Pertanyaan

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه

Semoga Ustadz dan keluarga senantiasa dalam lindungan Allah Ta’ala.

Ustadz,
Setiap orang pada dasarnya memiliki aib, tak terkecuali seorang ‘Ustadz’ sekalipun.

Suatu hari saya mendengar aib-aib dari Ustadz Fulan, bahwa Ustadz tersebut ‘suka bermain perempuan’, dan memang diketahui bahwa beliau berniat untuk poligami, namun sangat disayangkan beliau menempuh jalan yang salah.

Yang ingin saya tanyakan adalah:

1. Apakah saya berdosa karena telah ikut mendengar aib-aib tersebut dari lisan orang lain?
2. Bagaimana hukumnya kami mengambil ilmu dari Ustadz tersebut?

Syukron, Ustadz.

Jazaakallaahu khoiron wa baarakallaahu fiik.

( Dari Fulanah, admin BIAS T05)

Jawaban

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.

Benar, setiap hamba Alloh pasti pernah berbuat salah, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang masyhur,

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.

“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.” [Tirmidzi 2499, Ibnu Majah 4251]

Bahkan dalam hadits yang lain memang disebutkan bahwa kesalahan, aib, atau dosa adalah fithroh manusiawi yang tak mungkin bisa dihapuskan, Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

لَوْ أَنَّ الْعِبَادَ لَمْ يُذْنِبُوْا، لَخَلَقَ اللهُ خَلْقًا يُذْنِبُوْنَ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُوْنَ، ثُمَّ يَغْفِرُ لَهُمْ وَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

“Seandainya hamba-hamba Alloh tidak berbuat dosa, niscaya Alloh akan menciptakan makhluk yang berbuat dosa kemudian mereka istighfar (minta ampun kepada Allah), kemudian Allah mengampuni dosa mereka dan Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Silsilah Ash-Shohihah 967-970].

Dan yang sering dilupakan oleh kita semua adalah *adab dalam menerima aib seseorang* , sering kali kita tidak proposional dalam bersikap, yakni menstandarkan orang lain sesuai standar kita, namun tidak terima ketika diri kita distandarkan menurut standar orang lain.

Jika kita tidak pernah mencuri, lalu didapati orang lain mencuri, maka kita seakan sudah menutup pintu kebaikan dari orang lain tersebut karena kasus pencuriannya. Padahal ketika orang lain itu tidak pernah ghibah, lalu kita dicela karena doyan ( suka ~ed) ghibah, maka kita tidak terima dan protes ketika dicap buruk karena kebiasaan ghibah kita. Sungguh ironis bukan?

Padahal jika kita matang dalam memahami dua hadits di atas, alangkah bijaknya diri kita.

Maka kematangan dan kebijakan diri dalam menyikapi aib itu sejatinya bisa kita latih dengan mengamalkan firman Alloh,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

“Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasiq datang kepada kalian membawa berita, hendaklah kalian teliti (tabayyun/crosscheck).” [QS Al-Hujurat 6]

Kenapa?
Karena orang yang sedang ber-ghibah/namimah adalah orang fasiq, maka kita tidak dibenarkan mempercayai atau menceritakan berita yang dibawanya tersebut sampai kita meneliti kabar yang dibawanya.

Mengapa demikian?
Alloh menerangkan dalam kelanjutan ayat tersebut

أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang sebenarnya, sehingga menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [QS Al-Hujurat 6]

Ketahuilah, orang yang gemar membicarakan aib orang lain, sejatinya tanpa ia sadari ia sedang memperlihatkan jati dirinya yang asli. Yaitu, tidak bisa memegang rahasia, lemah kesetiakawanannya, penggosip, penyebar berita bohong (karena belum tentu yang diceritakannya benar). Dan ketahuilah, semakin banyak aib yang ia bicarakan/sebarkan, maka semakin jelas keburukan diri si penyebar.

Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya sesama muslim, maka Allah Subhana wa Ta’ala akan membelanya dari neraka kelak di Hari Kiamat.” [HR Tirmidzi Ahmad 6/450]

Sebaiknya, sebelum kita memberi reaksi terhadap aib orang lain, lihatlah dengan jujur seperti apa diri kita lebih baik atau lebih buruk?
Apabila ternyata kita lebih baik, maka bersyukurlah, namun jika ternyata kita lebih buruk, maka segera bertobatlah.

Inilah yang dimaksud dengan:
”Seorang mukmin, adalah cermin bagi mukmin lainnya”.
Dan bila kita menemukan diri kita masih lebih baik dari saudara semukmin kita, jangan menjadikan kita sombong dan jangan pula menyebarkan aib orang lain.

Perbuatan menutup aib orang lain sejatinya juga dapat mengangkat derajat seorang muslim.
Sebab hal ini menunjukkan kebaikan dari akhlaknya yang terdidik dan terpelihara dengan baik. Dia tidak mau menimbulkan pertikaian sesama muslim dengan cara menjauhi membuka aib orang lain yang dapat mencelakakan dirinya. Dia senantiasa berusaha menjaga lisannya dari ucapan-ucapan yang menimbulkan maksiat secara terang-terangan, baik yang diterimanya secara langsung, hanya mendengar dari orang lain, atau hanya rekaan orang lain saja.

Janganlah kita menyelidiki kesalahan, aib dan dosa seseorang atau bahkan membuka serta menyebarkannya pada orang lain. Tapi bawalah orang tersebut pada kebenaran dengan penjelasan, nasihat, juga menghalanginya dari berbuat maksiat. Lakukan pendekatan dengan tutur kata yang lembut, halus, ramah, hangat dan mendidik, Insya Alloh hatinya akan terbuka. Jangan justru kita malah menggunjingkan mereka, menjauhi, mengucilkan, serta memojokkannya atau bahkan mencaci makinya, karena semua itu tidak akan membawa kita kepada kebaikan.

Islam juga melarang seorang muslim untuk membuat atau menyebarkan isu merusak atau tasjassus , sebagaiamana firman Alloh,

“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” [QS Al Hujurat 12]

Sebab mencari-cari kesalahan orang lain, menyelidiki dan membeberkan aib hanyalah akan menimbulkan kekacauan umat. Semua itu dapat merambat ke masyarakat. Maka tersiarlah berita-berita keji di masyarakat, makin lama makin banyak yang ikut berbicara. Merajalelalah maksiat, kebencian menyebar, begitu juga dengan ketakutan, semua mulai rusak. Dan pada akhirnya, hancurlah masyarakat.

Adapun berkaitan dengan diri kita yang telah mendengar ghibah tentang aib orang lain, ada sebuah tulisan menarik dari murid Syaikh Al-Albani rohimahulloh, yakni Syaikh Salim Bin ‘Ied Al-Hilali, beliau menukilkan dalam kitabnya;
”Ketahuilah bahwasanya ghibah membicarakan keburukan itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi aib saudaranya yang lain untuk melarang orang itu, kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika hal itu memungkinkan.
Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib baginya untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat.
Jika dia berkata dengan lisannya: ”Diamlah”, namun hatinya ingin pembicaraan ghibah keburukan tersebut berlanjut, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci ghibah tersebut dengan hatinya agar bisa bebas dari dosa.

Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah keburukan itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgho’ (mendengarkan dengan seksama) pembicaraan ghibah itu.

Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu, maka tidak dosa baginya mendengar ghibah, yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan atau tidak mau faham dengan apa yang didengar. Namun jika dalam beberapa waktu kemudian mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis.” [Bahjatun Nadzirin 3/29-30]

Lalu bagaiamana hukum mengambil ilmu dari seseorang yang diketahui aibnya?
Jika aib di sini adalah masalah aqidah atau manhaj, jelas terlarang. Namun jika masalah aib di sini bukan tentang aqidah atau manhaj, dan hal itu terus menerus dipersoalkan, lantas bagaimana seseorang dapat mengambil ilmu?? Sementara tidak ada seorang pun didunia ini yang luput dari aib.

Wallohu A’lam
Wabillahit Taufiq.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله

Referensi: https://bimbinganislam.com/menyikapi-orang-yang-suka-ghibah/