikan hal ini hukumnya haram menurut ijma’, karenanya hal-hal seperti ini mestinya tidak perlu diperselisihkan lagi bahwa hukumnya wajib.

Bid’ah Muharramah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil diharamkannya sesuatu dalam syariat. Contohnya berbagai bentuk pajak dan upeti, demikian pula setiap bentuk kezhaliman yang bertentangan dengan norma-norma agama, seperti penyerahan jabatan secara turun temurun kepada orang yang bukan ahlinya (nepotisme).

Bid’ah Mandubah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil dianjurkannya sesuatu dalam syari’at. Contohnya shalat tarawih berjama’ah.

Bid’ah Makruhah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil dimakruhkannya sesuatu dalam syari’at. Contohnya mengkhususkan beberapa hari yang dimuliakan dengan jenis ibadah tertentu, seperti larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa hari Jum’at secara khusus, atau qiyamullail pada malamnya; demikian pula menambah bilangan tertentu dalam wirid dengan sengaja, seperti menjadikan tasbih, tahmid dan takbir selepas shalat menjadi masing-masing 100 kali, dan semisalnya.

Bid’ah Mubahah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil dibolehkannya sesuatu dalam syari’at. Seperti menggunakan ayakan (penapis) gandum sebagai usaha memperbaiki taraf hidup, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah atsar bahwa hal pertama yang diada-adakan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat adalah menggunakan ayakan gandum. Hal ini dibolehkan karena ia merupakan sarana untuk memperbaiki taraf hidup yang hukumnya boleh.

Kaidah-kaidah penting dalam hal ini
Sebelum masuk ke pokok permasalahan, ada beberapa kaidah yang harus kita camkan terlebih dahulu dalam menyikapi pendapat para ulama agar kita tidak terjerumus ke dalam taklid buta, yaitu sebagai berikut:

Berdasarkan ijma’ para ulama, tidak ada seorang pun setelah para sahabat yang pendapatnya menjadi hujjah dalam masalah agama. Adapun para sahabat, maka pendapat mereka masih diperselisihkan apakah cukup kuat untuk dijadikan hujjah ataukah tidak. Sedangkan pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini ialah bahwa pendapat sahabat adalah hujjah dengan syarat-syarat dan kondisi tertentu.

Setiap ulama bisa benar dan bisa salah dalam berpendapat, dan yang menjadi patokan dalam masalah ini adalah dalil syar’i. Mereka hanyalah berijtihad yang bila benar mendapat dua pahala, namun bila salah mendapat satu pahala sedangkan kesalahannya diampuni. Akan tetapi kesalahan mereka tetap tidak boleh diikuti setelah kita mengetahuinya.

Berdasarkan ijma’ para ulama, siapapun yang telah jelas baginya ajaran/hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan hadits tersebut karena mengikuti pendapat orang lain, siapapun orangnya.

Berangkat dari kaidah-kaidah ini, marilah kita nilai sejauh mana kebenaran pembagian bid’ah menjadi lima tadi.

Pertama: jelas sekali bahwa pembagian bid’ah menjadi lima tadi adalah pendapat segelintir ulama yang baru muncul sekian abad setelah generasi sahabat, karenanya ia tidak menjadi hujjah.

Kedua: pendapat tersebut bertentangan dengan hadits-hadits yang mencela setiap bentuk bid’ah. Di samping itu, pembagian bid’ah menjadi lima tersebut saling bertolak belakang, yang menunjukkan akan batilnya pembagian tersebut.

Imam Asy Syathiby mengatakan, “Bagaimana mungkin sesuatu yang sesuai dengan dalil syar’i dinamakan bid’ah, sedangkan di antara hakikat bid’ah itu sendiri ialah: sesuatu yang tidak sesuai dengan dalil syar’i maupun kaidah-kaidahnya? Sebab jika di sana ada kaidah atau dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah mubah, atau mandub (dianjurkan), atau wajib; niscaya tidak akan pernah ada bid’ah dalam agama. Oleh karena itu, pendapat yang di satu sisi mengatakan bahwa hal tersebut merupakan bid’ah, lalu secara bersamaan mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i mengarah kepadanya; adalah pendapat yang menggabungkan antara dua hal yang saling bertolak belakang”.

Ketiga: Apakah dibenarkan bagi seorang muslim setelah mendengar sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa semua bid’ah (dalam agama) adalah sesat, kemudian ia meninggalkannya karena di sana ada sejumlah ulama yang menganggap adanya bid’ah mubahah, mandubah, atau wajibah??

Ada sebuah pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mi’raj ke langit… di sana, beliau sempat melihat beberapa Nabi yang terdahulu. Di antara mereka ada yang pengikutnya hanya sekitar tiga sampai sembilan orang; ada pula yang hanya dua orang; ada yang satu; bahkan ada Nabi yang tak punya pengikut sama sekali.

Artinya; kebenaran BUKAN diukur dari banyak-sedikitnya (kuantitas, -ed) pengikut. Meskipun orang sejagat menolaknya, yang namanya kebenaran tetap kebenaran di sisi Allah Ta’ala.

والله تعالى أعلم

Konsultasi Bimbingan Islam

Dijawab oleh Ustadz Dr. Sufyan Baswedan Lc MA

Referensi: https://bimbinganislam.com/bid-ah-ada-lima/