Pertanyaan:

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Izin bertanya, Ustadz. Jika seorang suami yang kontra dengan imunisasi bayi dan melarang istrinya untuk memberikan imunisasi kepada bayinya. Padahal imunisasi adalah program pemerintah demi kesehatan dan kita harus mengikuti ulil amri. apakah berdosa jika istrinya diam-diam memberikan imunisasi kepada anaknya tanpa sepengetahuan suaminya. dengan alasan demi kesehatan..

جزاك اللهُ خيراً

(Disampaikan oleh Anggota Grup WA Sahabat BiAS)

 

Jawaban:

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Imunisasi hukumnya mubah, silakan bila ingin melakukan imunisasi jika sesuai dengan keyakinan. Silakan juga jika menolak imunisasi sesuai dengan keyakinan dan hal ini tidak berdosa secara syari’at. Silakan sesuai keyakinan masing-masing, yang terpenting bagi kaum muslimin secara khusus, jangan berpecah-belah hanya karena permasalahan ini dan saling menyalahkan.

Berikut kami sajikan fatwa tentang bolehnya imunisasi dan vaksin serta menunjukkan bahwa isyarat semacam imunisasi sudah ada dalam syari’at. Ketika Mufti Besar dari negeri tanah haram, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang hal ini (imunisasi),

ما هو الحكم في التداوي قبل وقوع الداء كالتطعيم؟

“Apakah hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa musibah?” Beliau menjawab,

لا بأس بالتداوي إذا خشي وقوع الداء لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع الداء بسببها فلا بأس بتعاطي الدواء لدفع البلاء الذي يخشى منه لقول النبي صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح : “من تصبح بسبع تمرات من تمر المدينة لم يضره سحر ولا سم” وهذا من باب دفع البلاء قبل وقوعه فهكذا إذا خشي من مرض وطعم ضد الوباء الواقع في البلد أو في أي مكان لا بأس بذلك من باب الدفاع، كما يعالج المرض النازل، يعالج بالدواء المرض الذي يخشى منه.

“La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang artinya),

“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun” (lihat HR. Bukhari no. 5779 dan Muslim no. 2047).

Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan imunisasi untuk melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan.

Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya. [lihat majmu’ fatawa dan maqolat ibni baz, 6/26, juga pada sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/238]. Masih tentang masalah imunisasi, MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah menetapkan Fatwa Nomor 4 Tahun 2016. Berikut ini adalah isi dari fatwa tersebut:

1. Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu.

2. Vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci.

3. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya haram.

4. Imunisasi dengan vaksin yang haram dan/atau najis tidak dibolehkan kecuali: – digunakan pada kondisi al-darurat atau al-hajat; – belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci; dan – adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal.

5. Dalam hal jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib.

6. Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan (dharar). Terima kasih. Salam sehat sukses berkah selalu. Jakarta, 21 Agustus 2021

Kesimpulan
Karena imunisasi hukumnya mubah, maka silakan dahulukan perintah suami bahwa anaknya tidak perlu divaksin, perintah suami harus didahulukan, karena hak atas anaknya lebih besar daripada hak ibu. Kalaupun ingin usul/saran (agar anak dapat imunisasi), maka silakan komunikasikan dengan suami dengan cara yang patut.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله

 

Sumber: https://bimbinganislam.com/suami-melarang-anak-kandungnya-ikut-imunisasi/