Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Ustadz.

Bagaimana cara menghitung zakat profesi suami dan istri yang mempunyai utang?

Jazakallah. Wassalamu’alaikum.

Dari: Abu Afra

Jawaban:

Wa’alaikumussalam.

Cara Menghitung Zakat Keluarga
Prinsip ‘harta bersama’ dalam keluarga, menyebabkan kebingungan dalam perhitungan zakat. Yang benar, perhitungan zakat harta suami atau istri tetap dipisahkan.

Kehidupan berkeluarga berpengaruh banyak terhadap pola hidup seseorang. Banyak hal terlihat berubah dari statusnya sebagai bujangan menjadi seorang suami atau istri.

Antara suami istri seperti ada yang memberi pengaruh satu ke lainnya. Mulai dari sikap, tingkah laku, tutur kata, selera makan dan lain-lain. Semuanya akan saling memberi dan menerima.

Begitu juga perihal keuangan. Sampai tersirat istilah “hartaku adalah hartamu” atau “seluruh milikku adalah juga milikmu”. Mungkin, inilah yang dimaksud dengan kehidupan super-harmonis antara suami istri.

Tapi, alangkah sayang seribu kali sayang, begitu bahtera keluarga ini terhempas badai ombak yang besar, sehingga perahu itu tenggelam ke dasar lautan. Perceraian, malapetaka itu terjadi. Barulah “mantan” suami dan istri itu mulai menghitung-hitung harta mereka untuk dibawa pergi. Perdebatan terjadi antara mereka. Harta gono-gini pun menjadi pembicaraan di pengadilan.

Akhirnya, harta yang dahulu menjadi milik “kita berdua” sekarang menjadi rebutan “kita berdua”, semua mengaku berhak memilikinya. Begitulah kenyataan yang banyak terjadi.

Pembahasan kita kali ini adalah mengenai hukum zakat harta keluarga, atau lebih konkritnya adalah harta suami-istri.

Kembali kami sampaikan syarat wajibnya zakat harta, yaitu:

1. Harta simpanan berupa Emas, perak dan mata uang.

2. Harta tersebut adalah harta milik pribadi dan dimiliki secara sempurna.

3. Jumlahnya sudah mencapai nishob, (nishob emas: 85 gr emas murni, nishob perak: 595 gr perak murni, dan nishob mata uang: seharga 85 gram emas murni).

4. Jumlah tersebut sudah tersimpan selama satu tahun Hijriyah. (disebut dengan haul).

Yang erat kaitannya dengan pembahasan ini adalah di syarat no 2. Yaitu, apakah harta suami-istri dianggap satu harta, seakan-akan pemiliknya hanya satu orang, ataukah ia harta yang terpisah antara harta suami dan harta istri?

Islam Mengakui Kepemilikan Harta Setiap Orang

Islam menghargai harta seseorang. Mengakui keabsahannya, selama harta itu diperoleh dengan jalan halal.

Baik itu harta milik pria maupun wanita, milik suami maupun istri. Semua orang mempunyai hak kepemilikan penuh terhadap harta pribadinya.

Dalam Alquran, Allah Ta’ala telah membedakan antara harta suami dan harta istri. Hal tersebut diungkapkan dalam pembahasan pembagian warisan. Allah Ta’ala berfirman, yang maknanya:

“Kalian wahai para suami, berhak mendapatkan warisan seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh para istri, jika istri tidak mempunyai anak. Namun, Jika istrimu itu mempunyai anak, maka kamu berhak mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya. Warisan itu dibagi sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat dan sesudah dibayar utangnya. Para istrimu berhak memperoleh warisan seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Namun, jika kamu mempunyai anak, maka istrimu hanya berhak memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan. Warisan itu dibagi sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat dan sesudah dilunasi utang-utangmu.” (QS. An Nisa: 12)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala membedakan antara harta suami dan harta istri. Si suami baru berhak menguasai harta istrinya kalau istrinya sudah meninggal itupun dalam jumlah tertentu yang ditetapkan syariat. Begitu juga si istri.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Istri juga memiliki harta yang dapat diperoleh dari bekerja, ataupun dari mas kawin, atau warisan orang tuanya dan sumber-sumber lainnya.

Bahkan Allah Ta’ala melarang para suami untuk mengambil kembali harta yang pernah diserahkan kepada istrinya, seperti pemberian berupa maskawin.

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Dan jika kamu ingin mencerai istrimu dan menikahi wanita lainnya, sedang kamu telah memberikan kepada istrimu itu harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari istrimu itu sedikit pun dari harta yang sudah kamu berikan.” (QS. An Nisa: 20)

Karena harta itu sudah sepenuhnya milik si istri. Istri-lah yang berhak membelanjakannya atau mensedekahkannya sesuai keinginannya walaupun tanpa seizin suami. Suami hanya berhak mencicipi harta istrinya, itupun jika si istri ridho memberikannya pada suami.

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Berikanlah maskawin kepada wanita yang kamu nikahi berupa pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika istrimu menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka silahkan makan (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 4)

Kewajiban Menafkahi Keluarga adalah dari Harta Suami
Kewajiban menafkahi keluarga adalah murni diembankan kepada suami. Sebanyak apapun harta istri dan sekaya apapun status istri, si suami lah yang berkewajiban menafkahi dan memenuhi kebutuhan istrinya tersebut.

Si istri hanya menjadi pengelola uang si suami, dan istri tersebut harus mengemban tanggung jawab dalam pengelolaan itu, ia kelak akan dimintai pertanggung jawaban.

Dalam nafkah keluarga, boleh-boleh saja si suami menyerahkan uang penghasilannya kepada si istri untuk dikelola demi kebutuhan keluarga. Namun, perlu diingat bahwa harta tersebut adalah tetap dalam hitungan kepemilikan suami. Istri hanya sekedar pengelola. Oleh karena itu, istri harus berusaha erat memegang amanah, tidak boleh dipergunakan di luar batas kebutuhan kecuali dengan izin dari suami.

Bila Suami-istri Menggabungkan Harta Mereka Dalam Satu Tabungan
Pembahasan semisal ini dibahas oleh ulama dalam masalah “zakat harta syarikah” atau harta gabungan.

Yaitu, bila dua orang atau lebih menggabungkan harta mereka. Kalau dihitung harta perorang dari mereka maka nishob belum tercapai. Namun, karena digabungkan, maka hasilnya mencapai nishob. Kemudian harta ini dikelola dan diperlakukan seakan-akan harta yang satu. Maksudnya, ketika harta ini dikelola oleh pihak ketiga misalnya, setiap pengeluaran dan keuntungan yang mengalir dianggap harta gabungan juga.

Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama. Apakah harta gabungan yang sudah mencapai nishob dikenakan zakat? ataukah tidak wajib zakat, jikalau harta perorang yang ikut andil dalam gabungan tersebut belum sampai nishobnya.

Dengan kata lain, sampai tidaknya nishob harta, apakah ditinjau dari sisi jumlah harta yang terkumpul atau dari sisi pemilik harta tersebut?

Pendapat yang kuat menurut hemat kami adalah, yang menyatakan bahwa nishob harta zakat selain dari hewan ternak, maka dihitung dari jumlah yang dimiliki oleh pemilik harta tersebut.

Contoh: apabila kita perkirakan nishob zakat harta adalah 50 juta rupiah. Bila ada 3 orang menghimpun modal untuk usaha masing-masing 20 juta rupiah, maka gabungan harta tersebut yang berjumlah 60 juta. Walaupun tampaknya sudah lebih dari nishob, namun jika ditilik dari masing-masing pihak yang bergabung, uang mereka belum sampai nishob, maka gabungan harta tersebut belum terkena wajib pajak, karena belum sampai nishob.

Pendapat ini yang dinilai kuat oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Utsaimin, disebutkan oleh beliau dalam kitabnya Syarh Mumti’ jilid 6 hal 66.

Dengan demikian, bila suami dan istri keduanya mempunyai penghasilan tetap, kemudian menggabungkan uang mereka berdua dalam satu tabungan. Maka wajib tidaknya zakat dalam harta tabungan itu tergantung sampai tidaknya nishob dari harta masing-masing mereka.

Idealnya, seharusnya mereka berdua menghitung pemasukan harta mereka masing-masing. Mungkin saja pemasukan suami lebih banyak daripada si istri. Sehingga kemungkinan besar harta suami lebih cepat mencapai nishob dibandingkan harta istri.

Ketahuilah bahwa dalam harta peninggalan suami maupun istri ada harta yang diwarisi oleh orang lain, seperti orang tua suami atau istri. Untuk itu, jalan terbaik adalah dengan mengetahui jumlah harta masing-masing walaupun tidak terlalu mendetil, asalkan penghitungan ini tidak melahirkan sengketa dan pertikaian antar keluarga.

Jangan sampai terjadi penguasaan istri terhadap harta suaminya ketika suaminya sudah meninggal. Begitu juga sebaliknya jika istri meninggal, jangan sampai suami menguasai seluruh harta istri. Dengan dalih harta ini adalah milik bersama. Karena, harta bersama pun bisa diketahui prosentase harta dari andil masing-masing anggota.

Peringatan

Ada suatu bentuk akal-akalan yang dikenal dalam masyarakat. Yaitu, yang mereka sebut dengan strategi agar tidak membayar zakat.

Contohnya: seorang suami yang telah memiliki harta mencapai nishob. Sebelum genap mencapai satu tahun (haul) ia serahkan hartanya itu untuk istrinya, dengan persyaratan dimiliki oleh istrinya sampai waktu tidak mencapai satu tahun (haul) kemudian diserahkan kembali untuk suaminya. Dan begitu seterusnya.

Secara lahiriah saja, strategi ini hanyalah bentuk akal-akalan ingin lari dari kewajiban zakat, yaitu dengan cara memutus haul.

Karena, kita sudah membaca arti dari surat An-Nisa, ayat 20, bahwasanya bila harta sudah diserahkan pada istri, maka itu menjadi hak milik istri sepenuhnya tidak berhak si suami memintanya kembali.

Namun, dalam kasus “strategi menghindari zakat” di atas, pastilah suami itu akan marah jika uang yang diserahkan pada istrinya digunakan sekehendak hati istri. karena, memang pada hakikatnya suami itu bukan menyerahkan kepemilikan penuh hartanya pada istri. Namun, “strategi” itu hanyalah lahir dari sifat kikir dan pelit, lari dari kewajiban zakat.

Kita semua beriman, bahwa Allah Ta’ala mengetahui apa yang tersirat dan terbersit dari niat hati kita. Hendaknya kita takut, jika kita berhasil lari dari kewajiban zakat, namun finishnya dalam api neraka. Naudzubillahi min Dzalik.

Wallahu a’lam bish showab

Catatan:

Keterangan di atas merupakan artikel rubrik zakat yang diterbitkan dalam majalah pengusaha muslim edisi 36. Majalah ini tidak diterbitkan dalam edisi cetak, namun disediakan dalam edisi e-Mag. Anda bisa mendapatkannya di http://shop.pengusahamuslim.com/

Semoga bermanfaat.

Dijawab oleh Ustadz Muhammad Yasir, Lc.

source: https://konsultasisyariah.com/18072-fikih-zakat.html