Pertanyaan

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه

Pertanyaan dari Yayat, Sahabat BiAS di Kota Bima :

Ustadz, di Bima ketika lamaran seorang lelaki diterima, maka akan diadakan musyawarah antara 2 keluarga mempelai, RT dan RW dari kampung keduanya.

Saat musyawarah kampung, sebagian warga kampung mendatangi rumah dari kedua mempelai untuk (menyumbangkan uang) sesuai kemampuan/keikhlasan untuk digunakan dalam acara pernikahan nantinya. Uang itu bisa buat mahar, acara akad dan walimahnya.

Pertanyaan :
Bagaimana hukum mengadakan acara musyawarah kampung untuk meminta sumbangan uang kepada masyarakat sebagaimana tersebut?
Dan jika anak dari salah seorang yang penyumbang akan menikah, maka uang yang disumbangkan tadi dikembalikan lagi, namun tidak dikembalikan juga tidak masalah karena niatnya membantu, akan tetapi ada keinginan agar uang itu bisa kembali jika anaknya penyumbang menikah.

Ada petugas yang dibayar untuk menghimbau ke setiap untuk menyumbangkan uang pada acara musyawarah kampung itu, sebagaimana pihak keluarga si fulan yang keliling tiap rumah untuk meminta sumbangan untuk anaknya yang mau menikah.
Bagaimana hukumnya hal tersebut?

Mohon pencerahannya, Ustadz.

(Disampaikan: admin BiAS )

Jawaban

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.

Dalam syari’at islam, adat istiadat memang bisa menjadi status atau ketetapan hukum, sebagaimana dalam kaidah:

العادة المحكمة

“Adat/kebiasaan itu bisa menjadi hukum”

Namun tetap dengan koridor yang jelas, yakni tidak bertentangan dengan sumber syari’at utama, Al-Quran & Al-Hadits.

Nah jika kasusnya seperti yang antum ceritakan, ana khawatir itu bisa menjadi bibit ketidakikhlasan dan juga riba. Kok bisa?

Tidak ikhlas ketika memberi karena berharap dikembalikan dengan nominal sama, atau kalau bisa lebih. Dan ketika menerima lebih dari yang diberikan menjadi riba, karena secara kebiasaan itu “bisa dianggap” pinjaman, sebab berharap dikembalikan.

Belum lagi secara syariat ada larangan meminta-minta, sebagaimana disebutkan dalam hadits Qobishoh rodhiallohu ‘anhu;

يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا

“Wahai Qobishoh! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang:

(1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti.

(2) Seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.

(3) Seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup.

Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qobishoh! adalah harom, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.” [HR Muslim 1044]

Bahkan ketika yang meminta itu bukan orang yang membutuhkan, alias dia mampu, maka termasuk dalam hadits Abu Huroiroh rodhiallohu ‘anhu;

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

“Siapa yang meminta-minta kepada orang banyak untuk menumpuk harta kekayaan, berarti dia hanya meminta bara api. Sama saja halnya, apakah yang diterimanya sedikit atau banyak.” [HR Muslim 1041]

Karena memang secara hukum asal meminta itu harom kecuali karena butuh, coba perhatikan hadits Samuroh bin Jundub rodhiallohu ‘anhu :

الْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ

“Meminta-minta adalah seperti seseorang mencakar wajahnya sendiri, kecuali jika meminta-minta pada penguasa atau pada perkara yang benar-benar ia butuh.” [HR Nasa’i 2600]

Hadits di atas memiliki hubungan dengan riwayat ‘Abdulloh bin ‘Umar rodhiallohu ‘anhu :

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

“Seseorang meminta-minta pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” [HR Bukhori 1474 dan Muslim 1040]

Coba bayangkan, mencakar wajahnya sendiri hingga tak memiliki sekerat daging di wajahnya, sungguh hal yang mengerikan!

Saran ana :

1. Yang pertama sederhanakan walimah, tak perlu banyak mengeluarkan biaya, tekan sebisa mungkin.
2. Kedua, jika termasuk orang mampu tak perlu ikut meminta atau ikut musyawarah kampung.
3. Ketiga, kalau bisa segera sosialisasikan serta tekankan (dengan penuh adab) bahwa itu sifatnya adalah
sumbangan sukarela sebagai bentuk ukhuwah, tak usah ada pamrih dan berharap dikembalikan, sehingga tak
perlu juga dicatat.

Wallahu a’lam,
wabillahittaufiq.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله

Referensi: https://bimbinganislam.com/meminta-sumbangan-dengan-harapan-dikembalikan/