Pertanyaan :
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam kebaikan dan lindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ustadz, saya mau tanya bagaimana hukumnya mengenai status habaib atau para habib di Indonesia? Apakah benar nasabnya sampai ke rasulullah? Jika benar bagaimana menyikapi nya? Jika salah bagaimana pula menyikapi nya?
Jazakallah khairan
(Disampaikan oleh Fulan, penanya dari media sosial bimbingan islam)
Jawaban :
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.
Selamat datang di Media Sosial Bimbingan Islam, semoga Allah selalu membimbing kita di dalam jalan keridhoan-Nya.
1-Habaib di Indonesia
Habaib adalah jama’ dari habib, secara bahasa artinya orang yang mencintai dan orang yang dicintai.
Adapun istilah habib di Indonesia, menurut Ismail Fajrie Alatas, bahwa yang dimaksud dengan Habib adalah seluruh keturunan Alawiyin dari Hadhramaut, Yaman. Yaitu keturunan ‘Ali bin Ubaidillah bin Ahmad Isa, keturunan ke 10 dari Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah, rodhiyallohu ‘anuma, yang tersebar di Hadhramaut itu sendiri, Asia Tenggara, dan Pesisir Swahili di Afrika Timur.
(Lihat: Ismail Fajrie Alatas, Habaib in Southeast Asia, The Encyclopaedia Of Islam Three (Leiden: Brill, 2018), hlm 56. Lihat juga: Melacak Asal Usul Habib di https://ganaislamika.com/tentang-gana/)
2-Apakah Nasab Habib Sampai Kepada Rasulullah?
Dengan keterangan di atas, maka istilah habib ini ditujukan untuk sebagian keturunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam. Namun keturunan Nabi tidak terbatas dari jalur keturunan ‘Ali bin Ubaidillah bin Ahmad Isa, bahkan juga dari jalur-jalur lain yang memang bersambung dengan nasab Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam.
Tetapi pengakuan seseorang, bahwa dia adalah seorang habib, bisa benar atau bisa dusta. Karena sejak zaman dahulu, ada sebagian orang yang mengaku sebagai keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam, namun kenyataannya tidak demikian.
Imam Adz-Dzahabi (wafat th 748 H), menjelaskan tentang pimpinan kelompok Syadziliyyah, yaitu Abul Hasan Asy-Sydziliy (wafat th 656 H),
“Di dalam sebagian buku-buku karyanya tentang Tashowwuf, dia menisbatkan dirinya kepada Ali bin Abi Tholib, lalu dia menyebutkan nasabnya: Ibnu Yusya’ bin Warod bin Baththol bin Muhammad bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Al-Hasan bin Ali rodhiyallohu ‘anhu”.
Lalu imam Adz-Dzahabi berkata, “Nasab ini majhul (tidak dikenal), tidak sah dan tidak tsabit (shahih; benar)”.
(Lihat Tarikhul Islam, 48/273-274)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baz rohimahulloh (wafat th 1420 H) berkata: “Adapun metode menetapkan nasab syarif (nasab keturunan keluarga Nabi), itu diketahui dengan banyak perkara:
Pertama: Pernyataan Ahli Sejarah terpercaya bahwa keluarga Fulan termasuk Ahlul Bait (keluarga Nabi), dan diketahui bahwa seseorang yang terkenal berasal dari keluarga yang dinyatakan Ahli Sejarah terpercaya bahwa keluarga Fulan termasuk Ahlul Bait.
Kedua: Bahwa orang yang mengaku bahwa dia berasal dari Ahlul Bait memiliki dokumen (surat keterangan) yang benar dari sebagian hakim-hakim yang diakui, atau dari ulama yang terpercaya, bahwa dia berasal dari Ahlul Bait.
Ketiga: Terkenal di kalangan penduduk suatu daerah bahwa keluarga Fulan termasuk Ahlul Bait.
Keempat: Adanya bukti yang nyata (saksi yang adil), tidak kurang dari dua orang yang bersaksi atas hal itu, persaksiannya itu berdasarkan sesuatu yang bisa dijadikan sandaran, seperti sejarah yang dipercaya atau dokumen-dokumen yang dapat diterima, atau riwayat dari orang-orang yang diterima.
Adapun sekedar pengakuan yang tidak ada pembenarannya, maka tidak layak dijadikan sandaran, baik dalam masalah ini atau lainnya”.
(Fatawa islamiyah, 4/531)
3-Sikap Kepada Ahlul Bait Nabi
Perlu diketahui bahwa dzuriyah Nabi (keturunan Nabi) shallallahu ‘alaihi wassallam tidak terbatas dengan yang disebut dengan habib atau habaib. Sebab putri Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam yang mempunyai keturunan bukan hanya Fatimah rodhiyallohu ‘anha. Demikian pula putra Fatimah rodhiyallohu ‘anha bukan hanya Al-Husain bin Ali Fatimah rodhiyallohu ‘anhuma.
Demikian juga Ahlul Bait Nabi, atau keluarga Nabi, bukan hanya keturunan Nabi, bahkan Ahlul Bait Nabi mencakup para istri Nabi, keturunan Nabi, keluarga Bani Hasyim dan keluarga Bani Muthalib, yang haram menerima zakat.
Jika memang seseorang terbukti sebagai seorang muslim atau mukmin, dan dia termasuk keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam, maka ada hak-hak bagi mereka, antara lain:
1. Hak dicintai, dijaga, dan dibela oleh kaum muslimin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh (wafat 728 H) berkata:
وَيُحِبُّونَ أَهْلَ بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ويتولونهم وَيَحْفَظُونَ فِيهِمْ وَصِيَّةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيْثُ قَالَ يَوْمَ غَدِيرِ خُمٍّ: أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
“Mereka (Ahlus Sunnah) mencintai Ahlul Bait Rosululloh shallallahu ‘alaihi wassallam, memberikan wala’ (kecintaan; dukungan), menjaga wasiat Rosululloh shollallahu ‘alaihi wasallam tentang Ahlul Bait, yang mana beliau bersabda pada hari Ghodir Khum: “Aku ingatkan kamu kepada Alloh tentang Ahlul Bait-ku, aku ingatkan kamu kepada Alloh tentang Ahlul Bait-ku”.
(Majmu’ Fatawa, 3/154)
2. Hak diakui kemuliaan nasabnya.
عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ اللهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ، وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ
Dari Watsilah bin Al-Asqo’, dia berkata: Aku mendengar Rosululloh shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinaanah dari anak-anak Ismaa’iil, dan telah memilih Quraisy dari (anak-anak) Kinaanah, dan telah memilih Bani Haasyim dari anak-anak Quraisy, dan telah memilihku dari Bani Haasyim”
(HR. Muslim no. 2276; dll)
Dan hak-hak lain yang dijelaskan oleh para Ulama Ahlus Sunnah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kemudian, jika ada orang yang berdusta dengan mengaku sebagai keturunan Nabi, tentu dia menanggung dosa yang sangat besar, dan tidak ada kemuliaan baginya. Bahkan pelakunya diancam dengan laknat yang besar. Diriwayatkan di dalam sebuah hadits yang shahih:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ”
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menisbatkan kepada selain bapaknya, atau mengaku mantan budak kepada orang yang tidak memerdekakannya, maka dia akan menerima laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia”.
(HR. Ibnu Majah, no. 2609. Dishahihkan oleh syaikh Albani)
4- Kemuliaan Dengan Taqwa Bukan Nasab
Kemudian yang perlu diingatkan di sini, bahwa kemuliaan adalah dengan ketaqwaan kepada Allah, karena sesungguhnya semua manusia berasal dari manusia yang sama, yaitu Nabi Adam dan ibu Hawa ‘alaihimas salam. Alloh Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Al-Hujurat/49: 13)
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam telah mengumumkan kepada para kerabat beliau bahwa beliau tidak mampu menolak siksa Alloh terhadap mereka, maka bagaimana terhadap orang yang jauh dari beliau? Di dalam sebuah hadits yang shohih disebutkan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ }وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِين{ قَالَ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا
Dari Abu Huroiroh –semoga Alloh meridhoinya-, dia berkata: “Ketika turun firman Alloh {Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat} (QS. 26:214), Rosululloh shollallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan berkata: “Wahai jama’ah Quroisy –atau kalimat semacamnya- belilah diri-diri kamu, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Alloh terhadap kamu sedikitpun. Wahai Bani Abdu Manaf, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Alloh terhadap kamu sedikitpun. Wahai ‘Abbas bin Abdul Muth-tholib, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Alloh terhadap-mu sedikitpun. Wahai Shofiyyah bibi Rosululloh, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Alloh terhadap-mu sedikitpun. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah dari hartaku yang engkau kehendaki, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Alloh terhadap-mu sedikitpun”.
(HR. Bukhori, no: 2753; Muslim, no: 206; dan lainnya)
Oleh karena itu, kemuliaan nasab tidak boleh menjadi sebab kesombongan dan kebanggan, kemudian merendahkan orang lain. Namun itu adalah kenikmatan yang harus disyukuri dengan ketaatan.
Wallahu ta’ala a’lam
Disusun oleh:
Ustadz Muslim Al-Atsari حفظه الله
sumber: https://bimbinganislam.com/sikap-kepada-habib-dan-status-habib-di-indonesia/