Pertanyaan:
بسم الله الرحمن الر حيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Afwan Ustadz
Bagamana hukum pengobatan dengan minyak ular ?
Bagaimana menurut 4 mazhab ?
Mohon penjelasannya.
Syukran Wajazākallāh khairan Ustadz
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ditanyakan oleh Sahabat BIAS T07
Jawaban:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ الله وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ الله
Alhamdulillāhi rabbil ālamīn, Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.
Afwan Wajazākallāh khairan katsiran atas pertanyaan dan do’a yang antum sampaikan,
Kami belum mengetahui rincian pendapat masing-masing madzhab yang empat. Hanya saja Syafiiyyah melarang penggunaan minyak ular untuk dikonsumsi atau dioles ke badan karena ia adalah benda najis. Imam An-Nawawi menyatakan :
الصَّحِيح عِنْد الشَّافِعِيّ وَأَصْحَابه أَنَّهُ يَجُوز الِانْتِفَاع بِشَحْمِ الْمَيْتَة فِي طَلْي السُّفُن وَالِاسْتِصْبَاح بِهَا , وَغَيْر ذَلِكَ مِمَّا لَيْسَ بِأَكْلٍ وَلَا فِي بَدَن الْآدَمِيّ
“Pendapat yang shahih menurut Asy-Syafi’i dan para sahabatnya bahwasanya boleh memanfaatkan lemak bangkai untuk perbaikan perahu serta untuk penerangan dan kepentingan lain selain untuk dimakan dan untuk dioleskan di badan manusia.”
(Syarah Shahih Muslim : 11/6, lihat pula catatan kaki pada Al-Hawi Fi Bayan Atsarith Thahawi : 3/14).
Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah pernah merilis fatwa berkaitan dengan masalah ini :
فيه رجل يستعمل الحيات للطب ، ويزعم أن ذلك مباح للظروف والضرورة ، وطريقة استعماله في الحية : يمسكها ويضعها في قدر سمن وهي لم تمت ، والقدر يغلي على النار ، وبعد ذلك يعالج بالسمن الذي طبخ فيه الحية ، والذي يستعمله يسكر سكرا خفيفا ، هل يجوز التداوي بهذا السمن ، إذا ثبت أنه مفيد للمرض ؟ وهل يجوز وضع الحية بالسمن وهو يغلي على النار ؟
فأجاب علماء اللجنة :
” أولا : لا يجوز وضع الحيوان وهو حي في سائل يغلي ؛ لما في ذلك من تعذيب الحيوان ، وهو منهي عنه بقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( إذا قتلتم فأحسنوا القتلة ) .. الحديث .
ثانيا : لا يجوز التداوي بالحيات ولا بالسمن الذي طبخت فيه ؛ لأنها لا يجوز أكلها على الصحيح من قولي العلماء ، وميتتها نجسة ، والتداوي بالمحرم حرام ”
“Ada seorang lelaki menggunakan ular sebagai obat. Dan ia menyangka bahwa hal tersebut diperbolehkan dalam kondisi tertentu. Cara penggunaannya adalah ; Ia menangkap ular lalu meletakkannya di atas wajan padahal ular tersebut belum mati.
Kemudian ia memasak ular tersebut dan menggunakan minyak yang keluar dari ular tersebut. Orang yang menggunakan minyak ini akan mabuk sedikit. Apabila penggunaan obat seperti ini memang memberi manfaat, apakah diperbolehkan yang seperti itu?
Para ulama yang tergabung di dalam Lajnah Da’imah menjawab :
Yang pertama tidak boleh merebus ular dalam cairan mendidih keadaan hidup. Karena ini merupakan salah satu bentuk penyiksaan. Yang seperti ini dilarang sebagaimana yang tersebut di dalam hadist : Apabila kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik.
Yang kedua tidak boleh berobat dengan ular ataupun dengan minyak rebusan ular. Karena ular adalah binatang yang tidak boleh dimakan menurut pendapat yang shahih dari para ulama. Dan bangkainya najis dan karena berobat dengan sesuatu yang haram juga haram hukumnya.”
[Fatawa Lajnah Da’imah ; 25/25-26]
Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan kebolehan menggunakan minyak najis (minyak babi) selama tidak dimakan hanya dioleskan saja setelah itu dibersihkan kembali manakala kita ingin shalat. Beliau berkata :
“Berobat dengan memakan minyak babi tidak diperbolehkan. Adapun berobat dengan cara dioleskan kemudian dibersihkan kembali setelah itu, maka ini terbangun di atas hukum bolehnya menyentuh benda najis diluar shalat. Dan hal ini diperselisihkan para ulama. Pendapat yang benar hal tersebut diperbolehkan jika memang ada keperluan.
Sebagaimana seseorang diperbolehkan cebok dan menghilangkan benda najis dengan menyentuhnya menggunakan tangan. Dan apa yang diperbolehkan ketika memang hal tersebut dibutuhkan, maka boleh berobat dengannya.
Sebagaimana bolehnya berobat dengan memakai sutra menurut pendapat yang paling benar dari para ulama’. Dan apa-apa yang diperbolehkan dalam kondisi darurat, maka tidak boleh berobat dengannya, seperti misalnya berobat dengan khamr”.
[Al-Fatawa Al-Kubra : 3/8 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah]
Dan demikian pula pendapat yang dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin beliau menyatakan :
أما بالنسبة لاستعمال هذا الدواء الذي فيه شحم الخنزير إذا ثبت أن فيه شحماً للخنزيز فهذا لا بأس به عند الحاجة ، لأن المحرم من الخنزير إنما هو أكله (إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الخنزير) وقال الله تعالى آمراً رسوله صلي الله عليه وسلم : (قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ) وثبت عن النبي صلي الله عليه وسلم أنه قال : (إنما حرم من الميتة أكلها) وأنه أذن في الانتفاع بجلدها بعد الدبغ ، وثبت عنه صلي الله عليه وسلم أنه قال : (إن الله حرم الخمر والميتة والخنزير والأصنام . فقيل : يا رسول الله ، أرأيت شحوم الميتة ، فإنه يطلي بها السفن ، ويدهن بها الجلود ، ويستصبح بها الناس؟ فقال الرسول صلي الله عليه وسلم : لا ، إنما هو حرام) يعني البيع ، لأنه هو موضع الحديث ، والصحابة رضي الله عنهم أوردوا هذا لا لأجل أن يعرفوا حكم هذه الأشياء ، لكن لأجل أن يكون مبرراً للبيع ، قالوا : هذه المنافع التي ينتفع بها الناس من شحوم الميتة ألا تبرر بيعها ؟ قال النبي صلي الله عليه وسلم : لا ، هو حرام .
وعلى هذا فاستعمال هذا الدواء في دهن الرأس به إذا صح أنه مفيد فإن الحاجة داعية إليه ، وعلى هذا فإذا استعملته فإنها عند الصلاة تغسله ، لأن شحم الخنزير نجس ، هذا إذا ثبت
“Adapun menggunakan obat yang mengandung lemak babi apabila telah valid bahwa ia mengandung minyak babi maka tidak mengapa ketika ada kebutuhan.
Karena yang diharamkan dari babi adalah memakannya. Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. [QS Al-Baqarah : 173]
Dan Allah juga berfirman ketika memerintahkan kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam:
*Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.* (QS Al-An’am : 145).
Dan telah sahih juga sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam : Sesungguhnya yang diharamkan dari bangkai adalah memakannya.
Dan bangkai itu boleh dimanfaatkan kulitnya setelah disamak. Demikian pula telah sahih hadits bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr, bangkai dan babi serta berhala. Dikatakan kepada beliau ; “Wahai Rasulullah bagaimana jika lemak bangkai digunakan untuk perbaikan perahu, meminyaki kulit serta untuk penerangan bagi manusia?”
Beliau menjawab ; “Tidak boleh akan tetapi ia itu haram.” Maksudnya haram untuk diperjual belikan, karena itulah inti pembahasan hadits ini. Dan para sahabat radhiallāhu ‘anhum menanyakan hal ini bukan untuk mengetahui hukum terhadap masalah ini. Akan tetapi dalam rangka untuk mendapatkan kebolehan untuk diperjual belikan.
Sehingga mereka menyatakan : Demikian banyak manfaat yang didapatkan oleh manusia dari lemak bangkai ini, apakah engkau tidak membolehkannya untuk diperjual belikan ?
Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab ; “Tidak, ia itu haram.”
Berdasarkan hal ini maka menggunakan obat berupa lemak bangkai ini untuk meminyaki kepala apabila terbukti manjur maka kebutuhan menuntut hal tersebut. Atas dasar ini apabila engkau menggunakannya, maka ketika hendak shalat engkau harus mencucinya, karena minyak babi itu najis. Ini semua apabila memang terbukti manjur.”
[Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin no. 4629]
Kesimpulan yang bisa kita petik dari pembahasan ini adalah minyak ular itu statusnya sama dengan minyak babi. Yaitu sama-sama najis. Dan berobat dengannya jika dengan cara dikonsumsi maka haram hukumnya.
Jika penggunaannya hanya dengan cara dioleskan maka para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah demikian pula Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan kebolehannya jika ada kebutuhan dan harus dicuci bersih ketika hendak shalat.
Adapun memperjual-belikan minyak bangkai ini ia adalah sesuatu yang haram karena dilarang oleh Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Wallāhu a’lam
Wabillāhittaufiq.
Dijawab dengan ringkas oleh:
? Ustadz Abul Aswad Al Bayati, حفظه الله
Referensi: https://bimbinganislam.com/hukum-pengobatan-dengan-minyak-ular/