Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam kebaikan dan lindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ahsanallahu ilakum. Bagaimana hukum memakan sajian tasyakur bi’nimat yang menurut seseorang merupakan syukuran ulang tahun pernikahan tetangga dan istrinya tetapi tidak diketahui dengan pasti alasan sebenarnya dari pihak-pihak yang bersangkutan?
Barakallahu fiikum.

(Disampaikan oleh Fulan, penanya dari media sosial bimbingan islam)

Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Merayakan hari ulang tahun pernikahan, kelahiran atau yang semisal menunjukkan adanya kebaikkan atau kesuksesan yang telah mereka raih, segudang harapan di masa yang akan datang ingin terulang dan lebih gemilang. Sehingga memperingatinya adalah salah satu bentuk rasa syukur mereka kepada Allah.

Namun Islam telah mengatur bagaiman cara kita bersyukur kepada Allah dengan benar atas nikmat yang telah diberikan kepada kita.
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa bersyukur dengan hati yaitu mengakui bahwa semua nikmat yang diraih dari Allah, syukur dengan lisan dengan mengucapkan kalimat tahmid, syukur dengan anggota badan yaitu hanya beribahdan kepada Allah. (Al Fawa’id, hal. 124-125).

Sejak zaman dahulu islam tidak menganal ulang tahun. Di zaman masa keemasan islam seperti zaman Nabi, Shahabat, Tabi’in dan salafus saleh tidak dikenal istilah ulang tahun atau memperingati hari raya kecuali iedul fitri dan iedul adha.
Tradisi ini diimpor dari orang-orang barat yang kafir, sehingga jelas bahwa melakukan perayaan seperti ini merupakan bentuk tasyabbuh bil kuffâr (menyerupai orang-orang kafir) yang dilarang dalam agama Islam.

Menghadiri undangan perayaan seperti ini sama dengan mendukungnya yang harus kita ingkari dan menolak secara halus kepada yang mengundangnya. Jika memungkinkan kita menyampaikan hukumnya. Dengan menghadirinya termasuk kerjasama dalam kemaksiatan. Demikian juga dengan makanan yang dihidangkan kepada tamu tidak boleh dimakan karena berasal dari acara kemaksiatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan bekerjasamalah dalam kebaikan dan takwa, jangan bahu membahu dalam dosa dan maksiat. Bertakwalah kalian kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh sangat keras siksa-Nya”
[Al-Mâ`idah/5:2]

Beda halnya jika makanan itu di antar ke rumah tanpa kita ikut serta merayakan acara tersebut, sebagaimana dilakukan sebagian orang yang menyelenggarakan pesta atau upacara bid’ah, juga orang-orang kafir saat berhari raya, maka kita boleh menerimanya dan memakannya.
Demikian dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Iqtidho ash-Shirat al-Mustaqim. Bedanya dengan yang menghadiri karena pada hakekatnya, makanan itu halal dan menerima hadiah dari mereka tidak berarti mendukung acara mereka.

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu menerima hadiah dari orang yang merayakan hari raya Nayruz (awal tahun masehi).
Aisyah Radhiyallahu anhuma juga ditanya tentang hukum menerima hadiah dari orang Mâjusi saat mereka berhari raya, maka beliau Radhiyallahu anhuma menjawab:

أَمَّا مَا ذُبِحَ لِذَلِكَ الْيَوْمِ فَلَا تَأْكُلُوا، وَلَكِنْ كُلُوا مِنْ أَشْجَارِهِمْ

“Adapun yang disembelih untuk acara itu, jangan kalian makan. Makanlah makanan selain sembelihan (sayur, buah dan semacamnya).”
(HR. Ibnu Abi Syaibah no. 24.371)

Setelah menukil atsar ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
“Semua atsar ini menunjukkan bahwa ‘ied (hari raya) tidak berpengaruh pada bolehnya menerima hadiah dari mereka. Jadi tidak ada bedanya antara menerima hadiah dari mereka, saat ‘ied maupun di luar ‘ied, karena hal itu tidak mengandung unsur mendukung syi’ar kekafiran mereka.”

Sebagian Ulama lagi berpendapat tidak boleh menerima hadiah atau makan hadiah ulang tahun sama sekali. Bagi mereka, hal tersebut tidak lepas dari unsur mendukung acara mereka.

Demikian semoga bermanfaat. Wallahu A’lam

Disusun oleh:
Ustadz Abu Rufaydah, Lc., MA. حفظه الله

 

sumber: https://bimbinganislam.com/bolehkah-menghadiri-undangan-ulang-tahun-pernikahan/