Dalam syariat Islam yang mulia, ada sebuah kaidah agung yang banyak dianggap ‘sebelah mata’ oleh sebagian kaum muslimin, ungkapan “Mencegah itu lebih baik daripada mengobati”.
Bak angin lalu, hanya sekedar pepatah lama, pemanis bibir, dan perumpamaan ringan yang diingat seseorang dalam buku-buku bahasa Indonesia di kala duduk belajar mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar, padahal jika dirunut ungkapan di atas, tak lain adalah kaidah berharga dalam beragama.

Contoh sederhananya, sejatinya setiap muslim itu harus mencegah dirinya, agar kelak di akhirat jangan sekali – kali dirinya masuk dalam jajaran penduduk ahli Neraka, kendati pun akan mendapat syafaat kubra (paling besar) yakni tidak akan kekak di Neraka selama-lamanya, jika ia adalah pelaku maksiat, selama tidak berbuat syirik di dunia, dan jika pun pernah ‘terjatuh’, dia telah bertobat dari dosa ini sebelum ajal menjeputnya.
Dan memang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam akan memberikan syafa’at bagi pelaku dosa besar dari umat beliau.

Dari sahabat mulia Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

شَفَاعَتِى لأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِى

“Syafa’atku bagi pelaku dosa besar dari umatku.”
(HR. Abu Daud, no. 4739; Tirmidzi, no. 2435; dan lainnya. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Orang yang masuk neraka disebut dengan ‘Jahannamiyyin,’ pada akhirnya mereka akan dimasukkan ke dalam surga dengan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari sahabat mulia Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu, beliau menuturkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنَ النَّارِ بِشَفَاعَةِ مُحَمَّدٍ – صلى الله عليه وسلم – فَيَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ ، يُسَمَّوْنَ الْجَهَنَّمِيِّينَ

“Ada suatu kaum keluar dari neraka dengan Syafa’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia memasuki surga. Mereka disebut dengan Jahannamiyyin.”
(HR. Bukhari, no. 6566).

Menjaga Daya Tahan Tubuh
Sangat menakjubkan, ketika Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah membuat kaidah berharga dalam bukunya al Fawaid, bahkan kaidah ini lebih dalam lagi daripada kaidah pencegahan, beliau berkata;

حفظ القوة مقدم على الحمية

“Menjaga Energi vital (daya tahan tubuh) lebih diutamakan ketimbang berpantang (tindakan preventif)”
(Lihat pembahasannya dalam Kitab Al-Fawaid, bab Faidah Jaliilah bagian ke-5, hal. 174).

Menolak Bahaya Harus Didahulukan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan petuah untuk masalah unta sehat dan unta sakit, beliau bersabda;

لاَ تُورِدُوا المُمْرِضَ عَلَى المُصِحِّ

“Dan janganlah membawa onta yang sakit kepada onta yang sehat”
(HR. Al-Bukhari, no. 5774 dan Muslim, no. 2221).

Maka yang berhubungan dengan manusia, apatah lagi nyawa seorang muslim yang beriman kepada Allah Ta’ala harus lebih diprioritaskan. Dan tidak ada main-main di dalamnya.

Di tengah mewabahnya virus corona (COVID-19) ini, dengan tingkat Pandemi global, maka secara teori, tidak ada di dunia ini, tempat yang dihuni manusia secara umum dinyatakan aman, selama mereka tetap berhubungan sosial di dalammnya. Maka upaya pencegahan yang bisa dilakukan untuk mencegah penularan virus ini lebih meluas di antaranya;

1. Karantina Wilayah

Jika seseorang mendengar ada wabah tha’un atau penyakit menular lainnya semisal yang sekarang ini, COVID-19 terjadi di sebagian kota maka orang-orang yang berada di luar kota tersebut (yang tidak terkena wabah) tidak boleh masuk ke kota tersebut begitupun sebaliknya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا، فِرَارًا مِنْهُ

“Jika kalian mendengar tentang thoún di suatu tempat maka janganlah mendatanginya, dan jika mewabah di suatu tempat sementara kalian berada di situ maka janganlah keluar karena lari dari thoún tersebut”
(HR. Al-Bukhari, no. 3473 dan Muslim, no. 2218).

Adapun di antara hikmah tidak mendatangi ke area wabah tersebut adalah agar tidak tertular, dan ini termasuk tindakan pencegahan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu álaihi wasallam,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ

“Larilah dari orang yang kusta sebagaimana engkau lari dari singa”
(HR. Ahmad, no. 9722, dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh al-Arnauth dan Al-Albani di As-Shahihah, no. 783).

Analogi ini menunjukan seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh agar menghindar dari orang yang sedang berpenyakit menular, karena Rasulullah Shallallahu álaihi wasallam menyuruh untuk lari dari penyakit menular itu seperti lari dari ganasnya singa, juga tidak bersikap gegabah lagi sembrono, karena inilah perintah agama dan bentuk usaha menolak kemudharatan yang lebih besar.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian ke dalam kebinasaan”
(QS. Al-Baqoroh: 195).

2. Social Distancing ( Jaga Jarak Dalam Interaksi Sosial )

Termasuk tindakan pencegahan dari penyakit menular adalah menjaga jarak. Dahulu ketika terjadi wabah kusta di daerah Tsaqif pada Masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menjaga jarak dari orang yang terkena penyakit kusta ini, dengan mengirim utusan saja,

عن الشريد بن سويد الثقفي رضي الله عنه قال : كان في وفد ثقيف رجل مجذوم، فأرسل إليه النبي صلى الله عليه وسلم : ارجعْ فقد بايعناك.

Dari Syarid bin Suwaid Ats-Tsaqofi radhiallahu ‘anhu berkata: “Ada delegasi yang datang dari Tsaqif, yaitu seorang laki-laki yang menderita penyakit Kusta. Lalu nabi mengutus utusan kepada nya dan berpesan: Pulanglah, sungguh kami telah membai’atmu”
(HR. Muslim, no. 2231).

Bukan hanya sekedar menjaga jarak, bahkan sekedar memandang terus menerus orang yang berpenyakit menular ini adalah tidak dibolehkan dan dianjurkan untuk ditinggalkan.
Dari sahabat Abdullah Bin ‘Abbas radhiallau ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

‏ لاَ تُدِيمُوا النَّظَرَ إِلَى الْمَجْذُومِينَ‏

“Jangan kamu terus menerus melihat orang yang menghidap penyakit kusta.”
(HR. Ibnu Majah, no. 3543, dinyatakan sebagai hadits shahih oleh ahli hadits al Albani dalam Silsilah As Shahihah, no. 1064).

3. Physical Distancing (Jangan Terjadi Kontak Fisik)

Sebagaimana hal ini tersirat dalam sebuah hadits

عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ

“Dalam delegasi Tsaqif (yang akan Dibai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) terdapat seorang laki-laki berpenyakit kusta. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: “Kami telah menerima bai’at Anda. Karena itu Anda boleh pulang.”
(HR. Muslim, no 2231).

Dalam hadits di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bersentuhan tangan langsung dengan pria ini. Padahal kita ketahui bersama bahwa bai’at dengan ucapan itu hanya berlaku bagi kaum wanita dan tidak dengan laki-laki.
Sedangkan dalam hadits muslim diatas terdapat lafadz:

إنا قد بايعناك

“Sungguh saya telah membai’atmu”

أي: بالقول من غير أخد اليد في العهد، فارجع

Maksudnya dengan perkataan, tanpa berpegangan tangan saat membai’at, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya): “pulanglah”.
(lihat penjelasan ahli ilmu dalam menjelaskan hadits ini, HR. Muslim, 2231).

Dari hadits ini juga terdapat pelajaran agar kita menjauhi daerah-daerah yang terkena wabah penyakit menular (daerah waspada, wilayah darurat siaga, kasus luar biasa, pusat cluster sebaran virus, dan istilah lainnya), semua upaya pencegahan ini ditempuh agar penyakit menular itu tidak meluas,

Dalam hadits Muslim diatas, seorang yang terkena kusta dari daerah Tsaqif, Thoi’f sedang menuju ke kota Nabi (Madinah):

إنا قد بايعناك فارجع

“Sungguh kami (Rasulullah) telah membai’atmu, maka pulang lah (maksudnya ke Tsaqif/balik ke daerah wabah dan jangan keluar, pent.)”. Hal ini tentunya terdapat hikmah yang agung dibaliknya, di antaranya;

Pertama : Barang siapa yang berada di lokasi wabah, maka tidak boleh keluar dari lokasi tersebut jika karena ingin menghindar, karena sabda Nabi di atas.

Kedua : Jika semua orang sepakat untuk keluar dari lokasi maka jadilah orang yang tidak mampu untuk keluar -karena sudah parah sakitnya- tidak akan ada yang mengurusi mereka, baik dalam kondisi ia sakit atau setelah ia meninggal. Yaitu jika dia sakit tidak ada yang merawatnya, dan jika ia meninggal maka tidak ada yang mengurus jenazahnya.

Ketiga : Jika dibolehkan untuk keluar dari lokasi wabah, maka orang-orang yang kuat lagi sehat akan keluar dan tentu ini akan menghancurkan hati orang-orang yang lemah dari segi fisik dan materi, mereka tidak mampu keluar, karena mereka ditinggalkan oleh saudara-saudara mereka. Demikian juga semakin putus asa serta memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka.

Keempat : Sangat memungkinkan bahwa orang yang keluar lantas selamat maka ia akan berkata, “Seandainya aku bertahan (tidak keluar) tentu aku akan terkena wabah”, dan sebaliknya yang terkena wabah akan berkata, “Seandainya aku keluar tentu aku akan selamat”. Dan perkataan “seandainya” yang seperti ini dilarang oleh syariát.

Kelima : Orang yang keluar akan melewatkan dirinya dari kesempatan untuk meraih pahala mati syahid. Karena jika ia bertahan dengan sabar maka ia akan mendapatkan pahala mati syahid apakah ia meninggal ataukah sakit lalu sembuh, atau tidak terkena wabah sama sekali.

4. Bersabar Dan Beraktivitas Di Rumah Saja

Barang siapa yang bersabar di dalam rumah serta tidak keluar dari lokasi wabah karena mencari wajah Allah Ta’ala maka ia mendapatkan pahala mati syahid meskipun ia selamat, dengan syarat ia bersabar dan tidak mengeluh.

عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا-، أَنَّهَا قَالَتْ : سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الطَّاعُونِ، فَأَخْبَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ، فَلَيْسَ مِنْ رَجُلٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، فَيَمْكُثُ فِي بَيْتِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ، إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ “

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya dia berkata : Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wabah (tha’un), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadaku:

“Bahwasannya wabah (tha’un) itu adalah adzab yang Allah kirim kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah jadikan sebagai rahmat bagi orang-orang beriman. Tidaklah seseorang yang ketika terjadi wabah (tha’un) dia tinggal di rumahnya, bersabar dan berharap pahala (di sisi Allah) dia yakin bahwasanya tidak akan menimpanya kecuali apa yang ditetapkan Allah untuknya, maka dia akan mendapatkan seperti pahala syahid.”
(HR. Al-Bukhari, no. 3474, An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, no. 7527, & Ahmad, no. 26139 dan lafadz ini adalah lafadz riwayat Ahmad).

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan hadits di atas sembari berkata:

“اقتضى منطوقه أن من اتصف بالصفات المذكورة يحصل له أجر الشهيد وإن لم يمت”

“Konsekuensi manthuq (makna eksplisit) hadits ini adalah, orang yang memiliki sifat yang disebut pada hadits tersebut akan mendapatkan pahala syahid walaupun tidak meninggal dunia.”
(lihat kitab Fathul Bari, 10/194).

Saudaraku, semoga Allah Ta’ala menjagamu!

Berbahagialah dan Jangan Putus Asa! Kabar Gembira kepada engkau wahai yang sedang tinggal di pusaran wabah;

من جلس في بيته في وقت وقوع الطاعون فله أجر الشهيد وإن لم يمت…

“Barangsiapa yang tinggal di rumahnya ketika terjadi wabah, maka dia mendapatkan pahala syahid walaupun tidak meninggal dunia” (ingat, S & K Berlaku)”.

Wallahu Ta’ala A’lam bisshowaab.

Referensi: https://bimbinganislam.com/mencegah-lebih-baik-daripada-mengobati-tentang-virus-covid-19/