Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga.

Bismillah, mohon jawabannya ustadz, ketika datang iedul kurban, terkadang terjadi fenomena hewan kurban yang disembelih dan belum mati secara sempurna, namun kemudian oleh pihak jagal langsung dikulitin atau ditotong anggota tubuhnya, apakah yang seperti ini dibenarkan?
Dan apakah sembelihannya masih tetap halal?

(Disampaikan oleh Admin sahabat bimbinganislam)

Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Segala puji bagi Allah ta’ala, salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, keluarga beliau dan para sahabat-sahabatnya yang mulia.

Allah ta’ala telah memerintahkan kita sebagai hamba-Nya untuk berbuat baik/ihsan dalam setiap hal yang kita kerjakan, salah satunya adalah dalam perkara membunuh, baik dalam rangka untuk qisos, had atau lainnya, ataupun dalam masalah menyembelih hewan sembelihan, baik untuk konsumsi pribadi, aqiqah, kurban atau sembelihan yang lain, sebagaimana dijelaskan dalam hadist berikut:

Dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.”
(HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 1955, Bab “Perintah untuk berbuat baik ketika menyembelih dan membunuh dan perintah untuk menajamkan pisau”]

Maksud dari menyembelih dengan cara yang baik ialah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Daqiq al-ied rohimahullah:

وإحسان الذبح في البهائم: أن يرفق بالبهيمة ولا يصرعها بغتة ولا يجرها من موضع إلى موضع وأن يوجهها إلى القبلة ويسمي ويحمد ويقطع الحلقوم والودجين ويتركها إلى أن تبر

“Berbuat baik dalam menyembelih hewan ternak maksudnya: berlemah lembut dengannya, tidak membantingnya tiba-tiba, tidak menariknya (dengan kasar) dari satu tempat ke tempat lain, dan mengarahkannya ke arah kiblat ketika disembelih, menyebut nama Allah dan memuji-Nya, kemudian memotong tenggorokan dan kedua urat nadinya, kemudian setelah itu ditinggalkan sampai ia dingin (benar-benar mati)”.
(Syarah al-arbain al-nawawiyah oleh Ibnu Daqiq Al-ied hal: 72)

Syarat Sembelihan Syar’i
Dari hadist tersebut kemudian kita memahami bahwa walaupun hanya dalam proses menyembelih binatang pun tidak boleh untuk disepelekan, ada adab-adab dan norma agama yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan penyembelihan hewan.

Dan sembelihan yang dilakukan secara syari mempunyai beberapa syarat diantaranya:

1. Orang yang menyembelih memang punya kelayakan
Kelayakan yang dimaksud adalah menurut sudut pandang syariat, yaitu sebagaimana yang disampaikan oleh syaikh Dr Solih Al-fauzan berikut:

بأن يكون عاقلاً، ذا دين سماوي، من المسلمين أو أهل الكتاب؛ فلا يباح ما ذكاه مجنون أو سكران أو طفل لم يميز؛ لأنه لا يصح من هؤلاء قصد التذكية؛ لعدم العقلية فيهم، ولا يحل ما ذكاه كافر وثني أو مجوسي أو مرتد أو قبوري ممن ينادون الموتى ويلوذون بالأضرحة ويطلبون من أصحابها المدد؛ لأن هذا شرك أكب
وأما الكافر الكتابي، وهو اليهودي أو النصراني؛ فتحل ذبيحة ذبيحته؛ لقوله تعالى: وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

“Syaratnya adalah si penyembelih merupakan orang yang berakal, pemeluk agama samawi, dari kalangan muslimin dan ahlul kitab (yahudi & nasrani).
Maka tidak diperbolehkan sembelihan seorang yang gila, atau mabuk, atau anak kecil di bawah umur mumayyiz, karena mereka tidak memahami niat sembelih disebabkan hilang atau kurangnya akal, juga tidak sah sembelihan seorang kafir paganis atau majusy atau seorang murtad, atau para penyembah kubur dari kalangan orang-orang yang menyerukan kepada peribadatan orang-orang mati, berlindung dengan kuburan, dan meminta pertolongan pada penghuninya, karena ini semua adalah syirik akbar, adapun kafir ahli kitab yaitu yahudi dan nasrani, halal sembelihannya berdasarkan firman Allah ta’ala: Makanan orang-orang ahlu kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (QS. Al-Maidah : 5)”
(Al-mulakkhos al-fiqhy juz:2 hal:588)

2. Menyembelih dengan alat/benda tajam
Masih mengambil keterangan dari Dr Solih Al-fauzan hafidzohullah dalam ulasan beliau:

فتباح الذكاة بكل محدد ينهر الدم بحدة، سواء كان من الحديد أو الحجر أو غير ذلك، ما عدا السن والظفر؛ فلا يحل الذبح بهما لقوله صلى الله عليه وسل: “ما أنهر الدم؛ فكل، فليس السن والظفر”، متفق عليه

“Sembelihan dibolehkan dengan mengunakan benda apa saja yang tajam, baik dari besi, atau batu, atau selain keduanya, asalkan bukan terbuat dari gigi atau kuku, tidak diperkenankan menyembelih dengan keduanya, berdasarkan pada sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
Alat yang dapat mengalirkan darah dengan deras, maka makanlah hasil sembelihan dengan alat itu, Kecuali yang disembelih menggunakan gigi dan kuku. (Muttafaun ‘alaih)”.
(Al-mulakkhos al-fighy juz:2 hal:589)

3. Dengan menyebut nama Allah ta’ala
ini sebagaimana pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiah, Malikiah, dan pendapat masyhur dari kalangan Hanabilah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-mausu’ah al-fiqhiyyah al-kuwaitiyyah juz: 8 hal:90 berikut:

ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمَشْهُورِ عِنْدَهُمْ إِلَى أَنَّ التَّسْمِيَةَ وَاجِبَةٌ عِنْدَ الذَّبْحِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ} وَلاَ تَجِبُ التَّسْمِيَةُ عَلَى نَاسٍ، وَلاَ أَخْرَسَ، وَلاَ مُكْرَهٍ ،وَيَكْفِي مِنَ الأْخْرَسِ أَنْ يُومِئَ إِلَى السَّمَاءِ؛ لأِنَّ إِشَارَتَهُ تَقُومُ مَقَامَ نُطْقِ النَّاطِقِ

“Al-hanafiah, dan Al-malikiah dan pendapat mayshur dari kalangan Al-hanabilah berpandangan bahwa menyebut nama Allah ketika menyembelih itu wajib, sebagaimana firman Allah taala surat Al-an’am ayat 121: (Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan).
Pembacaan nama Allah ini tidak wajib jika seseorang lupa, atau bagi orang bisu, atau orang yang mukroh/dipaksa, dan cukup bagi seorang yang bisu dengan mengarahkan pandangannya ke arah langit, karena isyarat yang ia lakukan mewakili ucapan bagi seorang yang bisa berbicara”.

4. Memotong tenggorokan dan kerongkongan dari hewan tersebut
Hal ini sebagaimana perkataan Imam Al-nawawy rahimahullah:

يشترط لحصول الذكاة قطع الحلقوم والمريء، هذا هو المذهب الصحيح المنصوص

“Dipersyaratkan untuk terlaksanakannya sembelihan yang syari dengan memutus tenggorokan dan kerongkongan, ini adalah pandangan yang benar dan ditegaskan oleh para ulama”
(Al-Majmu’ juz:9 hal:86)

Ini juga seperti yang diutarakan oleh syaikh Abdul aziz bin baz rohimahullah:

يقطع الحلقوم والمريء والودجين، هذا الكمال، وإن قطع الحلقوم والمرئ كفى، وإن قطع معهما أحد الودجين كفى، ولكن الأفضل أنه يقطع الحلقوم والمريء والودجين

“Penyembelih memotong tenggorokan, kerongkongan dan kedua urat nadi, ini yang sempurna, adapun jika yang terpotong hanyalah tenggorokan dan kerongkongan saja, itu sudah cukup, atau jika terpotong salah satu dari urat nadi bersamaan dengan tenggorokan dan kerongkongan, ini juga cukup, namun yang paling afdol adalah dipotong semuanya”. Lihat: fatwa Syaikh Bin Baz tentang الطريقة الشرعية في الذبح

Jika Belum Mati, Namun Sudah Dipotong, Apakah Halal?
Dari penjelasan syarat-syarat sembelihan syari diatas, kita katakan bahwa hewan yang disembelih sudah sesuai prosedur yang dijelaskan, maka hasil sembelihannya halal dan dapat dikonsumsi.

Permasalahan muncul ketika proses sembelih sudah selesai sesuai arahan syari, kemudian hewan belum benar-benar mati, lantas pihak tukang jagal, atau penyembelih langsung menguliti, atau memotong organ tubuh hewan tersebut ketika kematian hewan belum sempurna, sehingga ada potensi hewan mati disebabkan oleh pengulitan atau pemotongan anggota tubuhnya, nah pertanyaannya, apakah status sembelihan hewan ini halal?

Termasuk dari bentuk berbuat buruk dalam sembelihan adalah memotong kepala hewan sembelihan, mengulitinya, atau memotong organ tubuh yang lain ketika hewan belum benar-benar mati, para ulama menghukuminya sebagai suatu perkara yang dimakruhkan, namun hal tersebut tidak berdampak pada keabsahan sembelihan, dan tetap boleh mengkonsumsi hasil sembelihannya jika syarat-syarat sembelihan syari-nya telah terpenuhi, berikut beberapa statement ulama dalam masalah ini:

Berkata Ibnu Abi Zaid Al-qairawany rahimahullah:

وَإِنْ تَمَادَى حَتَّى قَطَعَ الرَّأْسَ أَسَاءَ وَلْتُؤْكَلْ

“Jika si tukang jagal/penyembelih tetap melanjutkan ayunan pisaunya sampai kepala hewan sembelihan putus, dia telah berbuat buruk dalam menyembelih, namun hasilnya tetap boleh dikonsumsi”.
(Al-fawakih al-dawani ‘ala risalati ibni abi zaid al-qairawany juz:1 hal:384)

Sebagaimana Imam Ibnu Qudamah Al-maqdisi rohimahullah mengatakan:

ولا يقطع عضو مما ذكي حتى تزهق نفسه – كره ذلك أهل العلم منهم عطاء، وعمرو بن دينار، ومالك، والشافعي ولا نعلم لهم مخالفا. وقد قال عمر رضي الله عنه: لا تعجلوا الأنفس حتى تزهق. فإن قطَع عضو قبل زهوق النفس وبعد الذبح فالظاهر إباحته; فإن أحمد سئل عن رجل ذبح دجاجة فأبان رأسها، قال: يأكلها. قيل له: والذي بان منها أيضا؟ قال: نعم

“(Dan tidak boleh memotong salah satu organ hewan yang disembelih sampai benar-benar mati), hal tersebut dimakruhkan oleh para ulama diantaranya Atho’, Amr bin dinar, Malik, dan Syafii, dan kami tidak mengetahui ada khilaf dalam hal ini.
Telah berkata Umar rodiyallahu anhu: jangan buru-buru memotong hewan tersebut sampai benar-benar nyawanya tercabut, jika ada organ yang dipotong sebelum benar-benar hewan mati namun setelah selesai penyembelihan, pendapat yang tampak oleh kami adalah bolehnya mengkonsumsi hasil sembelihan tersebut.
Imam Ahmad pernah ditanya perihal seorang yang menyembelih seekor ayam sampai memotong kepala ayam tersebut (terpisah), Imam Ahmad mengatakan: boleh dikonsumsi, ditanyakan kepada beliau: apakah organ yang terpisah dari tubuh (kepala yang putus) juga boleh dikonsumsi? Beliau menjawab: iya, boleh”.
(Al-mughny juz:13 hal:310)

Dari penjelasan yang kita kutipkan dari perkataan para ulama di atas, kita simpulkan bahwa hewan sembelihan, selagi sudah disembelih dengan syarat-syarat sembelihan syari yang kita sebutkan sebelumnya, maka hasil sembelihannya halal.
Adapun organ yang dipotong sebelum hewan benar-benar mati, ini merupakan perilaku buruk si penyembelih kepada hewan sembelihan, padahal kita dituntut untuk berbuat ihsan dalam segala aspek, termasuk dalam masalah penyembelihan sebagaimana yang kita paparkan dalam hadist, namun toh misalnya hal ini terjadi, tidak berkonsekuensi pada keharaman hasil sembelihan, statusnya tetap halal dan boleh dikonsumsi.

Semoga bermanfaat, pembahasan tentang hukum sembelihan belum mati sempurna, namun sudah dikuliti. wallahu a’lam

Semoga bermanfaat.
Wabillahi taufiq.

Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله

Referensi: https://bimbinganislam.com/hukum-sembelihan-belum-mati-sempurna-namun-sudah-dikuliti/