Pertanyaan:

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Ustadz, ibu saya seorang pegawai pajak dan ayah saya seorang PNS tetapi bukan di pajak, dan kalau tidak salah setahu saya selama ini kami sekeluarga hidup lebih banyak menggunakan uang dari penghasilan pajak. Tetapi pekerjaan yang dilakukan ibu saya itu mengurus pajak yang diperuntukkan untuk perusahaan-perusahaan saja, bukan mengurus pajak yang dikenakan perorangan.

Bagaimana status harta kami dan sebaiknya bagaimana sikap saya sebagai anak? Selain itu saya sedang kuliah dan biayanya sudah terlanjur tinggi karena penghasilan dari pajak memang cukup besar. Apakah saya masih boleh membayar kuliah dengan uang tersebut?

Saya sudah berusaha memberi tahu orang tua dengan baik dan pelan-pelan tetapi belum membuahkan hasil karena khawatir kalau ternyata harta kami tidak halal.

Mohon penjelasan dan nasehatnya.

(Dari Hamba Allah di DIY Anggota Grup WA Bimbingan Islam T05 G-54)

جَزَاك اللهُ خَيْرًا

JAWAB:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Kesimpulan:

Tidak halal bekerja sebagai pegawai pajak karena mayoritas pajak tidak sesuai syariat, pengelolaannya tidak profesional, dan negara masih punya uang kas.

Adapun menggunakan uang pemberian dari orang tua yang bekerja di perpajakan hukumnya boleh.

Rincian:

Terkait dengan perpajakan, perlu diketahui bahwa suatu negara boleh saja menetapkan pajak kepada rakyatnya dalam rangka pembangunan fasilitas-fasilitas primer seperti mengaspal jalan, mendirikan rumah sakit, atau sekolah. Akan tetapi ADA DUA SYARAT YG HARUS DIPENUHI:

PERTAMA: Baitul Mal (atau Kas Negara) sudah habis dibelanjakan semua.

KEDUA: Pajak tersebut dikelola dengan baik (sesuai aturan syariat) demi kemaslahatan kaum muslimin. Bukan justru banyak dikorupsi oleh oknum-oknum pejabat. Atau dimanfaatkan untuk hal-hal yang merugikan Islam dan kaum muslimin.

Adapun pajak yang dikenakan kepada rakyat tanpa kompensasi manfaat, ATAU yang dikenakan saat baitul mal masih memiliki anggaran yang cukup guna pembangunan fasilitas yang dimaksud; maka ini HUKUMNYA HARAM di mata syariat. PIHAK YANG MENARIK PAJAK SEMACAM INI terancam tidak masuk Jannah, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits ‘Uqbah bin Amir, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pemungut upeti tidak akan masuk Jannah” (HR. Ahmad).

Yang dimaksud upeti di sini meliputi semua pungutan yang diambil tanpa alasan syar’i. Contohnya: PBB (pajak yang dipungut karena kita memiliki tanah/bangunan yang kita manfaatkan, tanpa kompensasi apa-apa), PPN (pajak yang dipungut dalam sebagian transaksi jual beli barang/jasa tanpa kompensasi apa-apa), demikian juga Bea Cukai atas barang dagangan kaum muslimin yang diimpor ke negeri muslim.

Bahkan yang terakhir ini disepakati sebagai ‘upeti haram’ yang dimaksud oleh hadits; yang pada zaman dahulu yang dikenakan kepada orang kafir dzimmi (yahudi dan nasrani), bukan kepada kaum muslimin.

Dalil bolehnya mengambil bea cukai dari pengusaha/importir non muslim ialah karena di masa Umar bin Khattab beliau menerapkan upeti bagi barang-barang yang diimpor oleh pedangang yahudi dan nasrani, dan hal ini diketahui oleh para sahabat tanpa ada yang mengingkari, sehingga statusnya mjd ijma’.

Disebutkan dalam kitab Al Mughni (9/347-348) oleh Ibnu Qudamah:

وَمَنْ يُجَزْ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ إلَى غَيْرِ بَلَدِهِ، أُخِذَ مِنْهُ نِصْفُ الْعُشْرِ فِي السَّنَةِ اشْتَهَرَ هَذَا عَنْ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَصَحَّتْ الرِّوَايَةُ عَنْهُ بِهِ. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: لَيْسَ عَلَيْهِ إلَّا الْجِزْيَةُ، إلَّا أَنْ يَدْخُلَ أَرْضَ الْحِجَازِ، فَيُنْظَرَ فِي حَالِهِ؛ فَإِنْ كَانَ لِرِسَالَةٍ، أَوْ نَقْلِ مِيرَةٍ، أَذِنَ لَهُ بِغَيْرِ شَيْءٍ، وَإِنْ كَانَ لِتِجَارَةٍ لَا حَاجَةَ بِأَهْلِ الْحِجَازِ إلَيْهَا، لَمْ يَأْذَنْ لَهُ إلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَيْهِ عِوَضًا بِحَسَبِ مَا يَرَاهُ وَالْأَوْلَى أَنْ يَشْتَرِطَ نِصْفَ الْعُشْرِ؛ لِأَنَّ عُمَرَ شَرَطَ نِصْفَ الْعُشْرِ عَلَى مَنْ دَخَلَ الْحِجَازَ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ.

Orang kafir dzimmi yang diizinkan masuk ke selain daerah (kota)nya, maka hartanya boleh diambil 5 persen setiap tahunnya. Kebijakan ini terkenal diterapkan oleh Umar radhiyallaahu ‘anhu dan diriwayatkan dalam atsar yang shahih. {INI MENURUT MADZHAB HAMBALI}.

Adapun Imam Syafi’i mengatakan: Si kafir dzimmi tadi tidak wajib membayar apa-apa selain Jizyah, kecuali bila ia masuk ke wilayah Hijaz. Bila masuk ke Hijaz (Mekkah, Madinah, Jeddah dan daerah pesisir barat saudi arabia); maka hendaklah diperhatikan:

Kalau ia masuk karena ingin mengantarkan pesan/surat; atau

Karena memindahkan bahan pangan;

Maka hendaklah diizinkan tanpa dimintai apa-apa. Namun kalau semata demi perniagaan yang tidak diperlukan oleh warga Hijaz, maka tidak boleh dibiarkan masuk kecuali dengan syarat membayar kompensasi yang sesuai. Yang lebih baik ialah mensyaratkan adanya imbalan 5 persen, sebab Umar mensyaratkan bayaran 5 persen bagi kafir dzimmi yang memasuki Hijaz.

Namun yang rajih dalam masalah ini ialah berlakunya aturan tersebut di Hijaz maupun wilayah lainnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah dalam halaman-halaman berikutnya.

Akan tetapi ini khusus bagi orang kafir, adapun bagi kaum muslimin tidak boleh dikenai bea cukai.

Jadi, hukum bekerja di perusahaan pajak statusnya dilihat dari JENIS PAJAK YANG DIPUNGUT, rinciannya adalah sebagai:

Pertama: kalau kemaslahatan penarikan pajak tersebut masih mengindahkan aturan syariat, tidak memberatkan rakyat karena terlalu tinggi misalnya; kemudian harta tersebut dibelanjakan demi kemaslahatan kaum muslimin seiring dengan habisnya anggaran umum negara (baitul mal); maka barulah seseorang boleh bekerja sebagai pegawai pajak. Kendatipun demikian, ia tetap harus berlaku adil, menghindari kezaliman, mewaspadai iming-iming suap yang ditawarkan kepadanya, dan hendaklah meringankan jumlah pajak atau bahkan menggugurkannya.

Kedua: Jika negara yang bersangkutan menarik pajak dari rakyatnya tanpa imbalan/kompensasi apa-apa (spt PBB, PPN dan Bea Cukai atas barang perniagaan milik kaum muslimin); atau jika si pegawai perpajakan tersebut harus tunduk kepada undang-undang yang menyelisihi syariat (sebagaimana realita di negeri kita); MAKA HUKUMNYA TIDAK BOLEH BEKERJA DI BAGIAN PERPAJAKAN JIKA KONDISINYA DEMIKIAN. Sebab Allah berfirman yang artinya, “Janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Al Maidah: 2).

Nah, berdasarkan realita yang ada, di negara kita yang memang tidak mengindahkan aturan syariat, mayoritas pajak yang dipungut tidak memiliki alasan yang syar’i. Kalaupun alasannya syar’i seperti PKB (pajak kendaraan bermotor) yang ‘katanya’ dialokasikan untuk pembangunan fasilitas umum spt mengaspal jalan dan semisalnya; tetap saja pengelolaannya berada di tangan orang-orang yang tidak jujur dan berpotensi besar untuk disalahgunakan.

Kalaupun tidak disalahgunakan, masih ada ganjalan ketiga yaitu apakah negara sudah benar-benar kehabisan anggaran untuk membiayai proyek-proyek fasilitas umum tersebut dari Kas negara?? Rasanya sulit untuk diiyakan, dan kalaupun diiyakan, maka itu terkait banyaknya para koruptor dan pejabat yang teledor dalam mengelola anggaran; sehingga sering kali kas negara habis karena dikorupsi segelintir orang, bukan karena dinikmati oleh rakyat umum.

Adapun bagi antum yang dinafkahi oleh orang tua yang bekerja di perpajakan, maka hendaknya tidak bosan-bosan menasehatinya agar meninggalkan pekerjaan haram tersebut. Namun antum boleh saja memanfaatkan penghasilan orang tua yang didapat dengan cara haram, baik untuk biaya sekolah maupun yang lainnya, karena uang tersebut antum terima sebagai nafkah dari orang tua, dan ini adalah jalan yang mubah. Yang bertanggung jawab di sini ialah orang tua antum.

Wallaahu a’lam.

Referensi:

http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=7489

http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=5811

http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=327523&fromCat=2168

Al Mughni, Ibnu Qudamah.

Konsultasi Bimbingan Islam

Dijawab oleh Ustadz Dr. Sufyan Baswedan Lc MA

 

Sumber: https://bimbinganislam.com/hukum-bekerja-di-perpajakan-memanfaatkan-gaji-pegawai-pajak/