Aktifitas pendakian gunung, safar ke pegunungan, atau mendaki gunung adalah aktifitas yang sudah sejak zaman dahulu dikenal oleh manusia. Bahkan tercatat di dalam sejarah para nabi pun melakukan aktifitas ini. Namun bedanya mereka memiliki misi penting lagi mulia dari perjalanan mereka.
Seperti nabi Musa ‘alaihissalam yang bersafar menuju lembah suci gunung Tursina. Tak jarang juga Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam mendaki gunung Uhud bersama para sahabat.
عَنْ قَتَادَةَ ، أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَعِدَ أُحُدًا ، وَأَبُو بَكْرٍ ، وَعُمَرُ ، وَعُثْمَانُ فَرَجَفَ بِهِمْ ، فَقَالَ : اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ ، وَصِدِّيقٌ ، وَشَهِيدَانِ
“Dari Qatadah bahwa Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan kepada mereka bahwa suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke Gunung Uhud dan bersama beliau ada Abu Bakar, Umar, dan Utsman (radhiyallahu anhum).
Maka gunung Uhud lantas bergetar hebat, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memenangkannya seraya berkata,
“Tenanglah wahai Uhud, karena di atasmu ada seorang Nabi, seorang Shiddiq dan dua orang Syahid.”
(HR. Bukhari : 3472).
Maka hendaknya kita juga menjadikan aktifitas ini bernilai pahala di sisi Allah ta’ala. Membawa misi penting berupa keinginan kuat menghidupkan beberapa sunnah nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah jarang dilakukan oleh manusia. Bukan hanya sekedar melampiaskan hobi dan kesenangan semata.
Dan berikut ini adalah amalan-amalan sunnah yang bisa kita lakukan tatkala kita melakukan aktifitas pendakian di gunung :
1. Berwudhu dengan air satu mud dan berhemat dalam penggunaan air
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ، وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ، إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ
“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan air satu mud dan mandi dengan satu sha’ sampai lima mud.”
(HR. Bukhari : 198, Muslim : 325).
Syaikh Abdullah bin Sulaiman Al-Mani’ menuturkan :
وقد بحثت هيئة كبار العلماء في المملكة العربية السعودية مقدار الصاع بالكيلو جرام وكان بحثها معتمداً على أن صاع رسول الله صلى الله عليه وسلم أربعة أمداد ، وأن المد ملء كفي الرجل المعتدل
“Haiah Kibar Ulama di KSA telah meneliti ukuran satu Sho’ jika dikonversikan ke kg. Dan penelitian ini berdasarkan fakta bahwa satu Sho’ menurut Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam itu sama dengan empat Mud, dan bahwasanya satu Mud setara dengan sepenuh dua telapak tangan lelaki yang sedang.”
(Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah edisi 59 hal. 179
2. Tayammum
Ini dilakukan tatkala kita tidak mendapatkan air yang cukup untuk bersuci, Allah ta’ala berfirman :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”.
(QS. Al-Maidah : 6).
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا ، فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الْأَرْضِ ، ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ بِها ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Engkau cukup melakukan seperti ini :
Beliau lantas menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah, lalu beliau meniupnya,
kemudian beliau mengusap telapak tangan dengan telapak kirinya atau mengusap telapak tangan kiri dengan telapak tangannya kemudian mengusapkan keduanya ke wajah beliau.”
(HR. Bukhari : 4704, Muslim : 368).
3. Mengusap alas kaki
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Shafwan bin Asal berkata :
فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلاَثاً إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ نَخْلَعَهُمَا مِنْ غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya.
Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.”
(HR. Ahmad 4/239 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth).
4. Mengumandangkan adzan di gunung dan sholat berjamaah di sana
يَعْجَبُ رَبُّكَ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةِ الْجَبَلِ يُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ وَيُصَلِّي، فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا يُؤَذِّنُ وَيُقِيمُ الصَّلَاةَ يَخَافُ مِنِّي، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ
“Tuhanmu takjub kepada seorang penggembala domba di puncak gunung, dia mengumandangkan adzan untuk sholat, lalu dia sholat.
Maka Allah ta’ala berfirman : “Lihatlah hambaku ini, di mengumandangkan adzan dan beriqamat untuk sholat, dia takut kepadaku, Aku telah mengampuni hambaku ini dan memasukkanya ke dalam surga.”
(HR Abu Dawud : 1203 dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 424).
5. Menentukan arah kiblat
Syaikh Bin Baz menyatakan :
إذا كان المسلم في السفر أو في بلاد لا يتيسر فيها من يرشده إلى القبلة فصلاته صحيحة ، إذا اجتهد في تحري القبلة ثم بان أنه صلى إلى غيرها .
“Apabila seorang muslim berada dalam kondisi safar atau berada di sebuah negri yang tidak ada orang bisa menunjukan arah kiblat :
maka sholatnya sah jika ia telah berusaha mencari arah kiblat, kemudian ternyata ia sholat dengan menghadap arah selain kiblat.”
(Majmu’ Fatawa : 10/420).
Dan ketika kita berada di gunung kita bisa menggunakan minimalnya dua metode untuk mengetahui arah kiblat yaitu :
– Menggunakan matahari
– Mendeteksi kiblat dengan lumut di pepohonan.
Tatkala malam telah tiba kita bisa meraba lumut yang tumbuh di batang pohon. Diantara sifat lumut ia ini menyerap energi panas dan menyimpannya sehingga jika kita mendapati lumut terasa hangat di malam hari, kemungkinan besar sisi lumut yang hangat itu adalah sisi batang pohon yang ada di sisi barat. Karena tadi di kala siang lumut tersebut menerima pancaran sinar matahari dari arah barat yang kemudia ia serap dan simpan energi panas tersebut, wallahu a’lam.
6. Menjamak dan mengqashar sholat
Syaikh Masyhur Hasan Ali Salman menyatakan ;
ذهب جماعة كبيرمن الفقهاء إلى مشروعية الجمع بعذر السفر ولم يخالف إلا الحنفية ومن حذا حذوهم في منع الجمع على الإطلاق
“Banyak sekali para ulama’ ahli fiqih yang berpendapat disyariatkannya menjamak shalat karena udzur safar dan tidak ada yang menyelisihinya, kecuali madzhab Hanafiyah serta orang yang mengikuti mereka di dalam melarang jamak secara mutlak.”
(Al-Jam’u Bainas Shalatain : 54).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan :
كلُّ اسمٍ ليس له حَدٌّ في اللغة ولا في الشَّرع، فالمرجِعُ فيه إلى العُرْف
“Setiap sesuatu yang tidak memiliki batasan di dalam syariat maka batasannya dikembalikan kepada ‘Urf (Kebiasaan masing-masing daerah).”
(Majmu’ Fatawa : 24/40).
7. Shalat dengan menggunakan alas kaki (sendal ataupun sepatu)
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ، وَلَا خِفَافِهِمْ
“Selisihilah orang Yahudi ! sesungguhnya mereka tidak shalat dengan menggunakan sandal maupun sepatu.”
(HR. Abu Daud 652 dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahihul Jami’ : 321).
8. Observasi waktu shalat subuh
Disebutkan di dalam kitab Fathul Mun’im Syarah Shahih Muslim disebutkan :
قال الفقهاء: يبدأ وقت صلاة الصبح بطلوع الفجر الصادق بالإجماع والفجر الصادق هوالبياض المستطير المنتشر فى الأفق
“Para ulama ahli fiqih menyatakan waktu sholat subuh itu dimulai dengan terbitnya fajar shadiq berdasarkan kesepakatan para ulama.
Dan Fajar Shadiq adalah semburat warna putih yang muncul dan menyebar di ufuk timur.”
(Fathul Mun’im Syarah Shahih Muslim : 3/311).
Dan keberadaan Fajar Shadiq ini hanya bisa kita lihat dengan jelas, terang dan gamblang tatkala kita ada di lokasi yang sangat lapang seperti di pinggir pantai, atau lokasi yang tinggi seperti puncak gunung. Sehingga pandangan kita ke arah ufuk tidak terhalang oleh keberadaan pohon, rumah, gedung dll.
Dengan begitu orang yang mendaki gunung akan bisa menyaksikan secara langsung perbedaan mencolok antara Fajar Shadiq dengan Fajar Kadzib.
9. Menyingkirkan gangguan di jalan
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تُمِيْطُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ
“kamu membuang gangguan dari jalan adalah sedekah.”
(HR Bukhari : 2989, Muslim : 1009)
10. Bertakbir ketika menanjak serta bertasbih ketika turun
Disebutkan dalam salah satu riwayat yang shahih :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم و أصحابه إذا علوا الثنايا كبروا و إذا هبطوا سبحوا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya biasa jika melewati jalan mendaki, mereka bertakbir (mengucapkan “Allahu Akbar”).
Sedangkan apabila melewati jalan menurun, mereka bertasbih (mengucapkan “Subhanallah”).
(HR Abu Dawud : 3599 dishahihkan oleh Al-Albani).
Pelaksanaan takbir dan tasbih pada kondisi ini tidak berlaku kecuali tatkala kita sedang bersafar jauh seperti mendaki gunung. Adapun ketika di rumah atau lingkungan sekitar rumah tidak disyariatkan dzikir ini.
Imam Ibnu Utsaimin menyatakan :
ولم ترد السنة بأن يفعل ذلك في الحضر، والعبادات مبنية على التوقيف، فيقتصر فيها على ما ورد، وعلى هذا فإذا صعد الإنسان الدرجة في البيت فإنه لا يكبر، وإذا نزل منها فإنه لا يسبح، وإنما يختص هذا في الأسفار
“Tidak pernah tersebut sunnah bahwa dzikir ini dilakukan tatkala mukim. Ibadah itu dibangun di atas prinsip Tawaqquf (berdasar dalil). Maka hendaknya hanya dilakukan sesuai dengan konteks redaksi yang ada.
Atas dasar ini maka jika seseorang naik sepeda di rumahnya maka ia tidak usah bertakbir, dan saat turun dari sepeda ia tidak usah bertasbih. Akan tetapi dzikir tersebut khusus dilakukan saat safar.”
(Liqa’ Babul Maftuh : 3/102).
Dan perlu diperhatikan di sini bahwa pelaksanaan takbir ini tidak boleh berlebihan atau terlalu keras. Yang demikian kami pernah mendapati para orang-orang yang mendaki gunung bertakbir dengan berteriak-teriak.
Adalah Syaikh Abdulllah bin Jarullah menuliskan satu bab di dalam kitab beliau berjudul “Bab tentang larangan dari berlebihan di dalam mengeraskan bacaan takbir dan dzikir lainnya.” Kemudian beliau menukilkan beberapa hadits dalam bab ini.
(Lihat Tadzkiratul Basyar Fi Ahkamis Safar : 14 karya Syaikh Abdullah bin Jarullah).
Maknanya tatkala kita bertakbir atau bertasbih dengan volume suara yang biasa saja tidak perlu berteriak-teriak. Yang kedua takbir dan tasbih ini dibaca sendiri-sendiri bukan takbir berjamaah dengan satu suara yang dikomando.
wallahu a’lam.
11. Berdzikir tatkala takjub melihat indahnya ciptaan Allah
Sebagaimana firman Allah ta’ala :
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) :
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” “
(QS Ali Imron : 194).
12. Amar ma’ruf nahi mungkar
Untuk situasi dan kondisi mendaki gunung di pegunungan Amar Makruf Nahi Munkar bisa dilakukan dengan cara memusnahkan sesajen atau jimat yang kita temui di gunung, mengucapkan salam, tersenyum kepada pendaki lain, bersedekah, mengingatkan waktu shalat dan sebagainya.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من كان معه فضل ظهر فليعد به على من لا ظهر له، ومن كان له فضل زاد، فليعد به على من لا زاد له
“Barangsiapa memiliki keluasan kendaraan hendaknya membonceng orang yang tidak memiliki tunggagan kendaraan. Dan barangsiapa memili kelebihan bekal hendaknya ia memberi orang yang tak memiliki bekal.”
(HR Muslim : 1728).
13. Tidak duduk atau berbaring dengan posisi sebagian badan terkena sinar matahari
Disebutkan dalam salah satu riwayat :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى أَنْ يُجْلَسَ بَيْنَ الضِّحِّ وَ الظِّلِّ وَ قَالَ مَجْلِسُ الشَّيْطَانِ
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang duduk di antara tempat panas (yang tidak ada naungannya) dan tempat dingin (yang ada naungannya), dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Itu adalah tempat duduknya setan’.”
(HR. Ahmad: 3/413, dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Silsilah Shahihah : 838)
Demikian beberapa amalan sunnah saat mendaki gunung yang bisa kemi ketengahkan di sini. Bukan berarti tidak ada sunnah lain selain ketiga belas point ini akan tetapi ini adalah sebagian dari sekian banyak hal yang bisa kita lakukan agar kita senantiasa mendapatkan keutamaan dan pahala saat perjalanan safar kita semoga bermanfaat.
wallahu a’lam.
Disusun oleh:
Ustadz Abul Aswad al Bayati
Read more https://bimbinganislam.com/13-amalan-sunnah-saat-mendaki-gunung/