Surban yang dalam bahasa arabnya adalah (العمامة/al-Imamah) adalah sesuatu yang dikenakkan di kepala, salah satu ragam pakaian kepala yang tersebar di banyak tempat dan masyarakat di dunia, terutama jazirah arab. Warna, bentuk, jenis dan desainnya akan berbeda beda sesuai dengan asal tempat dari surban tersebut. Tujuan penggunaannya pun berbeda beda, ada yang didasari untuk melindungi kepala dari panasnya cuaca atau dinginnya udara.

Namun ada juga yang memakainya sebagai simbol adat kebiasaan tertentu, atau simbol keagamaan, ataupun simbol penganut pemikiran atau madzhab tertentu. Sejatinya surban adalah salah satu pakaian khusus bagi bangsa arab, bahkan orang arab menjadi tenar, diantara cirinya adalah bersurban, sampai-sampai dikatakan:

اختصَّت العرب بأربع: العمائم تيجانها، والدروع حيطانها، والسيوف سيجانها، والشِّعر ديوانها

“Bangsa arab memiliki kekhususan dalam 4 perkara: dengan surban sebagai mahkotanya, baju perisai sebagai tembok pelindungnya, pedang sebagai pagarnya dan syair sebagai puisinya”.

Lihat: https://ar.wikipedia.org/wiki/%D8%B9%D9%85%D8%A7%D9%85%D8%A9

Hukum memakai surban apakah bagian dari sunnah yang bernilai ibadah?
Untuk menjawab ini sejatinya kita perlu membuka penjelasan dalam salah satu pembahasan disiplin ilmu usul fiqh, yakni dalam tema tentang “perbuatan-perbuatan Nabi (أفعال النبي)”, secara globalnya, bahwa perbuatan Nabi sallallahu alaihi wa sallam itu ada beberapa klasifikasi, diantaranya:

1. Perbuatan “jibillah/fitrah mausiawi”, yaitu perbuatan yang dilakukan karena tuntutan Beliau sebagai manusia, seperti beliau makan, minum, tidur, ini semua pada dasarnya tidak mengandung hukum syari secara dzat perbuatannya.

2. Perbuatan “al-‘adah”, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi karena tuntutan adat atau kebiasaan kaumnya, bukan karena sebagai ibadah, seperti beliau memakai jubah, memakai imamah, dan sebagainya. Hukum asalnya adalah mubah, dan tidak mengandung hukum wajib maupun sunnah.

3. Perbuatan “Khusus”, yaitu apa yang beliau lakukan karena khusus untuk beliau, seperti beliau melakukan puasa wishol, atau bolehnya beliau menikahi lebih dari 4 wanita, bolehnya beliau menikah dengan cara hibah, ini semua tidak berlaku bagi ummatnya untuk meneladani.

4. Apa yang beliau lakukan sebagai “ibadah”, seperti beliau melakukan solat, menjelaskan cara wudhu, beliau melakukan manasik, dll. Dalam hal ini ummatnya meneladani beliau, ada yang amalannya berhukum wajib, ada yang sebatas sunnah. Lihat lengkapnya di kitab al-Ushul min Ilmi al-Ushul oleh al-Utsaimin hal:57).

Dari klasifikasi perbuatan Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam ulasan di atas, kita bisa mengetahui bahwa memakai surban itu hukum asalnya adalah mubah, tidak berhukum sunnah, karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam dahulu memakai surban alasannya karena tuntutan kebiasaan orang arab yang memakainya, bukan karena alasan sebagai ibadah, dan ini juga dijelaskan oleh syaikh Utsaimin dalam fatwa beliau berikut:

لباس العمامة ليس بسنة ، لكنه عادة ، والسنة لكل إنسان أن يلبس ما يلبسه الناس ما لم يكن محرماً بذاته ، وإنما قلنا هذا ؛ لأنه لو لبس خلاف ما يعتاده الناس لكان ذلك شهرة ، والنبي صلى الله عليه وسلم نهى عن لباس الشهرة

“Mengenakkan surban bukanlah perkara sunnah, namun dia masuk kategory adat/kebiasaan. Justru yang sunnah bagi setiap orang adalah dengan ia mengenakkan apa yang dikenakkan oleh keumuman orang, selagi hal tersebut bukan perkara yang haram. Kami sampaikan demikian karena jika seseorang memakai pakaian yang menyelisihi kebiasaan kaumnya, justru hal tersebut malah menjadi pakaian “syuhroh/ketenaran”, dan Nabi sallallahu alaihi wa sallam melarang pakaian syuhroh”. (Liqa al-Bab al-Maftuh juz:23 hal:160).

Setelah kita tahu bahwa hukum asal memakai surban adalah mubah, karena hal tersebut adalah perkara adat/kebiasaan, lantas sekarang bagaimana hukumnya jika surban dikenakkan oleh perempuan?
Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Syaikhu al-Islam Ibnu Taimiyyah beliau katakan:

هذه العمائم التي تلبسها النساء حرام، بلا ريب….. فقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال‏:‏ ‏(‏لعن اللّه المتشبهات من النساء بالرجال، والمتشبهين من الرجال بالنساء‏)‏‏.‏ وفي لفظ‏:‏ ‏(‏لعن اللّه المتخنثين من الرجال والمترجلات من النساء‏)‏‏.
وما كان من لباس الرجال مثل العمامة والخف والقباء الذي للرجال، والثياب التي تبدي مقاطع خلقها، والثوب الرقيق الذي لا يستر البشرة، وغير ذلك، فإن المرأة تنهي عنه.

“Surban-surban yang dipakai oleh para wanita hukumnya haram, tidak diragukan lagi. Telah valid dan sahih dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bahwa Beliau bersabda:

‏(‏لعن اللّه المتشبهات من النساء بالرجال، والمتشبهين من الرجال بالنساء)‏

“Allah melaknat para perempuan yang menyerupai para lelaki, sebagaimana Allah melaknat para lelaki yang menyerupai perempuan”.

Dalam lafadz yang lain Nabi bersabda:

‏(‏لعن اللّه المتخنثين من الرجال والمترجلات من النساء‏)‏‏

“Allah melaknat laki-laki yang membencong sebagaimana melaknat para perempuan yang mentomboy (berperangai kelaki-lakian).

Jadi, pakaian apa saja yang menjadi kekhususan lelaki seperti surban, khuf, juga mantel (khusus lelaki), atau pakaian yang menampakkan potongan-potongan lekuk tubuh, atau pakaian tipis yang menampakkan kulit dan semisalnya, ini semua dilarang bagi perempuan”. (Majmu Fatawa juz:22 hal:156).

Kesimpulan:
1. Hukum memakai surban pada dasarnya adalah mubah, karena ia bagian dari adat istiadat, tidak berhukum sunnah sehingga konsekuensi bagi yang mengenakannya mendapat pahala.
2. Hukumnya mubah bagi lelaki, namun ketika dipakai oleh perempuan menjadi hukumnya terlarang, kenapa? Karena surban menurut Ibnu Taimiyyah adalah pakaian yang khusus dipakai oleh lelaki, bukan bagi perempuan. Jika dipakai oleh perempuan maka akan masuk larangan dalam hadist sebagaimana disebutkan. Sisi lainnya adalah bahwa surban tidak serapat kerudung sebagai hijab, karena surban hanya menutup bagian kepala atas saja, sehingga jika perempuan memakainya maka aurat belum tertutup secara sempurna. Demikian, wallahu a’lam.

Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله