Menjelang lebaran uang receh dengan pecahan 1000 atau 2000 rupiah dibutuhkan untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak atau orang yang tidak mampu.
Niat ini cukup bagus karena untuk memberikan kegembiraan kepada mereka di hari raya kaum muslimin.
Uang receh dalam jumlah besar agak sulit didapatkan sehingga ada orang yang meilhat peluang ini dan menjadikannya bisnis.
⚠ Akan tetapi perlu diketahui bahwa bisnis ini adalah riba.
Riba dilarang oleh syariat.
? Memang dampak riba tidak langsung terlihat secara individu akan tetapi riba bisa merusak bahkan melumpuhkan ekonomi suatu bangsa karena yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin sehingga celah sekecil apapun yang bisa membawa kepada kerusakan yang besar akan ditutup oleh syariat.
____✏
Jual-beli receh adalah riba
Pada prakteknya jual beli receh dengan menukar 1000 rupiah sebanyak 100 (senilai dengan 100 ribu) dengan harga 120 ribu misalnya.
Maka ada nilai lebih, lebih-lebih pada benda ribawi yaitu mata uang.
Jika ingin tidak termasuk riba, maka tukar-menukarnya harus sama nilai dan jumlahnya.
✅ 100 ribu selembar ditukar dengan 1000 rupiah 100 lembar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ
“Jika emas ingin ditukar dengan emas, maka harus sama timbangannya.”
(HR. Muslim no. 1591)
Demkian juga berbagai fatwa ulama bahwa Uang Termasuk Benda Ribawi dan tidak boleh menukarnya dengan nilai lebih.
Sebagaimana fatwa Hai’ah Kibar Ulama
لا يجوز بيع الجنس الواحد منه بعضه ببعض متفاضلاً، سواء كان ذلك نسيئة أو يداً بيد، فلا يجوز مثلاً بيع عشرة أريلة سعودية ورق بأحد عشر ريالاً سعودياً ورقاً.
“Tidak boleh menukar satu jenis (mata uang) dengan nilai lebih, baik itu dengan cara tertunda (tidak tunai) atau kontan (tunai). Misalnya menukar sepuluh riyal saudi dengan satu lembar 11 riyal saudi.”
(Pembahasan Hai’ah Kibar Al-Ulama 9/1-39)
Uang adalah benda ribawi
Mengapa uang alat tukar dianggap sebagai barang ribawi?
Karena uang disamakan “illat”/alasannya dengan emas dan perak.
Emas dan perak merupakan benda ribawi.
Sebagaimana dalam hadits,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba.
Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”
(HR. Muslim no. 1584)
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).”
(HR. Muslim no. 1587)
? Pendapat terkuat bahwa “illat”/alasan emas dan perak menjadi benda ribawi karena merupakan alat tukar dan mempunyai nilai tukar.
Karenanya dinar dan perak sebagai alat tukar di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dianggap sebagai benda ribawi.
Begitu juga dengan uang di zaman sekarang.
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelasakan,
وأما الدراهم والدنانير، فقالت طائفة العلة فيهما كونهما موزونين، وهذا مذهب أحمد في إحدى الروايتين عنه ومذهب أبي حنيفة، وطائفة قالت:العلة فيهما الثمنية، وهذا قول الشافعي ومالك وأحمد في الرواية الأخرى، وهذا هو الصحيح بل الصواب
Adapun dirham dan dinar, ada yang bependapat “illat” (alasan menjadi benda ribawi) adalah karena takarannya ditimbang, ini adalah mazhad Imam ahmad pada satu riwayat dan mazhad Abu Hanifah.
Pendapat yang lain, “illat”nya adalah karena memiliki nilai tukar. Ini adalah pendapat Syafi’iyah, Malik dan Imam Ahmad pada satu riwayat. Ini adalah pendapat yang shahih (illatnya adalah karena nilai tukar).”
(I’lamul Muwaqqi’in 2/156)
? Ustadz Rarhanul Bahraen
source: www.muslimafiyah.com – Oleh: Mutiara Risalah Islam