Hukum berkurban diperselisihkan oleh para ulama, sebagian menyatakan kurban itu sunnah sebagian lagi menyatakan wajib.
Didalam menetapkan atau memilih pendapat yang ada dari sebuah hukum, kita dituntut untuk berpegang teguh dan berfanatik terhadap dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana hal tersebut disepakati oleh para ulama kaum muslimin. Dan pendapat yang rajih (wallahu a’lam) kurban itu hukumnya wajib sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barangsiapa yang memiliki kelonggaran rizki namun tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah : 3163, Ahmad : 8673, Al-Hakim : 7565 beliau menshaihkannya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Dishahihkan pula oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ : 6490).
Dalam hadits ini jelas sekali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang memiliki kelonggaran rizqi namun tidak mau berkurban dengan ancaman yang keras. Ancaman dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dari ulama atau manusia biasa.
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid berkata menukil ucapan Imam Asy Syaukani ketika menerangkan makna ancaman dalam hadits ini :
أنه لما نهى مَن كان ذا سعة عن قربان المصلى إذا لم يضحِّ، دل على أنه ترك واجبًا، فكأنه لا فائدة في التقرب بالصلاة للعبد مع ترك هذا الواجب
“Bahwasanya ketika beliau (Nabi صلي الله عليه وسلم) melarang orang yang memiliki kelonggaran rizki dari mendekati lokasi shalat jika tidak berkurban, hal ini menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan kewajiban. Seolah tidak ada manfaatnya sama sekali shalat yang ia lakukan jika ia meninggalkan kewajiban ini.” (Ahkamul ‘Idain Fis Sunnatil Muthahharah : 64).
Telaah Pendapat Wajibnya Berkurban
Pendapat wajibnya kurban ini dipilih pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah beliau menuturkan :
وأمَّا الأضحية فالأظهرُ وجوبُها أيضًا، فإنَّها مِنْ أعظمِ شعائر الإسلام، وهي النُّسُكُ العامُّ في جميع الأمصار، والنُّسُكُ مقرونٌ بالصلاة في قوله: ﴿إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٢﴾ [الأنعام]، وقد قال تعالى: ﴿فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢﴾ [الكوثر]، فأَمَر بالنَّحر كما أَمَر بالصلاة…»، ثمَّ قال: «ونُفاةُ الوجوب ليس معهم نصٌّ؛ فإنَّ عمدتهم قولُه صلَّى الله عليه وسلَّم: «مَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ وَدَخَلَ العَشْرُ فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ»، قالوا: والواجبُ لا يُعلَّق بالإرادة. وهذا كلامٌ مُجْمَلٌ؛ فإنَّ الواجب لا يُوكَلُ إلى إرادة العبد فيقالَ: إِنْ شئتَ فافْعَلْه، بل قد يُعلَّق الواجبُ بالشرط لبيانِ حكمٍ مِنَ الأحكام كقوله: ﴿إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ ﴾ [المائدة: ٦]، وقد قدَّروا فيه: «إذا أردتم القيامَ»، وقدَّروا: «إذا أرَدْتَ القراءةَ فاسْتَعِذْ»، والطهارةُ واجبةٌ والقراءةُ في الصلاة واجبةٌ، وقد قال: ﴿إِنۡ هُوَ إِلَّا ذِكۡرٞ لِّلۡعَٰلَمِينَ ٢٧ لِمَن شَآءَ مِنكُمۡ أَن يَسۡتَقِيمَ ٢٨﴾ [التكوير]، ومشيئةُ الاستقامةِ واجبةٌ»
“Adapun kurban maka maka pendapat yang lebih tampak (kebenarannya) ia adalah wajib juga. Karena kurban termasuk diantara syiar Islam yang paling besar, ia adalah penyembelihan secara meluas di seluruh negri. Dan sembelihan itu diiringkan dengan shalat dalam firman Allah ta’ala :
‘Katakanlah : sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.’ (QS Al An’am : 162).
Dan Allah ta’ala juga berfirman :
‘Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berqurbanlah.’ (QS Al-Kaustar : 2)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk berkurban sebagaimana Dia memerintahkan untuk shalat.” Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan lagi :
“Dan orang yang menolak kewajiban kurban ini tidak memiliki dalil (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dalil terkuat mereka adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa ingin kurban dan telah masuk 10 hari pertama bulan dzulhijjah maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya.’
Mereka menyatakan bahwa ‘Kewajiban tidak dikaitkan dengan Iradah (memilih). Ucapan ini adalah ucapan yang global, karena sebuah kewajiban itu tidak diserahkan kepada hamba lalu dikatakan ; Jika engkau ingin maka lakukanlah.”
Namun yang benar, kewajiban itu terkadang dikaitkan dengan Iradah (keinginan) dalam rangka menjelaskan hukum dari hukum-hukum yang ada seperti firman Allah ta’ala :
‘Jika kalian INGIN shalat maka cucilah !’. (QS Al-Maidah : 6). Dan ditakdirkan dalam ayat tersebut ; Jika kalian INGIN shalat. Para ulama juga mentakdirkan ; Jika kalian INGIN membaca maka bertaawudzlah !
Padahal bersuci itu wajib, membaca di dalam shalat itu juga wajib.
Allah ta’ala juga berfirman :
Al-Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Yaitu bagi siapa di antara kamu yang INGIN menempuh jalan yang lurus. (QS At-Takwir : 27-28), sedangkan menempuh jalan yang lurus itu wajib.” (majmu’ Fatawa : 23/162-164).
Kaidah Mendahulukan Riwayat Marfu’ Dibanding Mauquf
Adapun riwayat dari Abu Bakar dan Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhuma yang mana beliau berdua menyatakan tidak wajib kurban, maka hal ini dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Ali Al-Firkus :
وأمَّا الاستدلال بالآثار المرويَّة عن أبي بكرٍ وعمر وأبي مسعودٍ رضي الله عنهم في سقوطِ وجوبِ الأضحية فإنَّ الصحابة اختلفوا في حُكْمِها، والواجبُ التخيُّرُ مِنْ أقوالهم ما يُوافِقه الدليلُ وتدعِّمه الحُجَّة، وهي تشهد للقائلين بالوجوب على المُوسِر، ومِنْ جهةٍ أخرى فإنَّ الآثار المرويَّةَ موقوفةٌ مُعارِضةٌ للنصوص المرفوعة المتقدِّمة، و«المَرْفُوعُ مُقَدَّمٌ عَلَى المَوْقُوفِ» على ما هو مقرَّرٌ أُصوليًّا.
“Adapun pendalilan dengan atsar Abu Bakar, Umar dan Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhum tentang gugurnya kewajiban kurban, maka para shahabat berselisih di dalam hukum kurban. Yang menjadi kewajiban kita adalah memilih dari pendapat-pendapat para sahabat tadi pendapat yang mencocoki dalil serta didukung oleh hujjah. Sedangkan dalil menjadi argumen bagi orang yang menyatakan bahwa kurban wajib bagi orang yang mampu.
Dari sisi yang lain atsar-atsar tadi adalah astar yang mauquf (riwayat yang sampai/berhenti pada sahabat saja) yang bertentangan dengan dalil-dalil yang marfu’ (sampai kepada Nabi) yang lebih layak didahulukan. Dan Marfu’ itu lebih didahulukan dari Mauquf sebagaimana yan disebutkan dalam ilmu Ushul.” (Fatawa Syaikh Ali Al-Firkus no. 885).
Kami tambahkan bahwa pernah disebutkan dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :
يوشك أن تنْزل عليكم حجارة من السماء أقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، وتقولون قال أبو بكر وعمر؟
“Aku khawatir kalian akan ditimpa hujan batu dari langit. Aku mengatakan : ’Telah bersabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, kemudian kalian (membantahnya) dengan mengatakan : ’Telah berkata Abu Bakr dan Umar”. (HR Ahmad : 1/337, Ishaq bin Rahawaih dalam Matolibul Aliyah : 1/360, Al-Khatib :dalam Al Faqih Wal Mutafaqih : 1/145, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi Wa Fadhlih : 2/239-240 dinyatakan shahih oleh Syaikh Shalih Al-Ushaimi dalam Ad-Durrun Nadlid Fi Takhrij Kitab Tauhid : 129).
Wajib Berkurban Setiap Tahun
Kemudian kewajiban ini sifatnya rutin setiap tahun, sebagimana Yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَةً وَعَتِيرَةً
“Wahai manusia sesungguhnya atas setiap keluarga pada setiap tahunnya wajib mengeluarkan Udhiyyah (kurban) dan Atirah (sembelihan di bulan rajab).” (HR Bukhari : 8473, Muslim : 1976).
Sedangkan Atirah ini sudah dihapus hukumnya namun Udhiyyah masih berlaku hingga hari kiamat. Imam Ibnul Atsir berkata :
والعتيرة منسوخة وإنما كان ذلك في صدر الإسلام
“Al-Atirah itu telah dihapus, sesungguhnya ia berlaku di masa awal Islam.” (Jami’ul Ushul : 3/317 Melalui perantara Ahakmul Idain : 66).
Adab dalam Masalah Ikhtilafiyyah Ijtihadiyyah
Di akhir kami tetap mengisyaratkan bahwa masalah kurban ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyah yang kita diperbolehkan berselisih di dalamnya dengan tetap menjaga adab dan akhlak terhadap sesama para penuntut ilmu.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.
Ustadz Abul Aswad Al Bayati حفظه الله
(Dewan Konsultasi Bimbinganislam.com)
Referensi: https://bimbinganislam.com/hukum-berkurban/