Pertanyaan

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه

Ustadz, ana mau tanya apakah taqlid diperbolehkan?

Ada teman ana yang berkata itjihad dan taqlid adalah salah satu bahasan ushul fiqih dari Syaikh Utsaimin, dan di dalam kitabnya dibolehkan taqlid.

Sebagai penuntut ilmu, bagaimana kita menyikapi hal ini?

Bukankah kita tidak boleh taqlid kepada pendapat siapapun bahkan semua imam mengatakan jika ada perkataanku yang menyelisihi sunnah Rasulullah ﷺ , maka buang pendapatku ke tembok, ambil Sunnah Rasullullah ﷺ

Jazaakallahu khoiron wa baarakallaahu fiik.

( Dari Dimas Mulyono, admin BiAS N-07 )

Jawaban

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.

Semoga kita semua, anda dan saya, dimudahkan untuk menjalani syari’at dan memahami fiqh maupun ushul fiqh, yang merupakan jendela untuk bisa mangamalkan ibadah dengan baik dan benar.

Sebelum kita membahas bagaimana kedudukan taqlid bagi penuntut ilmu, mari kita pahami dulu makna dari taqlid tersebut.

Taqlid secara makna bahasa sebagaimana yang disampaikan oleh Syeikh Utsaimin dalam pembahasan ini:

وضع الشيء في العنق محيطاً به كالقلادة

“Meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkan padanya seperti tali kekang.”

Adapun untuk makna istilah , ada beberapa perbedaan pendapat yang didefinisikan oleh para ulama, namun intinya sama. Diantaranya seperti yang disampaikan Ibnu Qudamah rohimahulloh tentang makna taqlid:

قَبُوْلُ قَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ

Menerima perkataan orang lain dengan tanpa hujjah. [Roudhotun Nadzhir, hlm 205]

Dan yang dimaksud dengan hujjah adalah dalil yang dipandang syari’at sebagai ketetapan hukum seperti al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.

√ Keberadaan hujjah inilah yang menjadi pembeda antara taqlid dengan ittiba’, sama-sama mengambil pendapat dari orang lain.

-Namun taqlid berarti tanpa melihat dalil dari orang lain tersebut.
-Sedangkan ittiba’ dilakukan dengan tetap melihat serta mempelajari dalil dari orang lain tersebut.
– Ditinjau dari sisi pengamalan, taqlid diperbolehkan bagi orang awam, sementara bagi tholibul-‘ilm baginya adalah ittiba’.

• Dalil landasan taqlid adalah firman Alloh:

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (QS An-Nahl 43)

Bahkan Imam Asy-Syathibi rohimahulloh mengatakan berkenaan dengan ayat di atas :

فَتَاوَى الْمُجْتَهِدِينَ بِالنِّسْبَةِ إِلَى العَوَامِّ كَالأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْمُجْتَهِدِينَ. وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ أَنَّ وُجُودَ الأَدِلَّةِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْمُقَلِّدِينَ وَعَدَمَهَا سَوَاءٌ؛ إِذْ كَانُوا لَا يَسْتَفِيدُونَ مِنْهَا شَيْئًا؛ فَلَيْسَ النَّظَرُ فِي الأَدِلَّةِ وَالاِسْتِنْبَاطِ مِنْ شَأْنِهِمْ، وَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ لَهُمْ أَلْبَتَّة وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ} [النحل: 43].

“Fatwa ulama mujtahid bagi orang awam seperti dalil syar’i. Hujjahnya adalah bahwa keberadaan dalil bagi para pelaku taqlid sama dengan ketiadaan dalil, sebab mereka tidak dapat mengambil manfaat darinya (dalil). Tela’ah dalil secara langsung dan penyimpulan hukum bukan urusan mereka dan tidak boleh mereka melakukan hal itu, dan Alloh telah berfirman: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (QS An-Nahl 43)” [Al-Muwafaqat, 5/337].

Begitu juga yang disampaikan Ibnu Abdil Barr rohimahulloh:

أَنَّ الْعَامَّةَ عَلَيْهَا تَقْلِيدُ عُلَمَائِهَا وَأَنَّهُمُ الْمُرَادُونَ بِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ} [النحل: 43]

“Bahwa orang awam hendaklah taqlid kepada ulama mereka, bahwa merekalah yang dimaksud dengan firman Alloh ‘Azza wa Jalla: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An-Nahl 43)”. [Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fadlih, 2/988].

Karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh menjelaskan dalam majmu’ fatawa tentang bolehnya taqlid bagi orang awam :

وَتَقْلِيدُ العَاجِزِ عَنِ الاِسْتِدْلَالِ لِلْعَالِمِ يَجُوزُ عِنْدَ الجُمْهُورِ

“Dan taqlid seorang yang tak mampu menela’ah dalil kepada seorang ulama adalah boleh menurut mayoritas ulama”.
[Majmu’ Al-Fatawa, 19/262].

• Pun demikian taqlid juga ada aturannya :
» Orang yang bertaqlid kepada orang yang tidak ia ketahui keahliannya, sama halnya ia telah mengikuti sesuatu yang tidak ia ketahui hakikatnya, maka haram hukumnya .

» Begitu pula bertaqlid kepada orang yang menurutnya ‘alim tapi menyelisihi nash, maka ini merupakan ta’asshub atau fanatik yang salah, dan ini juga termasuk taqlid yang haram.

# Lantas bagaimana sikap kita yang tepat sebagai tholibul-‘ilm dalam menyikapi taqlid? Bolehkah kita ber-taqlid?

» Jawabannya boleh , dengan 2 perincian sebagai berikut :

1. Taqlidnya kepada Alloh melalui Al-Qur’an serta kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam melalui Hadits shahih.

Ini sejatinya bukan taqlid dalam makna hakiki, melainkan ittiba’. Dan inilah yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim . Karena Qur’an dan hadits adalah wahyu yang terpelihara, sehingga siapapun yang berpegang kepada keduanya tidak akan sesat selama-lamanya.

Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman,

قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَفِرِيْنَ

Artinya: “Katakanlah (Muhammad): ‘Taatilah Alloh dan Rosul-Nya. Jika kamu berpaling, ketahuilah sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang kafir.’” (QS Ali ‘Imron 32)

Juga sabda dari beliau, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَصْبَحَ فِيكُمْ مُوسَى ثُمَّ اتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُونِي لَضَلَلْتُمْ إِنَّكُمْ حَظِّي مِنْ الْأُمَمِ وَأَنَا حَظُّكُمْ مِنْ النَّبِيِّينَ

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sekiranya Musa berada di tengah-tengah kalian, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, niscaya kalian akan tersesat. Kalian adalah bagianku dari ummat manusia dan aku adalah bagian kalian dari para Nabi”. [HR Ahmad 17613]

Coba perhatikan baik-baik, jika Nabi Musa ‘alaihis salam saja tidak boleh untuk diikuti setelah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyampaikan risalahnya, maka bagaimana mungkin orang selain beliau boleh untuk diikuti? Karenanya untuk kasus ini tidak ada orang yang lebih layak untuk di-taqlid-ti selain beliau, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam

2. Taqlid yang terkhusus atau tertentu, yakni seseorang yang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah atau belum mampu untuk mengetahui yang benar dari paparan dalil ataupun melalui ijtihad, terlebih jika “hanya” dalam masalah furu’ atau cabang, dan bukan dalam masalah yang ushul.

Contoh :
Ada seseorang yang mahir dalam bidang aqidah dan ilmu hadits, namun ia lemah dalam permasalahan muamalah dan hitung-hitungan mawarits (warisan), hingga untuk 2 masalah tersebut ia bertanya kepada pakar muamalah Islam dan ahli bidang mawarits, maka hal ini sah-sah saja.
Boleh baginya bertaqlid pada 2 pakar tersebut. Secara pribadi ia bukan orang awam karena paham tentang dalil dan perkara ushul, tapi dalam salah satu perkara cabang ia ber-taqlid pada orang yang memang ahli di bidangnya.

Namun istilah taqlid di atas memang harus diperjelas lagi terutama bagi tholibul-‘ilm, harus dipahami perbedaannya dengan baik, karena sepintas akan terkesan sama, sehingga tidak menutup kemungkinan orang akan berprasangka bahwa seorang yang sudah berilmu masih saja bertaqlid kepada orang lain, padahal tatkala mengikuti pendapat orang lain itu sejatinya ia mengikuti atau sepakat dengan dalil yang menjadi hujjah orang lain tersebut, dan itu ittiba’, hanya saja masih banyak orang menyangka itu adalah taqlid.

Alloh juga berfirman dalam surat An-Nisa tentang kepatuhan pada Ulil Amri

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh, taatilah Rosul (Nya) dan ulil amri di antara kamu”.
(QS An-Nisa 59)

Dalam ayat ini Alloh Azza wa Jalla memerintahkan agar mentaati ulil amri. Ulil amri adalah umaro’ (penguasa) dan ulama’. Berdasarkan perintah ini mentaati mereka adalah wajib, baik dalam perkara yang diperintahkan oleh Alloh dan RosulNya atau dalam perkara yang mubah. Maka berarti taqlid kepada ulama’ dalam perkara yang bukan maksiat hukumnya boleh , apalagi dalam cabang perkara agama yang belum kita ketahui, dan apalagi jika ‘ulama tersebut juga menjabat sebagai pemimpin.

Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dalam memahami perkara-perkara ushul maupun perkara furu’ dalam agama.

Wallohu A’lam
Wabillahit Taufiq.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله

Referensi: https://bimbinganislam.com/sikap-penuntut-ilmu-terhadap-taqlid-dan-ijtihad/