Pertanyaan

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه

Ustadz, saya pernah mendengar dari salah satu ustadz, katanya jika orang mukmin meninggal tidak akan merasakan sakitnya sakaratul maut, bahkan ruhnya keluar dari jasadnya seperti air keluar dari mulut kendi.

Akan tetapi saya membaca pada hadits detik-detik wafatnya
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, saat malaikat maut mencabut nyawanya urat leher beliau menegang dan nabi sampai berucap ke malaikat Jibril “Alangkah sakitnya sakaratul maut ini ya Jibril”.

Kenapa ini bertentangan dengan hadits di atas yang mengatakan bahwa meninggalnya orang-orang mukmin tidak akan merasakan sakaratul maut bahkan ruhnya cepat keluar seperti air keluar dari mulut kendi.

Saya sangat ingin tahu penjelasannya ustadz, agar keimananan saya lebih mantap.

Jazakallahu khoiron.

( Dari Fulan, Sahabat BiAS)

Jawaban

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.

Tentang sakaratul maut, sejatinya ia adalah proses yang menegangkan sekaligus menyakitkan, walau juga ada pengecualian bagi orang yang Alloh kehendaki berupa kematian yang mudah.

Berita tentang sakaratul maut yang menjadi proses perpisahan jasad dengan ruh dicantumkan Alloh dalam firmanNya,

وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَاكُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya”. [Qaaf: 19]

Juga ayat:

كَلآ إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ {26} وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ {27} وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ {28}

“Sekali-kali jangan. Apabila nafas telah sampai kerongkongan. Dan dikatakan (kepada yang menjalani sakaratul maut): “Siapakah yang dapat menyembuhkan”. Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan”.
[QS Al Qiyamah: 26-28]

Syaikh Sa’di menjelaskan: “Alloh mengingatkan para hamba-Nya dengan keadan orang yang akan tercabut nyawanya, bahwa ketika ruh sampai pada taraqi yaitu tulang-tulang yang meliputi ujung leher (kerongkongan), maka pada saat itulah penderitaan mulai berat, (maka ia) mencari segala sarana yang dianggap menyebabkan kesembuhan atau kenyamanan. Karena itu Alloh berfiman:

“Dan dikatakan (kepada yang menjalani sakaratul maut): “Siapakah yang akan menyembuhkan?” artinya siapa yang akan meruqyahnya dari kata ruqyah. Pasalnya, mereka telah kehilangan segala terapi umum yang mereka pikirkan, sehingga mereka bergantung sekali pada terapi ilahi. Namun qodho dan qodar jika datang dan tiba, maka tidak dapat ditolak. Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan dengan dunia”.
[Taisir Al Karimi Ar Rahman Fi Tafsiri Kalami Al Mannan hal: 833]

Sementara itu, sakaratul maut bagi orang yang beriman secara umum adalah mudah, Alloh menyatakan secara tegas dalam firmanNya bahwa para malaikat menghampiri orang-orang yang beriman, dengan mengatakan janganlah takut dan sedih serta membawa berita gembira tentang syurga;

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلآتَخَافُوا وَلاَتَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ {30}

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: “Rabb kami adalah Alloh kemudian mereka beristiqomah, maka para malaikat turun kepada mereka (sembari berkata):” Janganlah kamu bersedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) syurga yang telah dijanjikan Alloh kepadamu”.
[QS Fushshilat: 30]

Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya: “Sesungguhnya orang-orang yang ikhlas dalam amalannya untuk Alloh semata dan mengamalkan ketaatan-Nya berdasarkan syariat Alloh, niscaya para malaikat akan menghampiri mereka tatkala kematian menyongsong mereka dengan berkata,

“Janganlah kalian takut atas amalan yang kalian persembahkan untuk akhirat dan jangan bersedih atas perkara dunia yang akan kalian tinggalkan, baik itu anak, istri, harta atau agama, sebab kami akan mewakili kalian dalam perkara itu. Mereka (para malaikat) memberi kabar gembira berupa sirnanya kejelekan dan turunnya kebaikan”.

Ibnu Katsir pun juga menukil perkataan Zaid bin Aslam: “Kabar gembira akan terjadi pada saat kematian, di alam kubur, dan pada hari kebangkitan”.
[Tafsiru Al Quranil ‘Azhim 4/100-101]

Adapun apa yang dialami
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, berupa rasa sakit dalam proses sakaratul maut dapat kita lihat lewat beberapa riwayat yang shohih, seperti dari sahabat Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu, ia berkata,

لَمَّا ثَقُلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ يَتَغَشَّاهُ فَقَالَتْ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا السَّلَام واكرْبَ أَبَاهُ فَقَالَ لَهَا لَيْسَ عَلَى أَبِيكِ كَرْبٌ بَعْدَ اليَوْمِ

“Tatkala kondisi Nabi makin memburuk, Fathimah berkata: “Alangkah berat penderitaanmu ayahku”. Beliau menjawab: “Tidak ada penderitaan atas ayahmu setelah hari ini”. [HR Bukhari 4446]

Juga dijelaskan lewat penuturan langsung dari ‘Aisyah rodhiallohu ‘anha,

مَا أَغْبِطُ أَحَدًا بِهَوْنِ مَوْتٍ بَعْدَ الَّذِي رَأَيْتُ مِنْ شِدَّةِ مَوْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Aku tidak iri kepada siapapun yang mudah saat proses kematiannya, setelah aku melihat kepedihan dalam kematian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam”.
[HR Tirmidzi 979]

Sampai di sini kita bisa tahu bahwa penderitaan yang dialami saat sakaratul maut adalah sesuatu yang nyata, kendati bagi orang beriman pada umumnya adalah hal yang mudah, namun tetap saja ada kepedihannya, dan kepedihan setiap orang berbeda-beda.

Maka jangan dipahami kepedihan dalam sakaratul maut yang dialami Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah sebuah kehinaan, karena justru sebagai pengangkat kedudukan.

Ibnu Hajar menjelaskan: “Dalam hadits tersebut, kepedihan atau kesengsaraan (saat) sakaratul maut bukan petunjuk atas kehinaan (seseorang). Dalam konteks orang yang beriman bisa untuk menambah kebaikannya atau menghapus kesalahan-kesalahannya”. [Fathul Bari Syarhu Shohihil Bukhori 11/363]

Di antara hikmah pedihnya sakaratul maut yang dialami orang beriman adalah agar orang-orang bisa melihat dan merasakan bahwa sakitnya kematian bukanlah sebuah hal yang bisa disepelekan, sehingga untuk mengahadapinya pun tidak bisa dengan persiapan yang sepele.

Selain itu, kepedihan yang dialami para nabi dan rosul serta orang-orang sholih di penghujung hidupnya bukanlah sebuah aib ataupun siksaan, melainkan untuk meningkatkan derajat mereka di sisi Alloh, serta memperbesar pahala-pahala mereka sebelum meninggal.

Dan bukan berarti Alloh mempersulit proses kematian mereka melebihi kepedihan orang-orang yang bermaksiat. Sebab kepedihan ini adalah hukuman bagi mereka dan sanksi untuk kejahatan mereka. Tidak bisa disamakan dengan yang dialami orang beriman.

Sebagai tambahan, ada doa yang bisa kita praktekkan agar tidak terpedaya oleh gangguan syaitan saat sakaratul maut, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam,

أَعُوذُ بِكَ أَن يَتَخَبَّطَنِي الشَّيطَانُ عِندَ المَوتِ

“Aku berlindung kepada-Mu agar tidak disesatkan setan ketika kematian.”
[HR Abu Daud 1328]

Semoga Alloh kokohkan hati kita untuk sami’na wa atho’na pada dalil yang shohih dengan pemahaman salafus sholih.

Wallahu ‘Alam.
Wabillahittaufiq.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله

Referensi: https://bimbinganislam.com/sakaratul-maut-yang-dirasakan-rasulullah-2/