الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن والاه، أما بعد
Masyarakat kita bisa dibilang kreatif dalam hal membuat jargon atau slogan, mulai dari nama komunitas, postingan media sosial, sampai tulisan dibalik truk. Kalau untuk urusan dunia mungkin kita bisa tersenyum sambil geleng-geleng, tapi kalau urusan akhirat kita harus hati-hati dan tidak mudah terpengaruh.
Ironisnya, tidak sedikit ada jargon atau slogan yang mengiringi momen momen sakral dalam syariat. Misalnya jargon unik yang muncul menjelang musim haji; ‘ini waktu yang ditunggu bagi para koruptor, haji untuk menghilangkan dosa korupsi’, juga jargon menjelang hari raya kurban; ‘ini saat yang pas buat para bangkir, gunakan harta riba untuk qurban’, dan semisalnya. Benarkah jargon-jargon diatas? Bolehkah kaum muslimin melakukannya?
Miskinnya ilmu tentang konsekuensi harta haram membuat banyak masyarakat bermudahan-mudahan dalam mencari penghasilan tanpa melihat koridor syariat. Padahal wajib bagi seorang muslim untuk berupaya mencari penghasilan yang halal dan diperkenankan oleh syariat, sungguh lazim baginya untuk menjauhi sumber-sumber penghasilan yang haram.
Terlebih lagi jika dia hendak melakukan ibadah yang membutuhkan materi, salah satu syarat agar ibadahnya diterima oleh Allah ta’ala adalah dengan membelanjakan harta yang halal untuk mendirikan ibadah tersebut, oleh karenanya Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبْتُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik (halal)”.
(Al-baqarah: 267)
Sebagaimana Rasul shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
إنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ تَعَالَى: “يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا”، وَقَالَ تَعَالَى: “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ” ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ! يَا رَبِّ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ؟
“Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana Dia memerintahkan para rasul-Nya dengan berfirman (yang artinya), “Wahai Para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalehlah.”
Dia juga berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian.”
Kemudian beliau (Rasulullah ﷺ) menyebutkan ada seseorang yang melakukan safar dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia memanjatkan kedua tangannya ke langit seraya berkata, “Ya Robbku, Ya Robbku,” padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan perutnya kenyang dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan.”
(H.R Muslim no:1015)
Pemaparan dua dalil diatas menunjukkan bahwa syarat ibadah materi bisa diterima oleh Allah ta’ala adalah harus dengan menggunakan harta yang halal, ini sebagaimana juga disampaikan oleh Dr. Abbas Ahmad al-Baz berikut:
العبادة المالية لا تكون مقبولة عن الله تعالى الا إذا كانت من مصدر كسب مشروع، لأن ثمرة الحلال حلال؛ وثمرة الحرام حرام
“Ibadah maliyah (yang berkaitan dengan materi) tidak diterima di sisi Allah ta’ala, kecuali jika dari sumber usaha yang diperbolehkan syariat. Karena buah dari perkara yang halal adalah halal dan hasil dari sumber yang haram adalah haram”.
(Ahkam al-Mal al-Haram, hlm 291).
Kemudian, Jika harta yang digunakan adalah harta haram, apakah ibadahnya sah?
Adapun hal yang terkait dengan sah atau tidaknya ibadah tersebut, mayoritas ulama mengatakan bahwa status ibadahnya tetaplah sah, sebagaimana yang disampaikan oleh imam Al-qarrafi –rahimahullah– berikut:
الَّذِي يُصَلِّي فِي ثَوْبٍ مَغْصُوبٍ أَوْ يَتَوَضَّأُ بِمَاءٍ مَغْصُوبٍ أَوْ يَحُجُّ بِمَالٍ حَرَامٍ كُلُّ هَذِهِ الْمَسَائِلِ عِنْدَنَا سَوَاءٌ فِي الصِّحَّةِ خِلَافًا لِأَحْمَدَ
“Orang yang solat dengan mengenakkan baju rampasan, ataukah berwudhu dengan air rampasan, atau berhaji dengan harta yang haram, semua masalah ini menurut kami hukumnya sama pada sisi keabsahannya, berbeda dengan pendapat yang dipegang oleh imam Ahmad –rohimahullah-(beliau menganggap tidak sah)“.
(Anwaru al-buruq fi Anwai al-furuq, juz: 2 hal:85)
Mungkin dalam nash perkataan Imam Al-qarrafi di atas tidak disebutkan secara langsung perihal kurban, tapi beliau memberikan gambaran dengan contoh ibadah-ibadah lain yang dilakukan dengan harta yang tidak halal, seperti solat dengan baju rampasan, wudhu dengan air rampasan, maupun haji dengan harta haram, ini semua adalah cara-cara yang menjadikan status harta menjadi tidak halal, namun beliau menyampaikan bahwa status ibadahnya tetaplah sah, dan perkara kurban dengan harta haram pun masuk kategory yang sama, hal tersebut (sahnya ibadah) kemungkinan dimaknai jika syarat-syarat dan rukun-rukun ibadah tersebut telah terpenuhi, dengan dibarengi dengan tidak adanya penghalang yang menghalangi keabsahan ibadah.
Hal ini disebutkan pula dalam fatwa dari Al-syabakah Al-islamiyah berikut:
أما أن ينفق المال الحرام في عمل يتقرب به إلى الله كالصدقة أو الأضحية أو العقيقة فلا أجر له على ذلك، فإن الله لا يقبل إلا ما كان من مال حلال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: … إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا.. أما إجزاؤها عن العقيقة فهي مجزئة عند الجمهور.
“Adapun seseorang menginfakkan harta haram untuk amalan yang ditujukan untuk bertaqorrub kepada Allah seperti sedekah, atau kurban, atau aqiqah, tidak ada pahalanya dalam amalan tersebut, karena Allah tidak akan menerima kecuali dari perkara yang halal, sebagaimana Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah maha baik, dan tidak akan menerima kecuali dari sesuatu yang baik……adapun kecukupan/sahnya harta haram untuk aqiqah (dan yang semisal dengannya) maka sah dan cukup menurut jumhur ulama”.
Lihat: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/147151/
Kesimpulan
Kesimpulan dari paparan diatas bisa kita pahami bahwa ibadah yang dilakukan dengan harta yang haram (termasuk kurban dan semisalnya), jika syarat dan rukunnya telah terpenuhi, dengan hilangnya segala bentuk penghalang keabsahan, maka status ibadahnya tetap sah, namun dari sisi pahala yang didapat, pelakunya tidak mendapatkan pahala, karena Allah hanya menerima ibadah yang berasal dari harta yang halal.
Semoga bermanfaat.
Wabillahi taufiq.
Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله
Referensi: https://bimbinganislam.com/hukum-berkurban-dengan-menggunakan-harta-haram/