Telah lalu telah dijelaskan keutamaan dan cara mencapai qona’ah yang merupakan satu sifat yang sangat membantu seseorang bersyukur kepada Allah.
Seorang yang qona’ah tentu akan bersyukur kepada-Nya atas rezeki yang diperoleh. Sebaliknya barangsiapa yang memandang sedikit rezeki yang diperolehnya, justru akan sedikit rasa syukurnya, bahkan terkadang dirinya berkeluh-kesah. Nabi pun mewanti-wanti kepada Abu Hurairah,
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا، تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ، وَكُنْ قَنِعًا، تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’ niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling taat. Jadilah orang yang qona’ah, niscaya dirimu akan menjadi hamba yang paling bersyukur”
[HR. Ibnu Majah: 4217].
Seorang yang berkeluh-kesah atas rezeki yang diperolehnya, sesungguhnya tengah berkeluh-kesah atas pembagian yang telah ditetapkan Rabb-nya. Barangsiapa yang mengadukan minimnya rezeki kepada sesama makhluk, sesungguhnya dirinya tengah memprotes Allah kepada makhluk.
Seseorang pernah mengadu kepada sekelompok orang perihal kesempitan rezeki yang dialaminya, maka salah seorang diantara mereka berkata, “Sesungguhnya engkau ini tengah mengadukan Zat yang menyayangimu kepada orang yang tidak menyayangimu”
[Uyun al-Akhbar karya Ibnu Qutaibah 3/206].
Kaitan antara Syukur dan Qonaah
Qona’ah mempunyai ikatan erat dengan syukur. Keduanya, seperti dua sisi mata uang yang tidak mungkin berpisah. Syukur membuahkan qona’ah. Dan qona’ah memunculkan syukur. Seperti itu korelasinya. Tidak ada qona’ah tanpa syukur. Tidak ada syukur tanpa qona’ah.
Syukur tanda kita menikmati keadaan yang mungkin kurang. Qona’ah buah kesyukuran yang membuat kita tenang. Batin yang tenang karena menerima keadaan, kondisi hati yang stabil karena tidak dibenturkan harapan yang tidak tercapai, keadaan jiwa yang menyenangkan karena tidak mengeluh dan menggugat keadaan yang tidak sesuai keinginan. Itulah keberkahan yang Allah berikan.
Syukur dan Qona’ah adalah dua sikap yang tak mungkin dipisah. Orang yang qona’ah hidupnya senantiasa bersyukur. Makan dengan apa adanya akan terasa nikmat tiada terhingga jika dilandasi dengan qona’ah dan syukur. Sebab, pada saat seperti itu ia tidak pernah memikirkan apa yang tidak ada di hadapannya. Justru, ia akan berusaha untuk membagi kenikmatan yang diterimanya itu dengan keluarga, kerabat, teman atau pun tetangganya.
Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap qona’ah tidak berarti menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang yang hidup qona’ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun bukan untuk menumpuk kekayaan.
Kekayaan dan dunia yang dimilikinya, dibatasi dengan rambu-rambu Allah SWT. Dengan demikian, apa pun yang dimilikinya tak pernah melalaikan dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki. Sebaliknya, kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah sikap qona’ah-nya dan mempertebal rasa syukurnya.
Ibrahim bin Adham, berkata dalam do’anya “Ya Allah, jadikan aku orang yang ridha dengan keputusan-Mu. Jadikan aku orang yang sabar menghadapi cobaan dari-Mu dan karuniailah aku rasa syukur atas berkah-Mu”.
Ridha, sabar dan syukur merupakan tiga unsur sifat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Tiga unsur sifat inilah yang membuat seorang mukmin menjadi qona’ah, yaitu selalu merasa cukup atas semua pemberian-Nya.
Dari ketiga sifat tersebut, ridha merupakan unsur yang paling penting dalam pembentukan sifat qonaah. Karena orang yang sudah merasa ridha terhadap sesuatu, otomatis dia akan bersabar menghadapi sesuatu yang terjadi pada dirinya, baik manis maupun pahit. Apabila sifat ridha dan sabar sudah tertanam kuat dalam diri seseorang, niscaya itu akan mengangkatnya pada tingkat syukur dan lalu lahirlah sifat qona’ah.
Semoga bermanfaat.
Wabillahi taufiq.
Disusun oleh:
Ustadz Kholid Syamhudi حفظه الله
sumber: https://bimbinganislam.com/qonaah-dan-syukur/