Pertanyaan
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Bagaimana hukumnya, bagi seseorang yang berprofesi sebagai penulis fiksi Islam ?
Apakah benar buku2 fiksi yang berkisah tentang Islam itu akan ditanya Allah kelak di akhirat? Meski cerita itu menginspirasi orang muslim, dan memotivasi semangat beribadah? Syukron.
( Yani di Depok, Sahabat BiAS T03 G-31)
Jawaban
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Saudaraku sekalian yang mencintai Sunnah dan dicintai oleh Alloh, pertama-tama kita bagi dulu pembahasan ini agar terperinci, antara tinjuan umum dan tinjauan khusus. Tinjauan umum ini bersifat universal, dari sisi penulis ataupun pembaca, juga dari sisi proses penulisan ataupun proses membacanya. Adapun tinjauan khusus adalah dri sisi efek atau akibat dari penulisan atau pembacaan cerita fiksi tersebut.
Secara makna, fiksi adalah tindakan mengada-ada, tidak nyata, dusta atau manipulatif. Dengan kata lain sesuatu yang berkebalikan dengan kenyataan. Kita pun telah dijelaskan dalam hadits bahwa membuat orang terhibur melalui sesuatu yang dusta adalah hal terlarang
وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” [HR Abu Daud 4990 dan Tirmidzi 3315].
Islam sendiri adalah agama yang sangat mengutamakan kejujuran dalam semua hal, karena islam menganggap kejujuran dan sikap apa adanya adalah sesuatu yang mahal, sebagai sebuah wasilah ke surga. Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda;
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Alloh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Alloh sebagai pendusta.” [Muslim 2607, Abu Dawud 4989, Tirmidzi 1971]
Adapun jika itu adalah cerita islami yang menanamkan akhlaq, budi pekerti atau nilai nilai islami lainnya maka ada silang pendapat dikalangan ‘ulama, dan sejauh pengamatan kami belum ada yang mengharamkan secara mutlak dari ‘ulama jika tujuannya untuk penanaman akhlaq, dan tidak membawa efek negatif terhadap syari’at bagi pembaca.
Ada sebagian ‘ulama yang memakruhkan, adapula ‘ulama yang membolehkan. Yang membolehkan (dan ini yang kami cenderung padanya) berhujjah dengan hadits tatkala Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasalaam mempersilahkan para sahabatnya untuk menyampaikan kisah-kisah Bani Israil.
Beliau sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda dalam haditsnya ;
“حدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج”
“Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa” [HR Abu Daud 3177]
Bahkan dalam riwayat Ahmad, yang dishohihkan Al-Albani disebutkan dengan tambahan kandungan yang menarik;
فإنه كانت فيهم الأعاجيب (رقم 2926 – المجلد الثاني – القسم الثاني )
“Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita itu (Bani Israil) terkandung cerita-cerita yang menarik” [Silsilah Ash-Shohihah 2926]
Dan sebagaimana yang kita ketahui bahwa cerita dari Bani Israil tidaklah semuanya benar, namun para ulama mengatakan bahwa hadits diatas menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita Bani Israil yang menarik sekedar untuk hiburan, bukan untuk berdalil atau hujjah. Dalam artian hanya untuk refreshing, menghilangkan penat atau kegundahan hati, bukan sebagai dalil dan alasan untuk beramal.
Hadits di atas juga disimpulkan oleh sebagian ulama untuk menunjukkan bolehnya mendengar atau membaca cerita-cerita yang unik dan menarik dengan tujuan hiburan dengan syarat cerita tersebut belum pasti kebohongannya. Sedangkan jika cerita tersebut sudah pasti kebohongannya maka boleh diceritakan jika tujuannya untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan menanamkan sifat-sifat positif seperti adil, berani dan bertanggung jawab, baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan asalkan semua orang yang membacanya pasti faham bahwa cerita tersebut hanya sekedar imajinasi atau karangan semata. Inilah pendapat Ibnu Hajar al Haitaimi, seorang ulama syafi’iyyah.
Syeikh Utsaimin rohimahulloh ketika ditanya perihal orang-orang yang intens dalam masalah adab menulis sebuah buku dengan bahasa memukau yang mampu menggugah para pembaca, dan didalamnya terdapat cerita-cerita khayalan atau fiksi, maka beliau pun menjawab;
لا بأس بذلك إذا كان يعالج مشاكل دينية أو خُلقية أو اجتماعية ، لأن ضرب الأمثال بقصص مفروضة غيرواقعة لا بأس به ، حتى أن بعض العلماء ذكر ذلك في بعض أمثلة القرآن الكريم أنها ليست واقعة لكن الله ضربها مثلا ، مثل قوله : ” ضرب الله مثلا رجلين أحدهما أبكم لا يقدر على شيء وهو كلّ على مولاه أينما يوجّهه لا يأت
بخير هل يستوي هو من يأمر بالعدل وهوعلى صراط مستقيم “. ] فتاوى نور على الدرب (الحلقة (716)]
“Tidak mengapa dengan itu jika dapat menyembuhkan berbagai permasalahan agama, akhlaq, ataupun kemasyarakatan. Sebab menyampaikan permisalan dengan kisah-kisah yang tak nyata tidak mengapa, boleh. Bahkan sebagian ulama menyampaikan dengan beberapa permisalan yang disampaikan Al-Quran itu tidaklah nyata, hanya sebuah permisalan dari Alloh. Seperti dalam firman-Nya;
وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا رَّجُلَيۡنِ أَحَدُهُمَآ أَبۡكَمُ لَا يَقۡدِرُ عَلَىٰ شَيۡءٖ وَهُوَ كَلٌّ عَلَىٰ مَوۡلَىٰهُ أَيۡنَمَا يُوَجِّههُّ لَا يَأۡتِ بِخَيۡرٍ هَلۡ يَسۡتَوِي هُوَ وَمَن يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَهُوَ عَلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ
“Dan Alloh pun membuat perumpamaan, dua orang lelaki, salah satunya bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?”” (QS An-Nahl 76)
Syeikh Ibnu Jibrin rohimahulloh pun menjawab dengan jawaban yang senada, ketika ditanya tentang teks bacaan dalam buku pelajaran ta’bir yang mayoritasnya adalah cerita fiksi
إذا عرف الحاضرون أنها قصص خيالية ابتكرها الكاتب، أو القاص لشحذ أذهان الطلاب واجتذاب أفهامهم وضرب الأمثلة لهم فلا بأس بها فقد أقر العلماء القصص المؤلفة كما في مقامات بديع الزمان الهمذاني ومقامات الحريري ونحوها..
Beliau mengatakan, “Jika para hadirin mengetahui bahwa kisah tersebut adalah fiksi yang dibuat oleh penulis atau pendongeng, dengan tujuan menarik perhatian dan pemahaman para hadirin atau sebagai permisalan maka hukumnya adalah tidak mengapa. Karena para ulama pun telah menetapkan bolehnya cerita fiksi seperti yang terdapat dalam buku Maqamat karya Badiuz Zaman Al-Hamdzani dan Maqamat karya Al-Hariri, serta buku-buku semisalnya..”
Namun beliau juga memberikan nasihat pada akhir penjelasannya tentang keutamaan mengambil ibroh dari kisah nyata;..
مع أنه يُفضل أن يبحث عن قصص واقعية يصوغها بعبارته ويظهر ما فيها من المعاني والفوائد
“Walaupun yang lebih baik adalah mencari cerita-cerita nyata yang disampaikan dengan bahasa sendiri, kemudian disampaikan pesan atau faidah yang terkandung dibalik cerita tersebut”.
Dari pemaparan diatas, baik itu hadits ataupun perkataan ‘ulama, kami dapat simpulkan bahwa tidaklah terlarang untuk membaca ataupun menulis buku cerita fiksi (inilah yang kami sebut dengan tinjauan umum), namun dengan 3 syarat berikut ini;
a. Semua orang yang membacanya paham dan sadar bahwa cerita itu hanyalah fiksi.
b. Tujuan penulisan cerita itu adalah niat yang baik, penanaman akhlak mulia seperti; adil, berani, tanggung jawab, dan lain-lain.
c. Bukan sebagai dalil atau hujjah.
Adapun tinjauan khusus yakni dari sisi efek bagi orang yang menekuninya, hukumnya pun berbeda-beda, selain poin yang disebutkan diatas, jika kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini justru membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya haram. Dan jika kegiatan menulis atau membaca ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya makruh. Karena termasuk bisikan syeitan adalah membuat seseorang mudah meninggalkan yang sunnah dan lebih memilih yang mubah, bahkan makruh. Wal’iyyadzubillah.
Dan berkenaan tentang hisab, tentu saja semua yang kita lakukan akan dihisab oleh Alloh, tidak terkecuali menulis cerita fiksi, sebagus dan semulia apapun isinya tak kan ada yang luput dari hisab-Nya. Sebagaimana tercantum di beberapa tempat dalam firmanNya;
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ – وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya pula. (QS Al-Zalzalah 7-8)
إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ – ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ
Sesungguhnya kepada Kamilah mereka akan kembali, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka. (Al-Ghasyiyah 25-26)
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا ۚ أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Pada hari ketika mereka dibangkitkan Alloh semuanya, lalu diberitakanNya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Alloh mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan sejatinya Alloh Maha Menyaksikan segala sesuatu. (QS Al-Mujaadilah 6)
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰ أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (QS Yaasin 65)
الْيَوْمَ تُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ ۚ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Pada hari ini, tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sejatinya Alloh amat cepat hisabnya. (QS Al-Mu’min 17]
Karenanya saudaraku, mari kita isi hidup kita dan juga amal perbuatan kita, dengan amalan-amalan terbaik yang mampu kita lakukan.
Berani meninggalkan yang baik untuk mendapatkan yang lebih baik. Tidak mencukupkan dengan yang baik, jika ada sesuatu yang lebih baik.
Wallohu A’lam
Wabillahit Taufiq
Dijawab oleh :
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله
(Dewan Konsultasi Bimbinganislam.com)
Referensi: https://bimbinganislam.com/hukum-berprofesi-sebagai-penulis-fiksi-islam/