Pertanyaan
بسم اللّه الرحمن الر حيم
السلام عليكم ورحمةالله وبركاته
Ustadz, ada seorang yang menggunakan hadits mauquf Umar Bin Khattab radhiallahu ‘anhu sebagai dalil perlunya menegakkan negara kekhalifahan dan dia tidak mengakui pemimpin negara saat ini.
(Haditsnya ~ed) :
Beliau radhiallahu ‘anhu berkata ;
‘Sesungguhnya tidak ada Islam tanpa jama’ah, dan tiada jama’ah tanpa kepemimpinan, dan kepemimpinan tidak terwujud tanpa ketaatan.’
(Jami’u Bayan Fadhli Ilmi, no. 326)
Bagaimana menyikapi orang yang cenderung memaksakan pemahaman tersebut dengan cara yang ahsan?
Jazakallahu khoyron, Ustadz.
(Dari Sahabat BiAS T06 )
Jawaban
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.
Atsar Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu tersebut shahih namun difahami keliru oleh banyak sekali kalangan, yang mana mereka menuntut dari pengikutnya untuk berjamaah dan berbaiat kepada pemimpin kelompoknya.
– ISIS minta dibaiat,
– Ahmadiyah minta dibaiat,
– NII minta dibaiat, demikian pula kelompok-kelompok lainnya.
Semua mengklaim sebagai pemilik kekhalifahan yang sah dan mengklaim sebagai khalifah yang paling berhak untuk dibaiat.
Dan parahnya lagi mereka mengira jika belum baiat kepada mereka, maka kafir berdasarkan atsar Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu tersebut di atas.
Padahal yang benar penafian/ peniadaan Islam dalam berbagai dalil baik ayat maupun hadits tidak boleh lantas difahami sebagai sebuah kekafiran.
Namun penafian Islam / iman terkadang maknanya adalah penafian cabang keimanan bukan penafian akan keseluruhan iman. Karena iman sendiri bertingkat-tingkat dan bercabang-cabang.
Bukan bukan satu cabang saja, bukan satu derajat saja, yang jika hilang maka otomatis semuanya hilang, tidak demikian.
Oleh karenanya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda :
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ
‘Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan La ilaha illallâh, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu termasuk bagian dari iman.
(HR 598; Muslim, Bukhari dalam Adabul Mufrad35)
Maka kita tidak boleh memahami bahwa setiap penafian iman lantas berarti kafir secara otomatis.
Contoh dalam hal ini sangat banyak, Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda :
لاَ إِيْـمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَـةَ لَهُ، وَلاَ دِيْـنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَـهُ
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki (sifat) amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya”.
HR Ahmad (3/135, 154, 210, 251), dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh Al Albani di dalam Shahih al Jami’ (7179)
Apakah orang yang tidak amanah lantas otomatis menjadi kafir ? Jawabnya tidak, akan tetapi yang dinafikan dalam hadits ini adalah kesempurnaan iman, salah satu cabang keimanan yang dimilikinya telah hilang akan tetapi pokok dari keimanannya masih ada. Sehingga keimanannya tidak sempurna, berkurang tapi masih berstatus sebagai seorang yang beriman dan bukan seorang yang kafir.
Ditambahkan lagi ternyata Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu juga tidak serta merta membaiat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau ditunjuk menjadi khalifah.
Dan Ali berada pada sikapnya itu sampai kurun waktu kurang lebih enam bulan lamanya akan tetapi tidak ada satupun sahabat yang mengkafirkannya.
Adapun tentang pemerintahan di Indonesia yang dianggap sebagai pemerintahan yang kafir, maka ini adalah pengkafiran yang serampangan dan kami telah menjelaskannya panjang lebar pada pelajaran kitab Muamalatul Hukkam.
Silahkan dirujuk di kajian kitab Muamalatul Hukkam
Wallohu A’lam
Wabillahit taufiq
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Abul Aswad al Bayati حفظه الله
Referensi: https://bimbinganislam.com/atsar-umar-bin-khathab-tentang-kafirnya-orang-yang-tidak-menegakkan-kekhilafahan/