Pertanyaan
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Semoga Allah memberikan Ustadz kesehatan.
Ustadz, ana ingin bertanya.
Begini, Ustadz. Ini mungkin pertanyaan untuk menambah keyakinan ana dalam membuat keputusan, InsyaAllah. Alhamdulillah ana baru menikah setahun yang lalu dan dianugerahi seorang anak laki-laki yang baru lahir bulan Mei/Sya’ban ini.
1. Bagaimana hukumnya orang yang baru menikah, tinggal serumah dengan orangtua (mertua)?
Dengan alasan, Ibu mertua bilang daripada ngontrak lebih baik uangnya dicicil untuk beli rumah atau memperbaiki rumah? dan alasan lainya ialah ingin mengurusi cucu karena pasangan baru belum berpengalaman mengurusi anak.
Dan kami serumah tidak hanya dengan ibu mertua, tapi dengan adik (Istri) ipar perempuan (masih MTS kelas 2). Alasan lainnya Ibu mertua ingin tetap tinggal karena ingin ditemani, jika kami pindah rumah maka mereka hanya berdua di rumah tersebut, ayah mertua kami sudah meninggal.
2. Bagaimana solusi terbaiknya, Ustadz?
Syukron, Ustadz.
Jazaakallaahu khoiron wa baarakallaahu fiik.
(Ryan, Admin BiAS N06)
Jawaban
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.
Sebelumnya ana ucapkan selamat, baarokallohu fiik atas kelahiran putra Antum, mabruk. Semoga menjadi anak yang sholeh, berbakti pada orangtuanya dan bermanfaat bagi agama maupun bangsa.
Jika melihat dari pertanyaan Antum, sepertinya tidak ada masalah atau tidak ada uneg-uneg dari sudut pandang Antum pribadi tentang keadaan saat ini, yakni tidak mempermasalahkan untuk tinggal bersama mertua. Juga sang istri tidak menuntut untuk tinggal berpisah dari orangtua. Dan ini patut disyukuri, mengapa? Karena Antum tidak akan dipusingkan dengan ketidakbetahan istri, di sisi lain Antum pun tetap bisa beraktivitas tanpa merasa terbeban. Hal ini agak wajar karena memang konflik yang biasa terjadi adalah saat istri tinggal di rumah orangtua suami, maka potensi gesekan akan lebih besar, namun tidak dengan sebaliknya.
Akan tetapi tetap ada beberapa catatan yang patut diperhatikan dan disampaikan, diantaranya:
Satu : Taat pada suami.
Tinggal di rumah orang tua (mertua) terlebih jika suami belum mampu untuk memberi tempat tinggal untuk istri dalam pandangan Islam boleh-boleh saja dan tidak ada larangan. Istri pun sudah sepatutnya untuk manut dan patuh pada keputusan suami selama tidak memerintahkan maksiat baik pada Alloh, Orangtua atau Mertua. Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya:
لاَطَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِى مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ – رواه الترمذي
“Tidak ada ketaatan bagi seorang hamba ketika diperintah untuk bermaksiat kepada Allah”
Dua : Mempergauli orangtua dengan baik.
Berusahalah untuk bermuamalah dengan baik tanpa kecuali, terlebih orang tua kandung dan orang tua istri/suami. Hal ini tertuang dalam wasiat Nabi Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam kepada Muadz bin Jabal rodhiallohu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ – رواه الترمذي
“Pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”
Tiga : Waspada dengan godaan syetan.
Godaan syetan dsini dalam kehidupan rumah tangga yang bercampur dengan keluarga besar adalah ipar dan segala kerabat dekat istri. Sebagaimana hadits dari ‘Uqbah bin ‘Amir rodhiallohu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim bahwa Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ . قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Berhati-hatilah kalian masuk menemui wanita.” Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?” Beliau menjawab, “Hamwu (ipar) adalah maut.” [Muttafaqun ‘alaih]
Apa makna dalam hadits bahwa hamwu adalah maut? Maknanya bukan hanya ipar saja namun semua kerabat dekat isteri yang bukan mahram.
Empat : Memahami potensi konflik dan mengendalikan ego.
Tinggal satu rumah dengan mertua juga akan menimbulkan persaingan di antara menantu dan orang tua. Di satu pihak, pasangan pasti ingin agar suami atau istrinya lebih mengutamakan dia, namun mertua yang sebagai orang tua merasa memiliki hak yang lebih besar untuk diutamakan oleh anaknya sendiri melebihi siapa pun termasuk oleh sang menantu. Nah hal seperti ini pun tidak jarang jadi sumber konflik di antara suami istri.
Potensi konflik mertua menantu juga bisa semakin tajam bila sudah memiliki anak, yang mana antara menantu dan mertua memiliki pandangan yang berbeda dalam cara pengasuhan.
Contoh: Antum ingin bila putra Antum ketika salah harus diberikan teguran, namun sebaliknya mertua merasa cucunya jangan dikerasin. Antum memberi ketegasan, sementara mertua ingin memanjakan, dan lain-lain. Hal-hal yang kecil nantinya bisa menjadi masalah besar dalam kehidupan rumah tangga Antum karena baik pihak mertua atau menantu merasa pendapatnya yang paling benar. Istilahnya, benarlah sebuah ungkapan kalau sebuah istana harus memiliki satu ratu dan satu raja. Keberadaan dua ratu atau dua raja dalam satu rumah akan berdampak tidak baik bagi keduanya.
Nah, menyikapi perbedaan pendapat dengan orangtua atau mertua, seringkali kita bahasakan dengan intervensi. Poinnya adalah, jangan sampai kita suudzon atau terlalu dominan ego, sehingga seakan-akan semua nasihat atau campur tangan dari mertua adalah salah. Selagi bentuk campur tangan pihak mertua adalah berbentuk nasihat dan masukan positif untuk kebaikan bersama, mengapa harus ditolak? Bukankah berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran adalah perkara yang diperintahkan oleh Allah? Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
1. Demi masa.
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Lima : Merencanakan untuk tinggal sendiri sesuai kemampuan
Jika memungkinkan mengajak musyawarah suami tentang keinginan untuk miliki rumah sendiri, cobalah untuk mengajaknya bicara tentang hal ini. Tentunya, tetap dalam kondisi tidak memaksa dan menekan suami jika memang penghasilan suami pas-pasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membebani hamba-Nya diluar kemampuannya.
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. [QS Ath-Thalaq 7].
Terakhir, perbanyak doa kepada Allah Azza wa Jalla agar diberi kemudahan dalam segala urusan kita serta dijauhkan dari hal-hal yang tidak kita inginkan.
Wallohu A’lam
Wabillahit Taufiq
Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah, حفظه الله
Referensi: https://bimbinganislam.com/catatan-bagi-yang-tinggal-serumah-dengan-orangtua-mertua/