Bagaimana Status Orang Yang Tidak Shalat
Bagimana hukum / status orang yang tidak shalat? Apakah kafir?
Dalam tulisan kali ini kami tidak bermaksud melakukan tarjih dalam persoalan yang rumit ini. Mengingat kapasitas kami yang teramat sangat belum mencukupi. Kami hanya akan menuliskan beberapa faidah dari beberapa buku yang pernah kami baca secara sekilas yang kebetulan buku-buku tersebut condong kepada pendapat yang tidak mengkafirkan. Sehingga tulisan ini lebih mirip catatan harian saja.
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah mengatakan; “Para ahli ilmu berselisih dalam pengkafiran orang yang meninggalkan shalat wajib dengan sengaja”.
(Syarhus Sunnah : 2/178-179).
Imam Asy-Syaukani mengatakan ; “Hadis ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat itu menyebabkan kekafiran. Tidak ada perselisihan akan kafirnya orang yang meninggalkan shalat wajib karena mengingkari kewajibannya”.
Kemudian beliau melanjutkan ; “Adapun jika ia meninggalkan shalat karena malas dan masih meyakini kewajibannya sebagaimana keadaan mayoritas manusia, maka para ulama berselisih tentang hukumnya.
Mayoritas para ulama salaf dan khalaf diantaranya Malik dan Asy-Syafi’i memilih pendapat yang tidak mengkafirkan. Akan tetapi orang yang tidak shalat itu fasik, jika ia bertaubat itu yang diharapkan jika tidak maka kita membunuhnya sebagai bentuk had/hukuman sebagaimana pelaku zina yang telah menikah”.
(Nailul Authar : 1/369 oleh Imam Asy-Syaukani).
Imam Abu-Utsman Ash-Shabuni juga menyatakan hal yang serupa ; “Para ulama ahli hadits berselisih tentang hukum seorang muslim yang meninggalkan shalat wajib dengan sengaja. Imam Ahmad bin Hanbal beserta sebagian salaf mengkafirkannya“.
Hingga beliau mengatakan; “Sedangkan Asy-Syafi’i dan sahabatnya serta sebagian salaf mengatakan tidak kafir selama meyakini kewajiban shalat”.
(Aqidatus Salaf Ashabil Hadis ; 88).
Kesimpulan dari nukilan ini adalah memang hukum orang yang meninggalkan shalat diperselisihkan para ulama. Maka masing-masing pendapat harus kita hormati dengan tanpa membangun loyalitas diatas permasalahan ini wallahu a’lam.
Dan diantara dalil yang digunakan sebagian ulama untuk menguatkan pendapat kafirnya orang yang tidak shalat adalah sebagai berikut ;
Dalil Pertama
Firman Allah ta’ala ; “Dan jika mereka bertaubat, lalu menegakkan shalat, dan membayar zakat, maka mereka adalah saudaramu di dalam agama”. (QS At Taubah ; 11).
Sisi pendalilannya adalah Allah menjadikan syarat untuk menjadi saudara di dalam agama dengan shalat. Jika hal ini dilaksanakan maka sesorang akan menjadi saudara kita dalam agama, namun jika tidak ya tidak.
Hanya saja para ulama yang tidak mengkafirkan menyatakan bahwa berargument akan kafirnya orang yang tidak shalat dengan ayat ini kurang tepat dikarenakan beberapa hal;
1- Yang menjadi syarat ukhuwah/persaudaraan di dalam agama sebenarnya bukan shalat, tapi taubat. Karena taubatlah yang disebutkan di awal.
2- Dan hal ini juga selaras dengan tafsiran para ulama ahli tafsir terhadap ayat tadi diantaranya Imam Ibnu ‘Atiyyah Al-Andalusi yang mengatakan ; “Maksud dari firman Allah ta’ala (Dan jika mereka taubat) adalah kembali dari keadaan mereka, dan taubat mereka itu mengandung keimanan”.
(Al-Muharrarul Wajiz ; 8/139 Imam Ibnu Atiyyah Al-Andalusi).
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani juga mengatakan ; “Dan karena maksud dari taubat yang ada di ayat tadi adalah kembali dari kekufuran kepada tauhid”.
(Fathul Bari : 1/106 oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani).
Imam Abu Ja’far Ath-Thabary demikian pula, beliau menuturkan ; “Dan jika orang-orang musyrik dan orang-orang kafir itu kembali dari kekufuran mereka, dan kembali dari kesyirikan mereka terhadap Allah serta menuju kepada iman terhadap Allah dan rasul-Nya, dan kembali kepada ketaatan kepada-Nya, dan menegakkan shalat, maka mereka adalah saudara kalian dalam agama”.
(Tafsir Ath-Thabari ; 18/86 Oleh Imam Abu Ja’far Ath-Thabari).
Maka jelas sekali yang menjadi syarat ukhuwah yang sebenarnya adalah bertaubat dari kekufuran dan bukan shalat. Oleh karenanya shalat tiada berguna jika seseorang belum bertaubat dari kekufurannya. Maka yang menjadi patokan sahnya ukhuwah dalam agama adalah bertaubat dari kekufuran dan kesyirikan dan bukan shalatnya.
Dari sini nampak bagi kita bahwa ukhuwah yang ditolak dalam ayat tadi bagi orang yang tidak shalat adalah kesempurnaan ukhuwah dan bukan pokok ukhuwah. Adapun pokok ukhuwah, sangat ditentukan oleh taubatnya seorang hamba dari kekufuran.
(Lihat Fathun Minallahil ‘Azizil Ghaffar ; 200 Oleh Syaikh ‘Ato Abdullatif).
3- Sebagian ulama yang mengkafirkan orang yang tidak shalat, tidak mengkafirkan orang yang tidak membayar zakat. Dan ini aneh, kenapa ? karena keduanya disebutkan dalam konteks yang sama dalam ayat yang sama pula.
Maka konsekwensinya, jika mengkafirkan tarikus shalat (orang yang tidak shalat) maka harus mengkafirkan tarikuz zakat (orang yg tinggalkan zakat). Memang ulama yang tidak mengkafirkan tarikuz zakat berargument dengan hadis nabi tentang tidak kafirnya orang yang tidak mau membayar zakat : “Kemudian diperlihatkan tempat kembali mereka, bisa jadi ke surga, bisa jadi ke neraka”. (HR Muslim ; 977).
Jadi tarikuz zakat tidak kafir karena masih memiliki peluang masuk surga sebagaimana hadis riwayat Muslim di atas. Demikian pula ulama yang tidak mengkafirkan tarikus shalat juga berargument dengan hadis yang tidak sedikit diantaranya ;
“Ada lima shalat yang Allah wajibkan pada hamba-Nya, barangsiapa melaksanakannya dan tidak menyia-nyiakannya serta meremahkan haknya. Maka Allah memiliki janji atasnya untuk memasukkannya ke dalam syurga. Dan barang siapa tidak melaksanakannya, maka Allah tidak memiliki janji atasnya, jika Allah berkehendak Allah akan mengazabnya atau memasukkannya ke dalam syurga”.
(HR Abu Dawud ; 425 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihut Targhib ; 361).
Kesimpulannya jika tarikuz zakat tidak kafir, maka demikian juga tarikus shalat, begitupun sebaliknya tidak ada bedanya.
Baca juga : Hadits Palsu Tentang Shalat Birrul Walidain
Dalil Kedua
Firman Allah ta’ala ; “Datanglah generasi setelah mereka yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti nafsu syahwat, mereka kelak akan mendapatkan Ghoyya”. (QS Maryam : 59).
Sisi pendalilannya, Ghoyya adalah tingkatan neraka tempat orang-orang kafir berada. Ketika orang yang tidak shalat menempatinya maka berarti ia adalah orang kafir.
Ibnu Mas’ud menafsirkan kata ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut bahwa dia adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam.
(Lihat kitab Ash-Shalah karya Ibnu Al-Qayyim hal. 31)
Sebagian ulama menyatakan bahwa tatkala orang yang meninggalkan shalat berada di dasar neraka, maka ini menunjukkan kafirnya mereka. Karena dasar neraka bukanlah tempat seorang pelaku maksiat selama dia masih muslim. Anggapan seperti inipun juga tidak pas mengingat beberapa hal ;
1- Karena makna dari ido’atush Sholat/menyia-nyiakan shalat adalah mengakhirkan waktunya.
Hal ini disampaikan secara jelas oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau mengatakan ; “Maksud dari menyia-nyiakan shalat adalah mengakhirkan waktunya. Demikianlah tafsiran dari Ibnu Mas’ud, Ibrahim, Al Qasim bin Muhammad, Adh Dhahak dan yang lainnya dengan tanpa ada pengingkaran terhadap mereka.
Ibnu Mas’ud berkata ; Menyia-nyiakannya maksudnya adalah melakukan shalat bukan pada waktunya. Karena sesuatu yang disia-siakan bukan berarti sesuatu tersebut tidak memiliki wujud, ada tetapi dia tidak diacuhkan dan disiasiakan”.
(Syarhul ‘Umdah ; 2/53 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).
Kemudian Syaikh Abul Hasan Al-Ma’ribi mengomentari ucapan ini ; “Mengakhirkan shalat bukan pada waktunya bukan sebuah kekufuran. Maka ayat di atas tidak bisa menjadi dalil bagi pengkafiran orang yang tidak shalat. Akan tetapi ayat di atas menunjukkan akan azab yang pedih bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak memberi konsekwensi kafir”.
(Sabilun Najat ; 25 oleh Syaikh Abul Hasan Al Ma’ribi).
2- Kesimpulan bahwa orang islam yang menempati tingkatan neraka bersama orang kafir maka sama statusnya, perlu ditinjau ulang. Karena orang kafir sendiripun tidak mesti sama dikumpulkan dalam satu tempat berdasarkan hadis nabi shalallahu ‘alaih wa sallam tentang Abu Thalib : “Seandainya bukan karena aku, maka niscaya Abu Thalib berada di kerak neraka”. (HR Bukhari ; 3883).
Abu Thalib itu kafir namun ia tidak menempati neraka paling bawah, demikian pula sebaliknya bisa saja orang Islam masuk neraka paling bawah namun ia tidak kafir.
Dalam riwayat lain beliau bersabda shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ; “Penduduk neraka yang paling ringan siksanya adalah Abu Thalib, ia mengenakan dua sandal dari api neraka sampai mendidih otaknya”. (HR Muslim; 212).
Hadis diatas menunjukkan tidak mesti jika orang islam masuk dalam tingakatan neraka dimana orang kafir ada di situ, lantas menerima azab dan status yang sama dengan orang kafir. Bisa saja orang Islam berada pada tingkatan neraka bersama orang kafir, akan tetapi jenis azabnya berbeda dengan orang kafir. Maka statusnya pun berbeda dengan orang kafir dan Abu thalib sebagai contoh nyata yang paling jelas.
3- Tidak ada penyebutan kekal abadi dalam ayat di atas, jadi taruhlah tarikus shalat itu masuk neraka paling dalam, toh tidak ada keterangan dalam ayat tadi ia akan kekal abadi di dalamnya. Dan ketidak kekalan seseorang di neraka itu menunjukkan ia masih memiliki pokok iman yang mutlak dimiliki oleh orang Islam.
4- Ayat-ayat, hadis-hadis yang menerangkan kafirnya orang yang tidak shalat perlu dikorelasikan dengan dalil lain yang menyatakan tidak kafirnya tarikus shalat (Dan telah saya cantumkan salah satunya di atas).
Dalil Ketiga
Sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ; “Pembatas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran terletak pada shalat, barangsiapa meninggalkannya maka ia telah kafir”. (HR Muslim ; 134).
Sisi pendalilan, kata Al-Kufru yang tersebut dalam hadis diatas bermakna kufur akbar. Itu berdasarkan penelitian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang menyebutkan bahwa kata Al-Kufru jika disertai alif lam maka maknanya kufur akbar. Namun jika tidak disertai alim lam maknanya kufur asghor.
(Lihat Iqtidho’ Sirotil Mustaqim : 80 Oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).
Dan karena meninggalkan shalat disifati dalam hadis diatas sebagai sebuah kekafiran. Namun ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan di dalam memahami sisi pendalilan di atas diantaranya ;
1- Kaidah tersebut diatas memang benar namun tidak boleh diberlakukan secara mutlak begitu saja. Dan inilah yang diisyaratkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin ketika beliau menyatakan ; “Dan karena lafadz Al kufur (dengan alif lam) jika dimutlakkan begitu saja DAN TIDAK DIDAPATI DALIL YANG MENYELISIHINYA, maka maknanya adalah kufur akbar”.
(Syarah riyadhis shalihin ; 2/386 Oleh Imam Ibnu Utsaimin).
Konsekwensinya jika ada dalil yang menyelisihinya maka ketika itulah kaidah ini tidak diberlakukan. Dan demikianlah yang terjadi dalam masalah shalat. Karena di sana ada banyak dalil yang menyatakan bahwa tarikus shalat tahta masyi’atillah seperti hadis syafaat dan hadis lima shalat di atas.
2- Dalil ini pun harus dikorelasikan dengan dalil-dalil lainnya, supaya tidak terkesan kita mengambil satu dalil dan membuang dalil yang lain.
Satu contoh misalnya masalah menyentuh kemaluan, nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ; “Barangsiapa menyentuh kemaluannya hendaknya ia berwudhu”. (HR Abu Dawud ; 181 dishahihkan oleh Imam Al Albani dalam Irwaul Ghalil ; 116).
Namun para ulama mengkorelasikan hadis ini dengan sabda nabi yang lain ketika beliau ditanya tentang menyentuh kemaluan apa harus berwudhu ataukah tidak, “Bukankah ia adalah salah satu bagian dari tubuhmu”. (HR Abu Dawud ; 182 dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir).
Berdasarkan dua riwayat ini maka para ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyimpulakn bahwa menyentuh kemaluan yang membatalkan wudhu adalah yang disertai dengan syahwat. Adapun sekedar menyentuh maka tidak membatalkan wudhu. (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Muyassarah ; 1/120 Oleh Syaikh Husain Al-Awaisyah).
Demikian pula masalah meninggalkan shalat, hadis di atas harus difahami bahwa maksud kekufuran di dalamnya adalah ketika disertai adanya juhud serta pengingkaran akan kewajiban shalat.
3- Banyak amalan-amalan lain yang disifati sebagai sebuah kekafiran seperti misalnya ; berzina, minum khamr, menyetubuhi istri melalui dubur, bersumpah dengan nama selain Allah, membunuh orang islam dll. Namun para ulama menyatakan bahwa amalan-amalan tersebut bukanlah kufur akbar, maka demikian pula shalat. Meski ia disifati dengan kekufuran namun ia bukan kufur akbar.
Maka dari itu Imam Ibnu Abdil Barr menyebutkan konsekwensi bagi ulama yang mengkafirkan orang yang tidak shalat. Konsekwensi berupa pengkafiran terhadap kemaksiatan yang juga disifati sebagai sebuah kekufuran.
Mari kita simak baik-baik perkataan beliau ; “Dan orang yang mengkafirkan orang yang tidak shalat dengan berdalil dengan atsar-atsar tersebut, memiliki konsekwensi untuk mengkafirkan si pembunuh, si pencaci orang islam, pezina, peminum khamr, pencuri, si pelanggar kehormatan.
Dan telah shahih dari nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang berkata ; “Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran“.
Hingga beliau (Imam Ibnu Abdil Barr) mengatakan ; “Dan atsar-atsar lain yang seperti ini, para ulama tidak mengeluarkan seorang mu’min dari ruang lingkup islam. Meskipun pelakunya dihukumi sebagai seorang yang fasik. Maka tidak diingkari pula bahwa atsar-atsar tentang kafirnya orang yang tidak shalat demikian juga keadaannya”.
(At-Tamhid ; 4/236 oleh Imam Ibnu Abdil Barr).
Bahkan muncul pertanyaan setelah pernyataan Imam Ibnu Abdil Barr tersebut ; Apakah kemaksiatan yang disifati sebagai sebuah kekufuran seperti membunuh, minum khamr, berzina, menyetubuhi istri lewat dubur dll dihukumi sebagai kufur akbar ???
Jika jawabannya iya, maka ini adalah madzhab khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Namun jika jawabannya bukan, maka demikian pula halnya dengan shalat.
Jika ada yang beralasan shalat berbeda dalam hal ini karena ia menjadi penentu rusak dan tidaknya amal-amal yang lain berdasarkan sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ; “Hal pertama yang akan dihisab dari seorang hamba adalah shalat. Apabila baik shalatnya, maka baik pula seluruh amalannya. Dan apabila rusak shalatnya maka akan rusak pula seluru amalannya”.
(HR Abu Dawud ; 964 dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ ; 2571).
Sisi pendalilannya; Shalat merupakan penentu bagi sah dan tidaknya seluruh amal. Maka berdasarkan hal ini, dalil-dalil yang menunjukkan kafirnya orang yang tidak shalat tidak bisa dibawa kepada kufur asghar sebagaimana yang terjadi pada dalil-dalil yang berkenaan dengan kemaksiatan yang lain. Kesimpulan ini kurang tepat dikarenakan ;
Bertentangan dengan kaidah ahlis sunnah dalam masalah janji dan ancaman. Yang intinya janji itu dari Allah sedang ancaman itu memiliki opsi. Jika Allah berkehendak Allah akan berlakukan ancaman tersebut, dan jika tidak Allah akan memaafkannya.
Fasadul amal/rusaknya amal itu ada dua macam ;
Rusak amal = Tertolak serta terhapusnya amal, ini terjadi jika seseorang melakukan kekafiran.
Seperti firman Allah ta’ala ; “Dan jika kamu berbuat syirik maka akan terhapuslah seluruh amalan kalian”. (QS Az-Zumar ; 65).
Rusak amal = Hilangnya kebaikan/kurang sempurna, ini terjadi jika seseorang melakukan kemaksiatan yang bukan kufur akbar.
Seperti firman Allah ta’ala ; “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara-suara kalian melebihi suara Nabi dan janganlah kalian berbicara kepadanya dengan suara yang keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, sehingga amalan-amalan kalian akan terhapus sedangkan kalian tidak menyadari.” (QS Al-Hujurat 1-2).
Dan kita belum pernah mendengar ada ulama’ baik yang salaf maupun yang khalaf yang menyatakan kafirnya orang yang mengangkat suara diatas suara nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Hadis Shafwan bin ‘Asal tentang seorang arab badui yang mengangkat suaranya melebihi suara nabi menjadi dalil akan tidak kafirnya perbuatan tersebut
(Shahih Sunan Tirmidzi ; 2801 Oleh Syaikh Al-Albani).
Kalau ada yang berkata, ia tidak dikafirkan karena ia jahil tidak tahu. Alasan ini tidak benar karena ayatnya berbunyi “Sedang kalian tidak menyadari”. Maka dari itu maksud dari hubutul ‘amal/hapusnya amal dalam ayat tadi adalah hilangnya kebaikan, sebagaimana tafsiran Imam Al-Baghawi beliau berkata menafsirkan ayat tadi “Supaya tidak hilang kebaikan-kebaikan kalian”.
(Ma’aliut Tanzil ; 7/335 Oleh Imam Al-Baghawi).
Imam Al-Wahidi mengatakan ; “Dan hilangnya kebaikan-kebaikan tidak memberikan konsekwensi tertolaknya amalan apalagi pengkafiran”. (Al-Wasith ; 4/151 Oleh Imam Al-Wahidi).
Setelah ini semua, kita kembali pada hadis shalat di atas, apa maksud dari rusaknya amal dalam hadis tersebut??? rusak yang sifatnya mengurangi kesempurnaan ataukah rusak yang sifatnya menghapus amalan tanpa sisa ???
Tidak ragu lagi maksudnya adalah rusak yang sifatnya mengurangi kesempurnaan, hal ini juga disebutkan oleh nabi dalam hadis yang lain ; “Apabila penduduk Syam telah rusak maka tidak ada kebaikan atas diri kalian”. (Shahihul Jami’ ; 702 Oleh Syaikh Al-Albani). Maksud hadis ini bukan berarti penduduk syam kafir semuanya.
Dalil Keempat
Atsar dari Abdullah bin Syaqiq Al-Uqaili beliau berkata, “Tidaklah para sahabat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam memandang sebuah amalan yang jika ditinggalkan akan menyebabkan kekufuran melainkan shalat”.
(HR Tirmidzi ; 2622, Ibnu Nasr Al-Marwazi dalam Ta’dzimu Qadris Salat ; 948 melalui jalur Bisyr bin Al-Mufadhal).
Sisi pendalilan, atsar ini menjelaskan bahwa para sahabat telah berijma’ akan kafirnya orang yang tidak shalat.
Klaim ijma’ serta pendalilan dengan atsar inipun juga kurang tepat ditinjau dari banyak sisi diantaranya;
Konon Abdullah bin Syaqiq ini adalah seorang tabi’in yang tidak bertemu dengan para sahabat melainkan hanya kurang dari sepuluh orang sahabat saja. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Ali Al-Halabi dalam kitab Tanwirul Irja’ ; 53.
Hanya saja saya -penulis- belum mendapati dimana keterangan ini bisa didapatkan. (Ini bukan berarti Abdullah bin Syaqiq berdusta telah menghikayatkan ijma’ tersebut, karena beliau berbicara sesuai dengan kapasitas ilmu yang sampai pada beliau).
Pada kenyataannya diantara sahabat ada juga yang mengkafirkan orang yang meninggalkan zakat sebagaimana datang keterangannya di dalam berbagai kitab para ulama diantaranya di dalam ;
Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ; 28/519.
Tafsir Ibnu Katsir ; 1/390.
Kitabul Iman oleh Imam Ibnu Mandah ; 1/382-386.
Al-Ibanah oleh Imam Ibnu Bathah : 2/681 DLL.
Para ulama dalam berbagai kitab mereka menyatakan bahwa masalah hukum tarikus shalat itu diperselisihkan oleh para ulama. Imam Ibnul Mundzir mengatakan ; “Kami tidak mendapati ijma’/kesepakata di dalam masalah hukum orang yang meninggalkan shalat”. (148 oleh Imam Ibnul Mundzir). Dan telah berlalu pula penyebutan perkataan Imam Baghawy, Imam Ash-Shabuni dan yang lainnya dan tidak perlu diulang disini.
Riwayat Abdullah bin Syaqiq dari jalur Bisyr bin Al-Mufadhal ini diselisihi oleh riwayat yang sama namun dari jalur yang berbeda. Dari jalur Ismail bin Al -‘Ulayyah dengan redaksi yang sedikit berbeda.
Ismail bin Al-‘Ulayyah meriwayatkan dengan sanad sampai pada Ibnu Syaqiq dengan redaksi sebagai berikut ; “Kami tidak mengetahui suatu amalan yang KATANYA jika ditinggalkan akan menyebabkan kekufuran melainkan shalat”.
(HR Al-Khallal dalam Kitabus Sunnah ; 1378).
Saya kira pembaca tidak terlalu kesulitan untuk memahami lafadz “KATANYA” dalam riwayat Ismail ini. Dan ketika misalnya riwayat ini benturan dengan riwayat Bisyr Al Mufadhal maka riwayat Ismail ini lebih diutamakan serta didahulukan karena ;
Imam Abu Dawud mengatakan ; “Perawi yang paling kuat yang meriwayatkan dari Al Jurairiyyi adalah Ismail bin Al ‘Ulayyah”. (Sualat Al Aajurry ; 797).
Imam Ibnu Abi Syaibah menyatakan ; “Ibnu ‘Ulayyah lebih tsabit dari dua Hammad, dan aku tidak mendahulukan siapapun atasnya, tidak Yahya, tidak Ibnu Mahdi tidak pula Bisyr bin Al Mufadhal”.
(Tsiqat Ibni Syahin ; 16, lihat catatan kaki pada halaman ; 12 di kitab Al Ajwibah Al Qathariyyah yang merupakan himpunan fatwa Imam Ibnu Utsaimin seputar masalah iman).
Berdasarkan riset Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas yang menetapkan bahwa lafadz kufur jika disebutkan dengan bentuk nakirah (umum) maka maksudnya adalah kufur asghar. Maka atsar Abdullah bin Syaqiq inipun harus difahami bahwa tarikus shalat itu kufur asghar karena ia disebutkan dalam bentuk nakirah.
Terakhir kalaupun kita memilih pendapat ulama yang mengkafirkan tarikus shalat, maka tidak serta merta kita memvonis kafir pada setiap orang yang meninggalkan shalat karena beberapa alasan diantaranya ;
1- Bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak dikafirkan kecuali meninggalkannya secara total, atau bersikukuh untuk meninggalkan walaupun setelah diancam untuk dibunuh. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah sebagaimana dalam
(Majmu` Fatawa ; 7/219), Ibnul Qayyim dalam (Ash Shalah ; 60, 82), Al-Mardawai dalam kitab (Al Inshaf ; 1/378), dan Imam Ibnu Utsaimin dalam (Syarhul Mumti’ ; 2/26).
2- Seseorang tidak boleh dikafirkan secara perorangan kecuali setelah terpenuhi syarat dan hilangnya mawani’ (Penghalang).
3- Menurut Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisy memang para ulama berselisih tentang hukum tarikus shalat. Namun pada tataran realita mereka bersepakat akan tidak kafirnya tarikus shalat.
Beliau menuturkan ; “Dan karena tidak kafirnya orang yang tidak shalat itu merupakan ijma’ kaum muslimin. Karena sesungguhnya kita tidak pernah mengetahui dalam suatu masa dari masa-masa yang ada, ada seorang yang tidak shalat yang mati lantas tidak di kafani, tidak dishalatkan, tidak dikubur di pekuburan kaum muslimin, tidak diwarisi dan tidak mewarisi, tidak diceraikan dari istrinya gara-gara tidak shalat, tidak pernah ada. Padahal orang yang tidak shalat itu banyak sekali jumlahnya. Seandainya orang yang tidak shalat itu kafir maka akan berlaku semua hukum ini”.
(Al-Mughni ; 3/357 oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisy).
Hal serupa juga dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika beliau menuturkan ; “Maka dari itu, tidak pernah diketahui ada orang yang meninggalkan shalat ketika mati lantas tidak dikafani, tidak dishalatkan, tidak dikubur bersama kaum muslimin, dan dilarang warisannya, serta ditumpahkan darahnya dikarenakan tidak shalat. Padahal orang yang tidak shalat itu banyak sekali jumlahnya di setiap masa. Dan umat islam tidak akan berijma’ di atas kesesatan”.
(Syarhul ‘Umdah ; 292 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).
Padahal sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah termasuk salah satu ulama yang merajihkan kafirnya orang yang tidak shalat.
Kalau saya diijinkan mengambil kesimpulan, barangkali apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qudamah ini yang disebut ijma’ ‘amali. Dan saya secara pribadi pernah dikasih tahu oleh Ust Aris Munandar. Mpi di Jogjakarta bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pernah mengatakan bahwa ijma’ amali diantara salah satu ijma’ yang sangat kuat wallahu a’lam.
4- Karena Imam Asy-Sayfi’i menyatakan sebagaimana dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ; “Saya berbicara dalam suatu ilmu kemudian dikatakan kepadaku -kamu telah salah- itu lebih aku sukai dari pada aku harus berbicara dalam suatu ilmu lantas dikatakan kepadaku -kamu telah mengkafirkan-“.
(Minhajus Sunnah ; 5/251 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).
5- Karena Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan ; “Rukun islam yang lima yang pertama adalah dua syahadat. Kemudian rukun yang empat jika seseorang mengakui kewajibannya lalu meninggalkannya karena meremehkannya. Kita meskipun membunuhnya namun kita tidak mengkafirkannya karena sebab meninggalkan. Karena para ulama berselisih akan kafirnya orang yang meninggalkan ke-empat rukun tersebut karena malas dan tidak dikarenakan juhud (mengingkari kewajibannya). Dan kita tidak mengkafirkan kecuali dalam hal yang disepakati para ulama semuanya akan kekafirannya yaitu dua kalimat syahadat”.
(Ad Durar As Saniyyah ; 1/70 oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab).
Syaikh Abdul Aziz Ar Rayyis menjelaskan maksud kaidah ini dalam ceramahnya berjudul “At Tahdzir Minal Ghuluww Fit Takfir”. Bahwa kita tidak bleh mengkafirkan secara langsung orang perorang di dalam perbuatan yang masih diperselisihkan para ulama akan statusnya, apakah ia perbuatan kafir ataukah bukan.
Seperti shalat misalnya, karena ia masih diperselisihkan para ulama, maka meski kita memilih pendapat yang mengkafirkan. Tetap saja kita tidak boleh serta merta memvonis setiap orang yang tidak shalat sebagai orang kafir karena masalah ini masih diperselisihkan para ulama. Karena sebagaimana kaidah yang dinyatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kita tidak boleh memvonis seseorang sebagai orang kafir kecuali di dalam masalah yang telah disepakati oleh para ulama.
Ini bukan berarti berarti tidak ada vonis sama sekali dari ulama yang memilih mengkafirkan orang yang tidak shalat. Ketika suatu negri para ulamanya semua bersepakat akan kafirnya orang yang tidak shalat. Maka ketika itulah vonis terhadap seseorang boleh dijatuhkan (tentu setelah terpenuhi syarat dan hilangnya mawani’). Namun jika kondisinya seperti di Indonesia, maka tidak boleh menjatuhkan vonis terhadap perorangan karena ulama di indonesia masih berselisih akan hukum orang yang tidak shalat.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab semoga bermanfaat dan akhir dari seruan kami adalah anlhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Sumber bacaan:
Tanbihat Mutawaimah oleh Syaikh Ali Al Halaby.
Al As’ilah Al Qathariyyah oleh Imam Ibnu Utsaimin.
Hukmu Tarikis Shalat oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Hukmu Tarikis Shalat oleh Imam Ibnu Utsaimin
Tanwirul irja’/majalah Al Asholah edisi 25-26 oleh Syaikh Ali Al Halaby.
Ash Shalatu Wa Hukmu Tarikiha oleh Imam Ibnu Qayyim Al jauziyyah.
Hukmu Tarikis Shalat oleh Imam Al Albany.
Aqidatus Salaf Ashabil Hadis oleh Imam Abu Utsman Ash Shabuny.
Sabilun Najat Fi Bayani Hukmi Tarikis Shalat oleh Syaikh Abul Hasan Al Ma’riby.
Ditulis oleh:
Ustadz Abul Aswad Al-Bayati حفظه الله
Referensi: https://bimbinganislam.com/bagaimana-status-orang-yang-tidak-shalat/