Dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
Kami bersahur bersama Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian beliau pergi untuk shalat.” Aku (Ibnu Abbas) bertanya, “Berapa lama antara adzan dan sahur?” Beliau menjawab, “Sekitar 50 ayat.” (HR. Al-Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 2547)
Hikmah sahur di akhir waktu
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan menyatakan, “Ketika memperkuat badan untuk berpuasa dan menjaga semangat beraktivitas padanya termasuk tujuan makan sahur, maka termasuk hikmah adalah mengakhirkannya. (Tanbîhul Afhâm, 3/39)
Dalam hadits yang mulia di atas dijelaskan jarak waktu mulai makan sahur dengan adzan shalat Shubuh adalah seukuran orang membaca lima puluh ayat secara sedang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. (Lihat penjelasannya dalam kitab Tanbîhul Afhâm, 3/39)
Salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Sahl bin Sa’d menceritakan :
كُنْتُ أَتَسَحَّرُ فِي أَهْلِي ثُمَّ تَكُونَ سُرْعَتِي أنْ أدْرِكَ السُّجُودَ مَعَ رَسُولِ اللهِ
Aku makan sahur bersama keluargaku, kemudian aku segera bergegas menuju masjid agar aku bisa bersujud (pada rakaat pertama shalat shubuh) bersama Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Al-Bukhâri no. 1786)
Dengan demikian ketentuan imsak yakni menahan diri dari makan dan minum beberapa saat sebelum terbitnya fajar adalah perkara yang tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Dan perkara ini banyak dilakukan oleh kaum Muslimin. Mengingat firman Allâh Azza wa Jalla:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (QS. Al-Baqarah 2: 187)
Para Ulama telah menegaskan bahwa hal tersebut termasuk sikap berlebih-lebihan dalam beragama, walaupun dilakukan dengan alasan kehati-hatian dan menjaga diri dari perkara yang haram.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Termasuk bid’ah yang mungkar yang terjadi di zaman ini adalah berupa dikumandangkannya adzan kedua (yaitu) dua puluh menit sebelum fajar di bulan Ramadhan dan dipadamkannya lampu-lampu yang dijadikan sebagai tanda tidak boleh makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa serta tidak dikumandangkannya adzan segera setelah matahari terbenam namun ditunggu hingga beberapa waktu lamanya. Sehingga mereka mengakhirkan buka puasa dan mempercepat sahur serta menyelisihi sunnah. Oleh karena itu sedikit sekali kebaikan dari mereka dan banyak pada mereka keburukan. Allâhul musta’an. (Dinukil dari Khulâshah Al-Kalam, hlm. 118)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Imsak yang dilakukan oleh sebagian orang itu adalah suatu tambahan dari apa yang diwajibkan oleh Allâh Azza wa Jalla sehingga hal itu menjadi kebatilan dan termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama Allâh padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, yang artinya, “Celakalah orang yang mengada-adakan! Celakalah orang yang mengada-adakan ! Celakalah orang yang mengada-adakan !” (Fatâwâ Arkânil Islâm, Syaikh Ibnu Utsaimin)
Wallahu a’lam
Ditulis Oleh:
Ustadz Abu Rufaydah, Lc., MA. حفظه الله
(Kontributor Bimbinganislam.com)
Referensi: https://bimbinganislam.com/subuh-sebagai-tanda-imsak/