Apa saja pembatal-pembatal puasa berikut penjelasannya. Puasa merupakan ibadah yang sangat agung. Biasanya amalan-amalan ibadah, pahalanya dilipat gandakan mulai dari 10x hingga 700x atau hingga jumlah yang tidak terhingga. Akan tetapi karena keagungan puasa, Allah tidak menyebutkan berapa kali atau berapa banyak jumlah pahala yang akan didapatkan oleh orang yang berpuasa. Tapi Allah menyampaikan, bahwa ia sendiri yang akan membalas (pahala)nya dan tidak memberikan kabar kepada hamba-hambanya tentang jumlah pasti dan kelipatannya.
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي
“Semua amal (shalih) manusia dilipat gandakan (pahalanya), satu kebaikan sama dengan sepuluh kali hingga tujuh ratus kali lipatnya. Allah ‘azza wajalla berfirman : ‘kecuali puasa’ ibadah puasa untuk ku, dan aku sendiri yang akan membalasnya, (karena seorang yang berpuasa) meninggalkan syahwat dan makanan karena ku” (Muslim : 1151 dari sahabat Abu Hurairah)
Oleh karena itu, menjaga ibadah puasa agar sah, tidak batal dan mendapatkan pahala yang sempurna merupakan suatu hal yang sangat penting. Pada kesempatan kali ini, kita akan sebutkan beberapa hal yang membatalkan puasa.
Apa saja yang membatalkan puasa ?
1. Makan dan Minum dengan Sengaja
Makan dan minum merupakan hal yang wajib dihindari oleh orang yang berpuasa. Dan hal itu merupakan salah satu tujuan terpenting. Jika ada seorang yang berpuasa kemudian ia makan atau minum dengan sengaja, maka puasanya telah batal.
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (Al-Baqarah 187)
Dari ayat ini, Allah membolehkan makan dan minum hingga fajar, kemudian melarang darinya hingga datang waktu malam (terbenam matahari). Sehingga seorang yang berpuasa dilarang makan dan minum pada waktu siang harinya.
Permasalahan :
1. Jika ada seorang yang makan dan minum sengaja pada siang hari, maka wajib baginya untuk (1) mengganti diwaktu yang lain (2) dan wajib untuk tetap untuk tidak makan dan minum hingga terbenam matahari
2. Makan dan minum pada siang hari ramadhan karena lupa atau tidak tahu hukum
Adapun jika makan dan minum karena lupa, bodoh, (dikarenakan hidup disuatu tempat yang jauh dari ilmu dan ulama, atau baru saja masuk islam), maka tidak membatalkan puasa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ، فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“siapa yang berpuasa, kemudian makan atau minum karena lupa, hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Karena Allah hanya ingin memberikan ia makanan dan minum” (Al-Bukhari 1933 dan Muslim 1155 dari sahabat Abu Hurairah –rhadiyallahu ‘anhu-)
3. Jika ada yang masuk kedalam mulut tanpa kesengajaan, seperti debu dijalan, atau serangga terbang, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa
Dan hal ini telah disepakati oleh para ulama. Diantara para ulama yang menukilkan kesepakatan ini adalah Ibnu Al-Mudzir dalam Al-Isyraf (3/131), Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (4/350), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/130), An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/327), Al-Khurasyi dalam Syarh Mukhtashar Khalil (2/258).
Imam An-Nawawi berkata :
اتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى أَنَّهُ لَوْ طَارَتْ ذُبَابَةٌ فَدَخَلَتْ جَوْفَهُ أَوْ وَصَلَ إلَيْهِ غُبَارُ الطَّرِيقِ أَوْ غَرْبَلَةُ الدَّقِيقِ بِغَيْرِ تَعَمُّدٍ لَمْ يُفْطِرْ
“Ulama syafi’iyyah sepakat seandainya ada lalat yang terbang atau debu jalanan atau tepung (saat menyaring dsb) masuk kemulut tanpa sengaja, maka tidak membatalkan puasa”
Ibnu Al-Mundzir r berkata :
وقد روينا عن عباس، والحسن البصري أنهما قالا: في الصائم يدخل الذباب حلقه لا شيء عليه، وبه قال مالك، والشافعي، وأحمد، وأبو ثور، وأصحاب الرأي.
ولا يحفظ عن غيرهم خلافهم.
“telah diriwayatkan dari Abbas, Hasan Al-Bashri, bawha kedua nya berkata tentang seorang yang berpuasa kemudian ada lalat yang masuk kedalam tenggorokannya, maka tidak ada pengaruh pada puasanya. Dan inilah pendapat Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan Hanafiyah. Dan tidak ada perselisihan pada hal ini dikalangan ulama”
4. Bagaimana dengan air liur jika ditelan, apakah membatalkan puasa ?
Air liur yang biasa kita telan, tidak membatalkan puasa. Dan telah dinukil kesepakatan ulama oleh Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’ (Hal 40) dan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/317)
Imam An-Nawawi r berkata :
ابْتِلَاعُ الرِّيقِ لَا يُفْطِرُ بِالْإِجْمَاعِ إذَا كَانَ عَلَى الْعَادَةِ لِأَنَّهُ يَعْسُرُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ
“Menelah ludah tidak membatalkan puasa menurut kesepakatan para ulama, jika seperti biasanya (tanpa dikumpulkan terlebih dahulu) karena kalau harus membuang ludah setiap saat akan repot”
5. Bagaimana jika menelan sisa-sisa makanan yang tertinggal disela-sela gigi ?
Ada dua keadaan dalam permasalahan ini :
Jika sisa makanan disela-sela gigi tersebut tidak bisa diambil lalu dibuang. Maka jika sisa makanan tersebut tertelan bersama air ludah, puasa tidak batal.
Dan ibnu Al-Mundzir telah menukilkan Ijma’ pada kitab Al-Isyraf (3/134-135) dan perkataan beliau ini dinukilkan juga oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (6/320)
أجمع أهل العلم على أن لا شيء على الصائم فيما يزدرده مما يجري مع الريق مما بين أسنانه مما لا يقدر على الامتناع منه.
“Ulama telah bersepakat bahwa menelan sesuatu yang tertinggal digigi saat puasa karena tidak mungkin untuk mengambil dan membuangnya, tidak membatalkan puasa”
Jika sisa makanan disela-sela gigi bisa diambil lalu dibuang, maka jika ada seorang yang sengaja menelannya, maka puasanya batal. Dan ini merupakan pendapat madzhab Syafi’iyyah, Hanabilah, Sebuah riwayat dari Malikiyah
6. Istinsyaq (menghirup air kehidung)
Saat berpuasa, tidak perlu menghirup air kedalam hidung kuat-kuat, dan dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang yang berpuasa untuk menghirup air kehidung (istinsyaq) dengan kuat saat wudhu.
وَبَالِغْ فِي الاِسْتِنْشَاقِ، إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
“(saat berwudhu) hiruplah air kehidung (istinsyaq) dengan kuat, kecuali saat puasa (jangan hirup kuat-kuat)” (Abu Dawud : 142, At-Tirmidzi : 788, An-Nasai : 87, Ibnu Majah : 407, dishohihkan oleh syaikh Al-Albani)
Hal tersebut bertujuan, agar tidak ada air yang masuk kedalam jalur makanan.
7. Merokok
Merokok merupakan hal yang disepakati oleh para ulama termasuk dalam hal yang membatalkan puasa. Dan hal tersebut telah dibahas oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, diantaranya : dalam kitab Tuhfah Al-Muhtaj yang ditulis oleh Ibnu Hajar Al-Haitamy (meninggal 974 H) pada halaman 400 dari juz 3, begitu juga dalam kitab Kasysyaaf Al-Qina’ yang ditulis oleh Al-Buhuty (meninggal 1051 H) pada halaman 321 dari juz 2. Dan yang lainnya.
8. Makan dan minum karena sangkaan bahwa matahari telah tenggelam atau menyangka waktu maghrib telah masuk
Jika ada seorang yang makan atau minum karena sangkaan bahwa waktu berbuka telah tiba, akan tetapi ternyata belum masuk waktunya (matahari belum tenggelam) maka wajib bagi orang tersebut untuk tidak meneruskan makan dan minumnya, dan berhenti saat itu juga sampai masuk waktu berbuka yang sebenarnya.
Kemudian, jika ada seorang yang mengalami hal ini, ia tidak perlu mengqodho (mengganti) puasa pada hari yang lain, karena ia salah. Dan Allah mengampuni kesalahan, sebagaimana dalam firman Nya :
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“ya Allah jangan Engkau hukum kami, jika kami lupa atau salah” (Al-Baqarah : 286)
Dan dahulu pernah ada kejadian pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Asma Bintu Abu Bakr rhadiyallahu ‘anha berbuka puasa karena menyangka bahwa matahari telah tenggelam, akan tetapi dalam hadist tersebut tidak ada riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya untuk mengganti puasa pada hari yang lain
أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ غَيْمٍ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ
“Kami pernah berbuka puasa pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika langit mendung, kemudian matahari muncul lagi” (Al-Bukhari 1959)
Hadits ini menunjukan bahwa seorang yang berbuka puasa, karena mengira bahwa matahari telah tenggelam atau waktu maghrib telah masuk maka ia tidak mengganti puasanya. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (meninggal 728 H) dan murid beliau Ibnul Qoyyim (meninggal 751 H) dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (meninggal 1421 H). Dan dalam pembahasan ini adalah khilaf diantara para ulama.
Adapun jika ada seorang yang ragu apakah matahari sudah tenggelam atau belum, kemudian dia berbuka, maka ia wajib untuk mengganti puasanya tersebut dihari yang lain. Karena dalam kaidah fiqhiyah, bahwa “Keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan” dan keyakinan yang ada pada saat ragu adalah belum masuk waktu berbuka / matahari belum tenggelam. Sehingga jika ia berbuka puasa dalam keadaan ragu, apakah sudah masuk atau belum, maka wajib bagi orang tersebut untuk mengganti puasanya dihari yang lain. Wallahu a’lam.
9. Sahur karena keyakinan bahwa fajar shadiq belum terbit, tapi ternyata telah terbit
Jika ada seorang yang sahur karena keyakinan bahwa fajar shadiq belum terbit maka permasalahannya seperti seorang yang berbuka puasa karena keyakinan bahwa matahari telah tenggelam. Sehingga orang yang masih tetap makan sahur karena keyakinan bahwa fajar shadiq belum terbit, tidak mengganti puasanya. Dan ini merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (meninggal 728 H) dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (meninggal 1421 H).
2. Berhubungan Suami-Istri
Berhubungan suami istri juga merupakan pembatal puasa, karena Allah ta’ala hanya membolehkan hal tersebut pada malam hari bulan puasa :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu” (Al-Baqarah : 187)
Dan bagi yang berhubungan suami istri pada siang bulan ramadhan dengan sengaja, maka puasanya telah batal dan wajib membayar kafarah.
Pernah ada kejadian pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seorang sahabat yang berhubungan suami istri, ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya mengatakan : “aku telah binasa wahai Rasulullah”, adapun kisah lengkapnya sebagaimana dalam hadist berikut ini
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: هَلَكْتُ، يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: «وَمَا أَهْلَكَكَ؟» قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، قَالَ: «هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً؟» قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟» قَالَ: لاَ ، قَالَ: «فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟» قَالَ: لاَ ، قَالَ: ثُمَّ جَلَسَ، فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ، فَقَالَ: «تَصَدَّقْ بِهَذَا» قَالَ: أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: «اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ»
“Dari sahabat Abu Hurairah –rhadiyallahu ‘anhu– beliau bercerita : ada seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya berkata : ‘wahai Rasulullah, aku telah binasa.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya : ‘Apa yang telah membinasakan mu ?’ ia berkata : ‘aku telah berhubungan badan dengan istri ku’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya : ‘Apakah engkau mampu membebaskan budak?’ ia menjawab : ‘Tidak’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kembali : ‘Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin ?’ ia menjawab : ‘Tidak’ kemudian laki-laki itu duduk, hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang membawa satu keranjang kurma seraya mengatakan : ‘bersedekahlah dengan ini !’ ia bertanya : ‘Apakah kami sedekahkan ini kepada orang yang lebih faqir dari kami ? di kota madinah ini tidak ada orang yang lebih miskin dari kami.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya kemudian berkata : ‘pergilah, berimakan keluargamu dengan ini !’” (Al-Bukhari no 1936 dan Muslim 111)
Dari kisah diatas kita mengambil pelajaran bahwa berhubungan badan dengan sengaja membatalkan puasa. Namun jika dikarenakan lupa, maka tidak membatalkan puasa. Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.
Permasalahan :
1. Bercumbu rayu
Jika hanya bercumbu rayu tanpa berhubungan badan, dan tidak sampai keluar mani, maka puasanya tidak batal
Imam Nawawi –rahimahullah– dalam kitab Al-Majmu’ (6/322), ringkasnya mengatakan : menyentuh istri, mencium, bercumbu rayu, atau meggesekan kemaluan kepada istri bukan pada kemaluannya, tidak membatalkan puasa, kecuali jika mengeluarkan mani. Dan telah dinukilkan kesepatakan ulama, akan batalnya puasa seorang yang mengeluarkan mani dengan bermesraan dan cumbu rayu.
Dan dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bercumbu rayu dan mencium ibunda Aisyah -rhadiyallahu ‘anha- saat berpuasa, dalam hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1927) dan Muslim (1106)
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ»
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencium saat puasa, dan bercumbu saat berpuasa, akan tetapi beliau sangat kuat untuk mengekang hasratnya”
2. Jika ada seorang yang melakukan hubungan biologis dalam sehari bulan ramadhan dan belum membayar kafarah, maka ia hanya wajib membayar satu kafarah. Dan ini merupakan ijma’ yang dinukilkan oleh Ibnu Abdil Bar (At-Tamhid 7/181) dan Ibnu Qudamah (Al-Mughni 3/144)
3. Jika ada seorang yang melakukan hubungan biologis beberapa hari berturut turut maka kafarahnya dihitung tiap harinya. Dan ini pendapat madzhab Malikiyyah (At-Tamhid 7/181), Syafi’iyyah (Al-Umm 2/108) dan Hanabilah (Kasysyaaf Al-Qina’ 2/326).
4. Jika ada seorang yang sedang mengqadha puasa ramadhan kemudian ia melakukan hubungan biologis, maka ia tidak terkena kafarah ini. dan ini disepakati oleh seluruh madzhab yang empat. Dan Ibnu ‘Abdil Bar (At-Tamhid 7/181) dan Ibnu Al-Mundzir (Al-Isyraf 3/124)
3. Keluar Mani Dengan Sengaja
Mengeluarkan mani merupakan hal yang membatalkan puasa, akan tetapi tidak semua hal yang mengeluarkan mani membatalkan puasa. Berikut perkataan imam An-Nawawi (meninggal 676 H) dalam kitab Raudhah Ath-Thalibin (2/361)
الْمَنِيُّ إِذَا خَرَجَ بِالِاسْتِمْنَاءِ، أَفْطَرَ، وَإِنْ خَرَجَ بِمُجَرَّدِ فِكْرٍ وَنَظَرٍ بِشَهْوَةٍ، لَمْ يُفْطِرْ، وَإِنْ خَرَجَ بِمُبَاشَرَةٍ فِيمَا دُونَ الْفَرْجِ، أَوْ لَمْسٍ أَوْ قُبْلَةٍ، أَفْطَرَ. هَذَا هُوَالْمَذْهَبُ، وَبِهِ قَالَ الْجُمْهُورُ.
“Mengeluarkan mani dengan onani membatalkan puasa, akan tetapi jika mani keluar karena membayangkan atau melihat saja (tanpa sentuhan tangan atau yang semisalnya), maka tidak membatalkan puasa, adapun jika dengan bercumbu, menyentuh atau mencium tanpa hubungan biologis, tetap membatalkan puasa, dan inilah madzhab (syafi’iyyah) dan merupakan pendapat jumhur”
Sehingga kita simpulkan bahwa keluar mani yang membatalkan puasa, dikarenakan onani, bercumbu rayu, menyentuh atau mencium.
Adapun jika keluar mani karena pikiran, bayangan, penglihatan yang bersyahwat, maka tidak membatalkan puasa.
Adapun jika keluar mani tanpa kesengajaan, seperti keluar mani dikarenakan mimpi (mimpi basah) maka itu tidak membatalkan puasa. Hal tersebut dikarenakan “mimpi basah” tidak bisa ditahan, dan terjadi diluar kehendak, padahal Allah berfirman :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani suatu jiwa diluar kesanggupannya” (Al-Baqarah : 286)
Dan Ibnu Qudadamah dalam kitab Al-Mughi mempermisalkan sahnya puasa seorang yang “mimpi basah” dengan sahnya puasa seorang menelan sesuatu saat tidur. (Al-Mughni 2/22)
Adapun keluar madzi (cairan yang keluar saat syahwat menggelora) maka tidak membatalkan puasa. Dan ini merupakan pendapat Syafi’iyyah (Al-Majmu’ 6/323) dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (meninggal 1421 H) dan para ulama yang lainnya. Hal tersebut disebabkan karena keluarnya mani tidak mengharuskan mandi wajib, dan tidak ada dalil yang menunjukan bahwa keluarnya madzi membatalkan puasa, serta hukum dasarnya adalah sahnya puasa, kemudian antara madzi dan mani memiliki perbedaan yang sangat banyak, sehingga tidak bisa digabungkan hukumnya dengan mani.
4. Yang Memiliki Kedudukan Sama Dengan Makan dan Minum
Diantara yang membatalkan puasa adalah beberapa hal yang menjadi pengganti dari makan dan minum, semisal :
1. Transfusi darah,
2. Infus,
3. Suntik yang menghilangkan rasa lapar,
Adapun suntikan yang tidak menggantikan fungsi makan dan minum, serta disuntikan dalam otot / daging, maka tidak mengapa (fatwa syaikh Shalih Al-Fauzan),
4. Cuci darah
Karena saat cici darah sering dimasukan didalam prosesnya vitamin-vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh (Fatwa Lajnah Daimah 19/10)
Beberapa hal yang tidak membatalkan puasa :
1. Obat asma
Menggunakan obat asma tidak membatalkan puasa, dan hal tersebut dikarenakan partikel yang disemburkan sangat kecil, dan kata syaikh Utsaimin rahimahullah, semburan tersebut tidak sampai dilambung, dan tidak bisa diqiyaskan kepada makanan dan minuman (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 19/211). Dan ini juga merupakan pendapat syaikh bin baz (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 15/265). Dan merupakan pendapat Majma’ Fiqh Al-Islamiy.
2. Pemasangan gas oksigen untuk pernafasan
Hal ini tidak membatalkan puasa, karena ini hanya sebatas gas yang masuk kedalam pernafasan, gas ini pun tidak tercampur dengan vitamin atau mineral padanya, dan tidak ada yang mengatakan bahwa menarik dan menghembuskan nafas itu membatalkan puasa. Dan ini pendapat Majma’ Fiqih Al-Islami.
3. Suntik yang tidak menggantikan fungsi makan atau minum
Suntikan yang tidak menggantikan fungsi makan dan minum, tidak membatalkan puasa, baik disuntikan pada otot, urat leher atau dibawah kulit. dan ini merupakan pendapat syaikh bin baz (majmu’ fatawa 15/258), syaikh utsaimin (majmu’ fatawa 19/213), majma’ fiqih islami, fatwa lajnah daimah (10/252)
Akan tetapi jika suntikan tadi menggantikan fungsi makan dan minum, maka membatalkan puasa.
5. Muntah dengan sengaja
Hal ini berdasarkan sebuah hadist dari Abu Hurairah -rhadiyallahu ‘anhu- bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Seorang yang muntah tanpa dibuat-buat tidak perlu mengganti puasa (tidak batal), akan tetapi orang yang sengaja muntah, ia harus mengganti puasa (puasa batal)” (HR. Ahmad 2/498, Abu Dawud 2380, An-Nasai dalam Al-Kubra 3117, Ibnu Majah 1676, At-Tirmidzi 720 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ 930)
Hadits ini sangat jelas sekali, bahwa orang yang muntah dengan sengaja (dibuat-buat) maka puasanya batal. Akan tetapi seorang muntah tanpa kesengajaan tidak membatalkan puasa. Dan ini merupakan pendapat madzhab yang empat.
6. Haid dan Nifas
Haid adalah darah wanita yang keluar dari rahim melalui kemaluan dan biasanya memiliki masa tertentu.
Nifas adalah darah yang keluar saat kelahiran atau sebelumnya
Jika seorang wanita mengalami haid atau nifas maka puasanya batal. Karena seorang yang haid serta nifas tidak boleh berpuasa. Jika ia berpuasa ia mendapatkan dosa. Dan hal ini merupakan ijma’ para ulama.
Berikut sebuah hadist yang sedikit mendukung hal ini :
عَنْ مُعَاذَةَ، قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: «كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ»
“dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata; ‘Kenapa wanita haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Aisyah menjawab; ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah?’ Aku menjawab; ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab; ‘Kami dahulu mengalami haid, kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat‘.”
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah memberikan alasan ketika wanita itu kurang agamanya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan : “Bukankah saat wanita haid mereka tidak shalat dan tidak berpuasa ?!”
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Bukankah saat wanita haidh, ia tidak shalat dan tidak pula puasa ?!”
7. Gila (Hilang Akal)
Gila merupakan sesuatu keadaan yang membatalkan puasa. Dikarenakan salah satu dari syarat berpuasa adalah berakal. Dan seorang yang gila, telah hilang akalnya.
Pingsan dari sebelum terbit fajar hingga matahari tenggelam, orangnya dianggap tidak berpuasa pada hari itu, dan harus mengganti pada hari yang lain. Adapun pinsan beberapa saat saja, pada siang hari tidak membatalkan puasa. Dan ini merupakan pendapat Syafi’iyyah (Al-Majmu’ 6/346) dan Hanabilah (Al-Mughni 4/344) dan Syaikh Al-Utsaimin (Syarh Al-Mumti’ 6/365)
Adapun orang yang tidur hingga matahari terbenam, tetap sah puasanya. Dan ini adalah pendapat Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
8. Riddah
Riddah adalah keluar dari agama islam. Seorang yang keluar dari agama islam, dan saat itu ia sedang berpuasa, maka puasanya batal. Karena salah satu dari syarat sah berpuasa adalah keislaman. Sehingga jika ada seorang yang keluar dari agama islam (riddah) maka puasanya batal. Dan ini merupakan kesepakatan para ulama sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Qudamah (Al-Mughni 3/133), An-Nawawi (Al-Majmu’ 6/347) dan Al-Mardawiy (Al-Inshaf 3/199)
Permasalahan Tambahan :
# Apakah bekam membatalkan puasa ?
Permasalahan ini diperselisihkan antara madzhab Hanabilah dan Jumhur (kebanyakan) ulama.
Jumhur mengatakan bahwa bekam tidak membatalkan puasa. Mereka berdalil dengan
Hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari 1938
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ، وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bekam waktu ihram dan beliau berbekam saat puasa”
Dan beberapa dalil lainnya,
Kemudian Hanabilah berpendapat bahwa bekam membatalkan puasa, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalallam bersabda :
أفْطَرَ الحَاجِمُ والمَحْجُومُ
“Orang yang membekam dan berbekam batal puasanya” (HR. Abu Dawud 2369 dan yang lainnya, dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)
Dan pendapat bahwa berbekam dan membekam membatalkan puasa adalah pendapat Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Sholih Al-Fauzan dan yang lainnya.
Adapun penulis sendiri lebih memilih pendapat jumhur, bahwa bekam tidak membatalkan puasa, akan tetapi lebih baiknya tidak berbekam saat puasa, sehingga kita selamat dari khilaf ini. Pada dasarnya sebagai catatan jumlah 8 pembatal puasa ini bukanlah sebuah pembatasan. wallahu a’lam.
Ustadz Ratno, Lc
Jumat, 03 Shafar 1440H / 12 Oktober 2018M
Referensi: https://bimbinganislam.com/8-sebab-pembatal-pembatal-puasa/