Kaum Muslimin dimana pun anda berada, ingatlah bahwa ajaran Islam yang mulia akan selalu melekat pada pemeluknya selama dia mengatakan “saya muslim.” Konsekuensi dari ucapan ini, dia harus tunduk pada seluruh sendi-sendi aturan agama, tetap berada di dalam koridor syari’at serta tidak melampaui batas.
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
(QS. Al Ahzab : 36).

Ayat yang mulia di atas menjadi petunjuk bahwa Allah Ta’ala mengabarkan kepada siapa saja bahwa tidak semestinya dan sepantasnya bagi seorang yang mengaku islam, yang diperintahkan oleh Allah Yang Maha Kuasa dengan tauhid dan tunduk dengan ketaatan; Jika Allah Ta’ala dan Rasul-Nya perintahkan, (lebih) mendahulukan pendapatnya untuk menyelisihi perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, atau meninggalkan untuk dirinya dengan melakukan pilihanan untuk mengerjakan ataukah meninggalkan.
Karena sebab sifat seorang yang beriman : tunduk dengan sempurna, berserah diri dengan sempurna; Dan barangsiapa yang menyelisihi Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ dalam segala urusannya, maka dia akan tersesat dengan kesesatan yang nyata dan terang serta jauh dari jalan kebenaran.

Cukup 2 Hari Raya saja
Pujian dan sanjungan yang sempurna hanyalah milik Allah Ta’ala, dimana telah menjadikan bagi kita kaum muslimin musim dan moment kebaikan dan pahala di sepanjang tahunnya, selalu berulang dengan segala rasa suka cita yang ada.
Hikmahnya agar keutamaan dan pahala tersebut terus mengalir bagi umat ini. Ini merupakan karunia dan rahmat yang agung yang wajib disyukuri sebagai seorang hamba.
Dahulu sahabat yang mulia Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu pernah bercerita ;

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةَ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ قَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan penduduk Madinah kala itu memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain di masa jahiliyah, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa jahiliyah. Sungguh Allah Azza wa Jalla telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu; yaitu hari Nahr (‘Idul Adh-ha) dan hari Fithr (‘Idul Fithri).
(Hadits shahih. HR. Abu Daud, no. 1134).

Hari raya berasal dari bahasa Arab, secara bahasa diungkapkan dengan kata ‘ied ( العِيْدُ ) adalah hari yang padanya ada perkumpulan (manusia). Kata ‘ied ( العِيْدُ ) berasal dari kata ‘aada – ya’udu ( عَادَ – يَعُودُ ) yang berarti kembali, karena seolah-oleh mereka kembali (berkumpul) lagi.
Adapula yang berpendapat bahwa kata ‘ied ( العِيْدُ ) berasal dari kata ‘aadah ( العَادَةُ ) yang bermakna kebiasaan, karena mereka menjadikannya (yakni perkumpulan tersebut) sebagai kebiasaan. Jamak kata ‘ied ( العِيْدُ ) adalah a’yâd ( الأَعْيَادُ ).

Sedangkan menurut istilah, ‘ied ( العِيْدُ ) yang bentuk jamaknya a’yâd ( الأَعْيَادُ ) adalah hari perayaan (perkumpulan) karena suatu peringatan yang membahagiakan, atau mengembalikan perayaan (pertemuan) dengan suatu peringatan yang membahagiakan. Salah satu dari dua hari raya itu ialah hari raya berbuka (‘Iedul Fithri), sedang satunya lagi ialah hari raya berkurban (‘Iedul Adha).
( Lihat Mu’jam Lughatil Fuqaha, hal. 294. oleh Dr. Muhammad Rawwas )

Maka berdasarkan hal ini, siapa saja dari kaum muslimin yang mengadakan hari raya baik itu dengan ucapan selamat, ikut berbahagia dengan perayaan tersebut yang bukan dengan 2 hari raya Islam, baik itu hari raya berbuka (‘Iedul Fithri), sedang satunya lagi ialah hari raya berkurban (‘Iedul Adha), maka sungguh dia telah melampaui batas dam berada di luar koridor syari’at.

Hari Raya Itu Perkara Aqidah
Hari raya itu masuk ranah aqidah? Kenapa?
betul, hari raya itu masuk permasalahan Iman dan Aqidah, karena selalu berulang di setiap tahun, ada perayaan dan ritual khusus di dalamnya serta ucapan keselamatan atas hari tersebut.

Ucapan Selamat hari raya ini, …, dst. Berkonsekunsi ikut merayakan walaupun hanya sekedar ucapan pendek, ucapan selamat belaka. Maka dalam kasus-kasus semacam ini berlaku kaidah dalam agama kita yang mulia ; bagimu Agamamu dan bagiku Agamaku.
Inilah toleransi haqiqi dimana seorang muslim sejati berlepas diri dari amalan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak pernah bersujud kepada Allah Ta’ala lagi tidak beriman kepadaNya.

Seorang hamba yang masih memiliki keimanan di hatinya seharusnya peka dan sadar bahwa jenis ibadah apa pun yang ia lakukan, tentu saja harus mengikuti apa yang diajarkan oleh sesembahanNya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pengikutnya menyembah Allah Ta’ala sesuai dengan apa yang Allah Azza Wa Jalla syariatkan.
Inilah konsekuensi dari kalimat Ikhlas “Laa ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah.” Maksud kalimat yang agung ini adalah “Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah Ta’ala, dan jalan cara untuk melakukan ibadah tersebut adalah dengan mengikuti ajaran Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wasallam.” Orang-orang musyrik melakukan ibadah kepada selain Allah Yang Maha Esa, padahal tidak diizinkan.
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepada mereka,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
(QS. Al Kafirun : 6)

Maksud ayat ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقُلْ لِي عَمَلِي وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ

“Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Yunus : 41).

Dalam ayat yang lain :

لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ

“Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.”
(QS. Asy Syura: 15).

Pertanyaannya sekarang; adakah yang mau belajar toleransi yang benar dari ajaran Islam?

Wallahu Ta’ala A’lam.

Disusun oleh:
Ustadz Fadly Gugul حفظه الله

 

sumber:  https://bimbinganislam.com/bagimu-agamamu-bagiku-agamaku/